Menuju konten utama

Masalah Indonesia sebagai Negara Sarang Ular

Kesalahan besar dalam pengobatan gigitan ular adalah menghisap, memotong, dan mengikat luka.

Masalah Indonesia sebagai Negara Sarang Ular
Ular Kobra, salah satu jenis ular berbisa di Indonesia. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Tahun lalu, penyanyi dangdut Irma Bule tewas akibat digigit ular King Kobra saat mengisi acara di Karawang, Jawa Barat. Sebelumnya, pawang ular sempat memberi pertolongan pertama. Ia menghisap darah di luka gigitan Kobra, serta mengolesinya dengan cabai dan garam.

Irma merupakan salah satu contoh korban salah penanganan. Di Indonesia, karena kurangnya pemahaman, masih banyak korban seperti Irma. Lazimnya, jika terkena gigitan ular, luka bekas gigitan akan dihisap, lalu kaki korban diikat dengan tujuan menghambat penjalaran bisa.

Baca juga: Menangani Ular Piton

Gigitan ular di dunia memakan korban hingga 4,5 juta orang setiap tahun. Jumlah tersebut mengakibatkan luka serius pada 2,7 juta pria, wanita, dan anak-anak, serta menghilangkan sekitar 125 ribu nyawa. Sementara itu, banyak korban selamat yang kemudian menderita cacat tubuh dan kelumpuhan.

WHO telah mencatatkan gigitan ular beracun sebagai kasus tertinggi kategori neglected tropical disease (NTD). Sementara itu, Indonesia belum memiliki catatan pasti jumlah korban gigitan ular. Tetapi, kebanyakan korban merupakan kalangan menengah bawah dengan akses medis terbatas. Korban gigitan ular, selama ini cenderung memilih pengobatan tradisional.

Baca juga: Jejak Horor Piton Meneror Manusia

Bahkan jika pun memilih berobat ke fasilitas medis, sebagian besar tenaga kesehatan kurang terlatih menangani gigitan ular. Pakar gigitan ular dan toksikologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, DR. dr. Tri Maharani, M.Si SP.EM., mengatakan penanganan pasien kasus gigitan ular di Indonesia belum mengikuti prosedur WHO.

“Dihisap, luka gigitan ditoreh, atau diikat pada luka bekas gigitan ular. Itu salah semua,” kata dokter Tri kepada Tirto.

Seharusnya, pertolongan pertama pasien yang terkena bisa ular cukup dibersihkan, dibidai, lalu segera dibawa ke puskesmas atau rumah sakit. Korban harus menghindari pergerakan. Sebab, kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan racun ke dalam aliran darah dan getah bening.

Penanganan gigitan ular menggunakan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit, pemberian antihistamin, dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya. Tindakan tersebut malah dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.

Selama lima tahun, dokter Tri sebagai dokter Indonesia yang mendalami gigitan ular dan toksikologi mengumpulkan data korban gigitan ular. Jumlah korban gigitan ular mencapai 130 ribu orang per tahun.

“Itu yang terdeteksi, saya rasa jumlah halusnya lebih dari itu,” ujarnya.

Baca juga: Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis

Dari jumlah tersebut, angka korban meninggal cukup tinggi. Tahun lalu, nyawa delapan orang tak terselamatkan akibat gigitan King Kobra. Sayang, tingginya kasus gigitan ular di Indonesia tak berbanding lurus dengan keahlian tenaga medis yang bisa menanganinya.

Buku pedoman yang digunakan para dokter untuk menangani gigitan ular sudah usang dan tak lagi direkomendasikan WHO. Menurut dokter Tri, para dokter Indonesia masih menggunakan buku terbitan tahun 1970. Buku tersebut tidak membahas penanganan gigitan ular secara tepat.

Serum Antibisa Ular (SABU) Mahal dan Terbatas

Indonesia bisa disebut sebagai rumah ular. Ada 360 jenis ular ada di negara ini. Dari jumlah tersebut, 76 di antaranya merupakan jenis berbisa. Sebagai perbandingan, Australia hanya memiliki 200 jenis ular dan 40 di antaranya berbisa. Di Malaysia ada 100 jenis ular dan dari jumlah itu ada 20 yang berbisa.

Lantaran semakin massifnya pembangunan, beberapa spesies ular bermigrasi ke daerah pinggiran kota dan perkotaan. Mereka mencari sumber makanan dan tempat persembunyian baru. Dengan begitu, risiko gigitan ular kini tak hanya menyasar warga pedesaan saja.

Baca juga: Petani di Mamuju Tengah Tewas Ditelan Ular Piton

Infografik gigitan ular berbisa

Namun, Indonesia hanya memproduksi satu Serum Antibisa Ular (SABU), yakni polivalen. Serum tersebut cuma mampu mengobati gigitan tiga spesies ular berbisa, yaitu ular kobra, ular welang, dan ular tanah.

“Kita ini dalam kegelapan gigitan ular, hanya serum polivalen yang ada,” kata dokter Tri.

Artinya, masih ada 73 jenis gigitan ular berbisa di Indonesia belum ada penangkalnya. Khusus untuk jenis ular coklat di Papua, hanya PT. Freeport yang memiliki serum impor dari Australia.

Sebagai perbandingan, India yang memiliki jumlah ular setara Indonesia telah memiliki 20-30 SABU. Lalu, Thailand punya 12-20 SABU. Australia memiliki 7-12 serum antibisa, Brazil 10, Myanmar dan Jepang telah memiliki masing-masing 2 SABU.

Masalah lain yang juga harus dihadapi adalah harga serum yang terbilang mahal. Freeport mengimpor serum antibisa ular dengan harga Rp65 juta. Sementara itu, polivalen dibanderol Rp500-800 ribu. Untuk para petani, nelayan, dan pekerja kebun yang mendapat risiko gigitan ular lebih besar, harga tersebut tentu bisa dibilang sangat mahal.

Baca juga artikel terkait ULAR atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani