Menuju konten utama

Masalah di Balik Maraknya Kepala Daerah Terjerat Kasus Korupsi

KPK mencatat ada lima modus korupsi yang biasa dipakai para kepala daerah dalam menggarong duit negara.

Masalah di Balik Maraknya Kepala Daerah Terjerat Kasus Korupsi
Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin memakai rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/1/2022).ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pras.

tirto.id - Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) telah melakukan operasi tangkap tangan atau OTT kepala daerah sebanyak 3 orang pada Januari 2022. OTT pertama terjadi pada 5 Januari dengan meringkus Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi. Ia diduga penerimaan suap proyek pengadaan barang dan jasa serta menerima suap dari proses lelang jabatan di Pemkot Bekasi, Jawa Barat.

Politikus Partai Golkar itu kemudian ditetapkan sebagai tersangka bersama beberapa orang lainnya. Tersangka penerima: Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan PTSP M Bunyamin (MB), Lurah Jati Sari Mulyadi (MY), Camat Jatisampurna Wahyudin (WY), dan Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Kota Bekasi Jumhana Lutfi (JL).

Sementara tersangka pemberi suap, antara lain: Direktur PT ME Ali Amril (AA), pihak swasta Lai Bui Min (LBM), Direktur PT KBR Suryadi (SY), Camat Rawalumbu Makhfud Saifudin (MS).

OTT kepala daerah kedua terjadi pada 12 Januari 2022. Kali ini, komisi antirasuah meringkus Bupati Kabupaten Penajam Paser Utara, Abdul Gafur Mas’ud terkait penerimaan suap proyek pembangunan dan perizinan lahan sawit.

Politikus Partai Demokrat itu telah ditetapkan menjadi tersangka bersama penerima lainnya yakni, Plt. Sekda Kabupaten Penajam Paser Utara Mulyadi (MI); Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kabupaten Penajam Paser Utara Edi Hasmoro (EH); Kepala Bidang Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Penajam Paser Utara Jusman (JM); dan Nur Afifah Balqis (NAB) dari pihak swasta sekaligus Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan.

Sedangkan tersangka pemberi suap ialah Achmad Zuhdi alias Yudi (AZ) dari pihak swasta.

OTT kepala daerah teranyar terjadi pada 18 Januari 2022. KPK meringkus Bupati Langkat, Terbit Perangin Angin terkait penerimaan suap proyek pengadaan barang dan jasa tahun anggaran 2020-2022 di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Terbit yang merupakan politikus Partai Golkar ini akhirnya menjadi tersangka bersama dengan 4 pihak swasta: Marcos Surya Abdi (MSA), Shuhanda Citra (SC), Isfi Syahfitra (IS), dan Muara Perangin-angin (MR).

OTT ketiga kepala daerah di awal 2022 ini menambah daftar panjang kasus korupsi yang melibatkan orang nomor satu di pemerintahan daerah. Selama periode 2004-2021, data penanganan perkara KPK mencatat sebanyak 152 kepala daerah menjadi pelaku korupsi. Modusnya tidak jauh dari suap infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, serta perizinan.

Modus Korupsi Kepala Daerah

Direktur Koordinasi Supervisi (Korsup) Wilayah III KPK, Bahtiar Ujang Purnama dalam gelar rapat koordinasi virtual Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 8 September 2021 menjelaskan soal modus-modus yang biasa dipakai para kepala daerah dalam menggarong duit negara.

Bahtiar menyebut terdapat lima modus korupsi kepala daerah yakni: pertama, penerimaan daerah, berupa pajak daerah, retribusi daerah, pendapatan daerah dari pemerintah pusat, dan kerja sama dengan pihak ketiga.

Modus kedua, pengadaan barang dan jasa, penempatan dan pengelolaan kas daerah, pelaksanaan hibah, bantuan sosial, program kegiatan, penempatan modal Pemda di BUMD dan pengelolaan aset. Sementara modus ketiga, berkenaan dengan proses jabatan: rotasi, mutasi, dan promosi.

Keempat, penerbitan perizinan. Kelima, penyalahgunaan wewenang; menempatkan orang terdekat ke dalam jabatan tertentu.

Modus-modus tersebut dapat dilihat dari sejumlah kepala daerah yang terciduk OTT KPK. Misalnya kasus korupsi Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi yang diduga penerimaan suap proyek pengadaan barang dan jasa serta menerima suap dari proses lelang jabatan. Begitu juga dengan kasus korupsi Abdul Gafur Mas’ud terkait penerimaan suap proyek pembangunan dan perizinan lahan sawit.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter Kaban mengatakan, maraknya kepala daerah melakukan tindakan koruptif tak lepas dari politik elektoral dan status mereka sebagai kader partai politik. Mengingat ongkos politik yang tidak murah, apalagi jika setiap kepala daerah petahana berencana mencalonkan diri kembali.

“Selama pendanaan parpol masih belum transparan dan biaya politik elektoral masih mahal, korupsi dengan modus pemberian izin bisa terus terjadi,” kata Lalola kepada reporter Tirto, Kamis (20/1/2022).

Jika sudah demikian, kata dia, maka masyarakat di daerah yang paling berpotensi merasakan dampaknya. Terutama perkara-perkara korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa ataupun perizinan, akan memengaruhi kualitas pembangunan daerah tersebut.

Sehingga menurut, Yudi Purnonomo, eks Penyidik KPK, tidak heran jika terdapat pembangunan di suatu daerah yang terdapat tindakan koruptif, maka kualitas pembangunannya tidak optimal.

“Bagaimana pembangunan itu, akhirnya kurang bagus. Karena pengusaha saja untuk mengerjakan proyek sudah bayar. Itu akan dijadikan bagian dari pengeluaran mereka […] Akhirnya mungkin mengorbankan spesifikasi,” ujar Yudi dikutip dari kanal YouTube milik dia.

Untuk menuntaskan ini semua, KPK perlu meningkatkan kinerja, baik penindakan dan pencegahan. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berharap KPK melakukan dua fungsi tersebut dengan baik.

“Dulu menggembor-gemborkan pencegahan. Sekarang hanya retorika, tanpa hasil, tidak ada sistemnya. Sampai dua tahun ini,” ujar Boyamin kepada reporter Tirto, Kamis (20/1/2022).

Baca juga artikel terkait OTT KEPALA DAERAH atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz