Menuju konten utama

Masalah Kekerasan Seksual adalah Problem Kita Semua

Kekerasan seksual bukan masalah kelompok atau identitas tertentu lagi, melainkan problem bersama.

Masalah Kekerasan Seksual adalah Problem Kita Semua
Gerakan Masyarakat untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (GEMAS SAHKAN RUU PKS) mengadakan aksi damai di depan Istana Negara untuk mendesak DPR agar segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (8/12/18). Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan 2018, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 25% dari 259.150 kasus pada 2016 menjadi 348.446 kasus pada 2017. tirto.id/Bhagavad Sambadha

tirto.id - “Saya enggan sekali terjerumus bahwa ini narasi liberal dan konservatif, karena ini untuk kebaikan semua orang,” kata Saras Dewi, dosen filsafat di Universitas Indonesia.

Pernyataan itu diungkapkan Saras merespons Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang mendapat sejumlah penolakan. Apalagi dua kubu yang pro dan kontra dikaitkan dengan narasi liberal dan konservatif.

Ini bukan untuk suatu kelompok, tapi ini untuk semua kelompok yang sudah dirugikan oleh kekosongan hukum yang seharusnya mengatur kekerasan seksual,” ujar Saras saat diskusi di acara Gusdurian, di Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2019) malam.

Saras menegaskan, problem kekerasan seksual bukan masalah kelompok atau identitas tertentu lagi. Melainkan, kata Saras, “dia [kekerasan seksual] terjadi di berbagai lapisan masyarakat.”

Menurut Saras, apa yang diperjuangkan oleh RUU PKS bukan hanya perempuan, tetapi siapa pun yang menjadi korban kekerasan seksual.

Saras juga kecewa dengan sejumlah kebohongan yang disebarkan terkait RUU PKS ini. Misalnya, dengan mengatakan RUU PKS merupakan agenda asing atau liberal.

“Saya agak kecewa jika ada pihak-pihak yang menyebarkan berita bohong, yang [dikatakan] semangatnya dari liberal, atau jauh dari adat orang Indonesia. Ini justru adalah bagaimana masyarakat Indonesia mengarah ke yang lebih beradab,” ujar Saras.

Selain itu, Saras menyatakan naskah akademik yang menjadi landasan dari RUU PKS tersebut justru dilandaskan pada Pancasila. “Salah satu yang menjadi dorongan adalah kemanusiaan yang adil dan beradab,” kata dia.

Karena itu, Saras menilai, menjadi tidak wajar bila ada kelompok yang menolak RUU PKS itu. “Ini enggak merugikan siapa pun kecuali pelaku dan predator,” kata Saras.

Politisasi RUU PKS dengan Sentimen Identitas

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzily menjelaskan petisi yang menolak RUU PKS dengan narasi regulasi ini akan melegalkan zina dan LGBT, bisa mendorong masyarakat untuk turut serta, tanpa benar-benar membaca isi dari RUU tersebut.

Kalau sudah disentuh sentimen pro-zina, LGBT, justru siapa [saja] juga akan terdorong untuk menolak itu,” kata Ace.

Hal tersebut menjadi masalah karena sejumlah permasalahan yang mereka tuntut dalam RUU PKS tersebut, sudah diatur dalam undang-undang lain. Selain itu, draf yang tersebar di media sosial banyak yang tidak sesuai dengan draf aslinya.

Bisa jadi ini dari mereka belum membaca RUU PKS ini. Mereka hanya melihat dari sosial media,” kata politikus Golkar ini.

Sementara Pengacara Publik dari LBH APIK, Ratna Batara Munti mengatakan, banyaknya pihak yang ikut menolak RUU PKS, serta terpengaruh narasi palsu terkait RUU PKS, merupakan cerminan dari kurangnya literasi dan pengetahuan hukum yang ada di masyarakat.

Kesadaran hukum masyarakat juga masih rendah,” kata Ratna.

Sebab, kata Ratna, pada dasarnya masyarakat dimungkinkan untuk mendesak pemerintah agar membuat aturan yang bisa mempidana hubungan seksual di luar nikah. Hal ini, kata dia, karena zina yang diatur dalam KUHP hanya perselingkuhan yang melibatkan mereka yang sudah menikah.

Jadi kumpul kebo ditangkap, silakan saja ajukan. Tapi bukan di kekerasan seksual. Itu ranahnya bukan di RUU PKS, tapi di kesusilaan,” jelas Ratna.

Ratna menilai ketidakpahaman hukum dan kurangnya literasi menjadi masalah. Sebab, masyarakat menjadi korban dari narasi-narasi yang salah. Ia juga tidak yakin mereka yang turut serta dalam penolakan benar-benar membaca draf yang memang tersedia di website DPR [PDF].

Perlu Duduk Bersama dengan Kepala Dingin

Sejumlah pandangan yang keliru terkait RUU PKS, menurut Saras, seharusnya diselesaikan dengan saling berdialog antara pihak yang menolak dan mendukung. Tidak bisa seolah-seolah ini ada dua kelompok yang beroposisi,” kata Saras.

Saras kembali menegaskan bahwa masalah kekerasan seksual seharusnya menjadi permasalahan masyarakat karena selama ini terlalu banyak pembiaran dari pemerintah dan aparat.

Saras menceritakan sejumlah permasalahan kekerasan seksual yang terjadi dalam kampus dan berakhir dengan korban yang sulit atau tidak sama sekali mendapatkan keadilan.

Pada mahasiswi saya, yang terjadi lima tahun yang lalu, sampai sekarang juga belum ada kejelasan,” kata Saras.

Permasalahan kekerasan seksual dengan relasi kuasa pun kerap kali terjadi dari dosen ke mahasiswa. Relasi kuasa yang dimaksud adalah kekerasan seksual tidak dilakukan dengan pemaksaan menggunakan senjata dan semacamnya, melainkan pelaku memiliki kewenangan lebih, sehingga bisa mengatur korban.

Kamu ikut saya makan siang. Kalau enggak, nanti saya enggak kasih tandatangan,” ujar Saras menirukan beberapa bentuk kekerasan seksual dari dosen ke mahasiswa tanpa menggunakan senjata, atau kekerasan secara fisik.

Dengan angka kekerasan seksual yang sudah semakin tinggi, Saras berharap agar segera tercipta dialog dan RUU PKS yang diharapkan menjawab masalah ini dapat segera dibahas di DPR.

Kalau memang kita ingin punya keinginan bersama untuk menjadi masyarakat yang lebih baik, yang ruang-ruangnya lebih aman dan sensitif untuk keadilan gender, tentunya RUU PKS ini tidak bisa tidak, harus disahkan,” kata Saras.

Baca juga artikel terkait RUU PKS atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Abdul Aziz