Menuju konten utama
Misbar

Marriage Story: Horor Itu Bernama Perceraian

Cinta urusan nomor sekian dalam perceraian. Masa depan anak tetap yang utama.

Marriage Story: Horor Itu Bernama Perceraian
Film marriage story. FOTO/netflix

tirto.id - Filsuf Jerman Theodor Adorno pernah mengatakan bahwa perceraian dapat membangkitkan awan debu yang kemudian menutupi dan memudarkan semua yang disentuhnya. Selain itu, perceraian, tambahnya, juga mengubah hubungan intim menjadi racun yang ganas.

Kata-kata Adorno mendapatkan kebenarannya dalam Marriage Story. Dalam film terbaru garapan Noah Baumbach tersebut, perceraian tak ubahnya hal yang mengerikan. Ia bisa menggilas kehangatan yang sudah terajut bertahun-tahun dan menghabisi segala kebahagiaan yang pernah hadir di antara dua anak manusia. Perceraian hanya meninggalkan luka. Tak lebih, tak kurang.

Nicole (diperankan dengan sangat apik oleh Scarlett Johansson) adalah mantan aktris Hollywood yang banting setir menjadi pemain teater di New York. Ia menikah dan hidup dengan Charlie (Adam Driver)—notabene pelatih teaternya—serta dikaruniai satu orang anak bernama Henry (Azhy Robertson).

Kehidupan mereka mulanya begitu ideal, keduanya saling melengkapi satu sama lain. Nicole menganggap Charlie sebagai seorang yang brilian, penuh energi, serta menjalankan perannya menjadi ayah dengan baik. Sedangkan di mata Charlie, Nicole merupakan perempuan berani yang membuat dirinya merasa nyaman.

Tapi, puja-puji tersebut tak mampu menyelamatkan pernikahan mereka yang ternyata menyimpan banyak lubang. Perceraian pun, pada akhirnya, menjadi hal yang tak bisa ditampik.

Urusan Publik, Urusan Sosial

Saya berkenalan dengan karya-karya Baumbach tujuh tahun silam, saat ia merilis Frances Ha yang dibintangi Greta Gerwig, kolaborator jangka panjang sekaligus pasangan hidupnya. Frances Ha, yang digarap dengan pendekatan a la film-film New Wave Perancis, meninggalkan kesan mendalam bagi saya bahwa hidup rupanya tak buruk-buruk amat.

Film-film Baumbach adalah film tentang keluarga disfungsional, perpisahan yang tak terelakkan, serta cara kita menertawakan hidup. Tema-tema semacam ini konsisten ia olah sejak The Squid and the Whale (2005), Greenberg (2010), While We’re Young (2014), Mistress America (2015), sampai The Meyerowitz Stories (2017). Di tangan Baumbach, segala kenestapaan bukan akhir dari segalanya; ia justru jadi awal mula lembaran baru. Klise, memang. Tapi, menurut Baumbach, begitulah kenyataan berbicara.

Baumbach masih menawarkan formula yang sama di Marriage Story. Inti ceritanya sederhana: bagaimana sebuah keluarga menghadapi perceraian. Namun, yang menarik, Baumbach tak menempatkan perceraian sebagai sesuatu yang bisa dibatalkan sehingga semua orang bahagia pada akhirnya. Perceraian, dalam semesta Marriage Story, adalah realitas pahit yang tak punya jalan keluar.

Tentu, ketika membicarakan perceraian, ada sisi emosional yang digali habis-habisan. Meski demikian, bagi Baumbach, ada hal lain yang tak boleh dilupakan: perceraian—terutama di AS—adalah proses yang begitu melelahkan dengan serangkaian prosedur legal yang berlapis.

Selama dua jam lebih, Baumbach memperlihatkan bahwa dalam perceraian, persoalannya bukan lagi apakah cinta masih relevan diucapkan, melainkan bagaimana proses hukum memutuskan. Ketika salah satu pasangan memutuskan untuk menyewa pengacara, maka penyelesaiannya dipastikan tak akan mudah.

Dalam Marriage Story, sosok pengacara memainkan peran yang penting. Di satu sisi ia bisa jadi malaikat yang menenangkan perasaan bahwa Anda bisa menang di pengadilan. Di lain sisi, ia juga bisa mengajak Anda mengambil segala cara agar kasus mampu dimenangkan—sekalipun harus membuka semua aib dan keburukan pasangan Anda di hadapan para hakim.

Nora Fanshaw (Laura Dern) adalah pengacara kondang yang mewakili kubu Nicole. Reputasinya sudah mentereng: ia dikenal selalu berhasil mengurus semua kliennya. Bagi Nora, sidang perceraian adalah salah satu upaya nyata untuk menegakkan hak-hak perempuan di tengah kultur masyarakat yang masih cukup patriarkis.

Sementara Charlie sendiri awalnya menggandeng Bert Spitz (Alan Alda), pengacara keluarga yang sudah sepuh, sebelum akhirnya berpindah haluan ke Jay (Ray Liotta), salah satu pengacara yang dipandang brutal lagi gahar ketika sidang berlangsung. Ada perbedaan yang mencolok dari keduanya. Bert menyarankan Charlie menyepakati semua klausul yang ada karena pada akhirnya yang terpenting dari perceraian adalah masa depan anak. Sebaliknya, Jay tetap bersikukuh Charlie harus menang telak dari Nicole.

Inilah yang lantas menjadikan Marriage Story menarik untuk ditonton. Perceraian tak sebatas urusan Charlie-Nicole, tapi juga gengsi dan rivalitas masing-masing pengacara. Keduanya, sebagaimana sifat dari pengacara, sama-sama bersikeras bahwa kliennya adalah yang paling layak mendapatkan hak-hak hukum (soal anak, misalnya) yang ditimbulkan dari perceraian. Adegan saat Jay dan Nora beradu lidah dan argumen dalam persidangan menggambarkan karakter tersebut.

Baumbach menjahit kelindan-kelindan itu secara rapi. Ia paham bagaimana mesti menempatkan perceraian dalam bingkai privat sekaligus publik.

Infografik Misbar Marriage Story

Infografik Misbar Marriage Story. tirto.id/Fuad

Masih Adakah Tempat untuk Cinta?

Hollywood bukannya kekurangan film yang mengangkat isu semacam ini. Contoh terbaiknya adalah Kramer vs Kramer (1979) yang disutradarai Robert Benton serta dibintangi Dustin Hoffman, Meryl Streep, dan Justin Henry. Masalah dalam Kramer vs Kramer berkutat pada perebutan hak asuh anak.

Narasi dalam Marriage Story kurang lebih mirip dengan Kramer vs Kramer. Bedanya, Baumbach juga mengeksplorasi masalah internal yang muncul di antara Charlie dan Nicole.

Sebagian penonton mungkin bakal menyebut karakter Nicole sebagai sosok yang antagonis, tak tahu terima kasih, dan begitu saja melupakan kontribusi Charlie dalam mengorbitkan kembali namanya.

Persis di sinilah ada yang salah. Baumbach hendak menegaskan bahwa dalam suatu pernikahan dan bentuk relasi romantis lainnya, persoalannya tak sekadar apa yang sudah kita beri atau lakukan untuk orang lain, melainkan juga bagaimana kita menyediakan ruang untuk mendengar, mengerti, dan—tentu saja—mendukung pasangan dalam mewujudkan mimpi.

Charlie rupanya abai akan hal itu. Baginya, ia sudah melakukan segala hal untuk Nicole dan sebab itu ia merasa layak mendapatkan lebih. Namun, yang mesti digarisbawahi, ia melakukan itu semua untuk diri dan ambisinya sendiri. Charlie lupa bahwa relasi pernikahan dibangun atas keinginan serta mimpi dua orang yang saling menyayangi.

Untuk Nicole, Los Angeles menawarkan pintu untuk merealisasikan cita-citanya: menjadi sutradara—sesuatu yang tak dipahami oleh Charlie. Menurut Charlie, hidup di New York, dengan jalur pedestrian yang tersebar di setiap sudut kota dan perusahaan teater miliknya yang memperoleh kesempatan tampil di panggung Broadway, adalah kemewahan tiada banding.

Dalam kasus Charlie-Nicole, persoalannya bukan lagi apakah cinta di antara keduanya masih ada atau tidak, tapi bisakah Charlie mengerti apa yang diinginkan Nicole dan kemudian membantu meraihnya? Dan Baumbach, dengan tegas menjawab: tidak.

Namun demikian, di luar urusan Charlie-Nicole, yang paling penting dari perkara perceraian adalah soal masa depan anak. Bagaimanapun, anak menjadi pihak yang paling rentan dirugikan dari perpisahan kedua orangtuanya. Melihat orangtua tak lagi tinggal satu atap merupakan hal yang menyedihkan dan bisa berpengaruh pada pikiran mereka. Baumbach mempertontonkan kerentanan tersebut dengan gamblang. Seperti saat Henry bertanya dengan nada sedih ihwal mengapa sang ayah tak tinggal saja di Los Angeles.

Pada akhirnya, memang benar ungkapan Adorno: perceraian bagaikan awan debu yang menghisap semua yang disentuhnya.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf