Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Masalah di Balik Sertifikat Vaksin jadi Syarat Akses Layanan Publik

PSHK menilai rencana syarat vaksinasi lebih baik daripada menggunakan pendekatan sanksi pidana seperti Perda DKI No. 2 tahun 2021.

Masalah di Balik Sertifikat Vaksin jadi Syarat Akses Layanan Publik
Warga mendaftar untuk mendapatkan vaksin COVID-19 di Stasiun MRT ASEAN, Jakarta, Kamis (8/7/2021). ANTARA FOTO/Reno Esnir/wsj.

tirto.id - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus mematangkan rencana pelaksanaan vaksin sebagai syarat pelonggaran kegiatan. Kabar terakhir, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, semua lokasi akan memberikan syarat pembukaan kegiatan dengan syarat vaksin.

"Ya tentu di restoran, tempat-tempat lain akan hadir aparat yang kami hadirkan, dari (Dinas) Pariwisata, Satpol PP, Dishub, Dinkes. Dari semuanya, Polda Metro, Kodam Jaya, dan semuanya. Tapi sekali lagi kami ingin bahwa prokes, ketentuan ini menjadi sebuah kebutuhan," kata Riza, Senin, 2 Agustus 2021.

Riza menegaskan, masyarakat yang tidak patuh akan ditindak oleh aparat. Ia ingin masyarakat Jakarta patuh protokol kesehatan dan menjadi kewajiban. Oleh karena itu, ia tidak mendorong sanksi, tetapi lebih kepada kesadaran diri.

"Jadi sekali lagi, mari jadikan prokes sebagai kebutuhan. Tidak perlu diawasi, diberi sanksi, kalau perlu tidak perlu ada aturan-aturan yang berlebihan, tapi seluruh masyarakat bisa patuh dan taat. Itu yang kami harapkan," kata Riza.

Riza mengaku, Pemprov DKI Jakarta akan menerapkan syarat tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun, ia memastikan aturan ini penting untuk mendorong pelaksanaan vaksinasi.

"Penggunaan vaksin menjadi penting, kenapa? Beberapa unit perlu ada sertifikat vaksin, selain kita ingin memastikan kesehatan dan keselamatan warga, kita ingin mendorong percepatan vaksin. Apalagi di Jakarta lebih dari 30 persen yang divaksin di Jakarta ternyata warga non DKI," kata Riza.

Sementara Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan, pemerintah menerapkan kebijakan berbasis situasi masyarakat, baik secara mikro per daerah maupun makro. Ia mengatakan, kebijakan juga melihat kondisi daerah dan penyangga nasional karena mobilitas antar-daerah masih terjadi.

Wiku menegaskan, pemerintah lebih fokus pada vaksinasi nasional daripada penggunaan kartu vaksinasi untuk mendapatkan pelayanan publik.

"Sejauh ini persyaratan kartu vaksinasi sudah dipakai sebagai salah satu dokumen perjalanan dari dan ke wilayah Pulau Jawa dan Bali dan perkembangan aplikasi dalam sektor lainnya masih dipertimbangkan," kata Wiku, Selasa (3/8/2021).

Wiku menambahkan, "Ingat, bahwa vaksinasi tidak dapat menggantikan efektivitas 3M, karena sistem ini perlu dipertahankan dan saling bekerja melengkapi bukan menggantikan," kata Wiku.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Rizky Argama merespons positif terhadap rencana vaksinasi. Mereka menilai aksi syarat vaksinasi lebih baik daripada menggunakan pendekatan sanksi pidana sesuai Perda DKI Nomor 2 tahun 2021.

Ia mengingatkan, masyarakat punya hak untuk mendapatkan vaksin dan negara berkewajiban untuk memenuhi akses hak terhadap vaksin.

"Apabila negara—dalam hal ini Pemprov DKI—ingin mendorong semua warganya untuk melakukan vaksinasi, tindakan yang tepat bukanlah dengan memberikan ancaman sanksi bagi warga yang menolak vaksinasi, melainkan dengan menetapkan insentif dan disinsentif," kata Rizky, Kamis (5/8/2021).

Rizky mengatakan, hak mendapat vaksin sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

Akan tetapi, Rizky mengingatkan, konsep insentif dan disinsentif baru bisa dilaksanakan jika program vaksinasi sudah mencakup seluruh warga DKI Jakarta. Pemberian insentif bisa dilakukan jika sudah memenuhi tanggung jawab legal vaksin.

Jika mengacu pada data Kemenkes, 95 persen peserta vaksin Jakarta sudah menerima vaksin. Akan tetapi, masih ada 5 persen yang belum mendapat vaksin. Ia meminta penjelasan apakah 5 persen tersebut karena tidak terjangkau vaksin atau justru menolak vaksin.

"Jika masih ada alasan-alasan di luar alasan kesehatan, maka tugas pemprov untuk melakukan edukasi dan memastikan akses vaksin, masih belum selesai. Khusus untuk alasan terakhir, pemprov juga perlu memeriksa apakah pelaksanaan Vaksinasi Gotong Royong (VGR) memberikan kontribusi positif atau negatif terhadap pelaksanaan program vaksinasi massal (tidak berbayar)" tutur Rizky.

"Jangan sampai warga yang telah didaftarkan oleh pemberi kerjanya sebagai penerima VGR justru mengalami kesulitan dalam mengakses program vaksinasi massal," kata Rizky.

Di sisi lain, Epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Mouhamad Bigwanto merespons positif kebijakan Anies. Ia mengatakan potensi penyebaran kasus COVID-19 akibat kebijakan tersebut tetap ada.

"Tentunya meminimalisir penyebaran COVID 19. Meskipun risiko penularan tetap ada, tapi akan sangat kecil, apalagi kalau menerapkan protokol kesehatan," kata Bigwanto.

Bigwanto yakin masyarakat akan ikut vaksinasi. Dengan demikian, upaya mengejar kekebalan komunal pun bisa lebih cepat. Selain itu, beban rumah sakit bisa lebih ringan karena sudah divaksin.

Ia mengatakan, tidak sedikit negara di Eropa menggunakan sertifikat vaksin sebagai syarat beraktivitas massal. Namun, ia meminta agar kebijakan tersebut perlu disesuaikan kepada anak di bawah 13 tahun. Ia mencontohkan salah satu upaya adalah dengan menggunakan surat keterangan sehat dari dokter.

Sertifikat Vaksin jadi Syarat Berpotensi Diskriminatif

Sementara itu, Ombudsman DKI Jakarta menilai gagasan kartu vaksinasi menjadi syarat berpotensi diskriminatif. Namun, hal itu bisa berubah bila diikuti dengan pemenuhan hak untuk menerima vaksin.

"Terkait dengan syarat vaksinasi untuk mendapatkan pelayanan publik atau memperoleh akses terhadap layanan publik kalau dilihat dari kacamata UU pelayanan publik, jelas tindakan diskrimintaif. Hanya orang yang sudah divaksin dan mendapat sertifikat yang bisa mengakses layanan publik itu," kata Ketua Ombudsman DKI Jakarta Teguh P. Nugroho, Selasa (3/8/2021).

Menurut dia, menjadi tidak diskrimintaif, bila pemerintah menyediakan fasilitas vaksinasi di tempat-tempat layanan publik secara on the spot, sehingga warga yang belum mendapat vaksin bisa melakukan vaksinasi di sana.

Teguh mengingatkan bahwa sertifikasi vaksin dalam pelayanan publik harus mengedepankan prinsip non-diskriminatif. Diskriminasi diperbolehkan dengan alasan kepentingan masyarakat luas jika seseorang menolak mendapat vaksin.

Selain penekanan soal diskriminasi, Teguh menyoroti soal ketersediaan hingga distribusi vaksin jika mengejar percepatan vaksinasi. Ia menanyakan apakah masyarakat mudah mendapatkan vaksin. Kemudian, ia juga menyoroti pelaksanaan vaksinasi masih berbasis event selain di faskes dan mobil vaksin. Teguh ingin agar penambahan layanan vaksinasi yang semakin dekat dengan warga.

"Jadi kalau tujuannya percepatan, maka harus dibuka aksesibilitas layanan vaksin sedekat-dekatnya dengan warga baik melalui faskes BPJS pratama kesehatan maupun klinik 24 jam yang selama ini kurang optimal dilakukan," kata Teguh.

Selain itu, Teguh menyarankan agar pemerintah menyediakan alat tes swab atau PCR untuk pengunjung di pusat pelayanan publik daripada menggunakan sertifikat vaksin. Ia mengingatkan, warga penerima vaksin pertama di DKI Jakarta sebanyak 7,6 juta, sementara penerima vaksin kedua sebesar 2,5 juta.

Ketika dirapikan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta, hanya 6 juta yang menerima dosis tahap pertama dan 2 juta yang menerima dosis tahap dua. Sisanya justru berasal dari luar Jakarta. Mengacu pada data tersebut, berarti hanya ada 2 juta warga Jakarta yang memiliki imunitas penuh sementara 10,5 juta warga DKI lain ditambah warga aglomerasi.

"Jangan sampai kebijakan ini menjadi justifikasi bagi sekitar 7,5 juta orang warga yang sudah memiliki sertifikat vaksin baik dosis 1 maupun dua untuk melakukan kegiatan karena sudah memiliki sertifikat vaksin. Sementara sertifikat tersebut tidak bisa menjadi alat tracing dan tracking suspect COVID-19," kata dia.

Teguh juga menyoroti soal keamanan data vaksinasi hingga kontrol sertifikat. Hal tersebut memerlukan perlengkapan yang memadai jika ingin aturan tersebut diterapkan dengan optimal. Ia khawatir pelaksanaan pemantauan akan mengarah manual apabila melihat kemampuan pengawasan STRP.

"Kepastian memiliki kemampuan untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan tersebut jangan sampai seperti kebijakan makan 20 menit di tempat yang tidak mungkin dilaksanakan, dan terakhir, sosialisasi bahwa sertifikat vaksin dan vaksinasi bukan jaminan tidak akan tertular," kata Teguh.

Baca juga artikel terkait SERTIFIKAT VAKSIN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz