Menuju konten utama
Seri Para Panglima Soeharto

Maraden Panggabean: Pimpinan Laskar Rakyat yang Jadi Panglima ABRI

Maraden Panggabean menggantikan Soeharto sebagai Panglima ABRI. Ia bukan jenderal terkuat, tapi lebih dipercaya Soeharto.

Maraden Panggabean: Pimpinan Laskar Rakyat yang Jadi Panglima ABRI
Maraden Saur Halomoan Panggabean, menjabat Panglima ABRI dari 28 Maret 1973 hingga 17 April 1978. tirto.id/Lugas

tirto.id - Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) begitu berharga bagi dua Presiden Republik Indonesia, Sukarno dan Soeharto. Sedari zaman Sukarno, ABRI sebisa mungkin untuk tak dijabat oleh jenderal yang tidak bisa dipercaya. Abdul Haris Nasution yang berpengalaman soal militer dan lama jadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saja tak dijadikannya Panglima ABRI. Cukup dijadikan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Orang Batak lain yang pernah mengisi jabatan serupa adalah Tahi Bonar Simatupang, sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Sebelum Orde Baru, belum ada satu pun orang non-Jawa yang punya jabatan dengan nama Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau ABRI. Setelah Panglima Besar Soedirman meninggal, Sukarno tidak pernah menciptakan jabatan panglima untuk pucuk pimpinan angkatan bersenjata.

Jenderal Soeharto, orang terkuat Indonesia setelah 30 September 1965, adalah orang pertama yang menjadi Panglima ABRI. Ia berada di posisi itu dari 1968 hingga 1973, sekaligus menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Setelah itu, jabatan Panglima ABRI kerap diisi jenderal yang tidak punya pengaruh atau kurang mengakar kuat di tubuh ABRI.

Menurut Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 48), Soeharto tidak menaikkan bekas Kepala Staf-nya waktu menjadi Panglima Kostrad, Letnan Jenderal Kemal Idris. Soeharto menjaga popularitasnya dengan menaikkan jenderal yang tidak dianggap "berbahaya". Selain itu, Soeharto juga tidak mengangkat R. Soedirman yang diangap santri. “Keduanya diperhitungkan Soeharto sebagai tidak akan memberi jaminan aman bagi kelanggengan kekuasaan Bapak Presiden,” tulis Salim Said.

Maka, Soeharto pun menunjuk Maraden Suar Panggabean. Jenderal satu ini tidak berasal dari suku dan agama mayoritas di Indonesia. Bukan Islam, juga bukan Jawa. Maraden adalah orang Batak dan beragama Kristen.

Bermula dari Laskar Rakyat

Semasa Revolusi, Maraden Panggabean merupakan perwira TNI di Sumatra. Jadi, ia bukanlah perwira yang mengakar di Jawa. Jika di zaman Jepang Soeharto adalah perwira PETA, menurut Nugroho Notosusanto dalam Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia (1979), "Panggabean sebelum menjadi anggota angkatan perang Republik, tidak mengalami pendidikan militer profesional" (hlm. 144).

Maraden Panggabean sempat sekolah pegawai di Batusangkar, Sumatra Barat waktu zaman Jepang. Lepas dari sekolah itu, dia juga pernah menjadi pelatih para pegawai. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Maraden tidak langsung masuk tentara reguler yang saat itu bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dia memilih bergabung dengan laskar rakyat dan memimpinnya.

“Setelah saya menolak memimpin Batalyon TKR di Sibolga […] maka saya mencurahkan perhatian seluruhnya untuk menggembleng “Pasukan Maraden” sebagai mana orang mengenal pasukan saya pada waktu itu. Nama resminya sebenarnya adalah Barisan Pemuda Republik Indonesia (PRI),” aku Maraden Panggabean dalam autobiografinya, Berjuang dan Mengabdi (1993: 62).

Setelah didekati oleh Mayor Pandapotan Sitompul, barulah terpikir olehnya untuk masuk ke tentara reguler Republik, yang sudah berubah nama Tentara Rakyat Indonesia (TRI). “Dia meminta saya agar memasuki jajaran TKR dan dalam taraf pertama membantunya memimpin satu resimen yang akan dibentuk di Sibolga,” tutur Maraden (hlm. 66).

Diakuinya, semula dia dapat pangkat kapten dan pelantikannya dilakukan pada pertengahan Juni 1946. Maraden tidak lama jadi kapten. Pangkatnya lalu naik jadi mayor.

Buku Berjuang dan Mengabdi mencatat perjalanan karier militernya. Maraden Panggabean pernah jadi kelapa staf dalam resimen di Tapanuli. Sebelum 1952, dia sempat jadi komandan batalyon di wilayah yang kini jadi area Kodam Bukit Barisan (Sumatra bagian utara). Setelahnya, dia jadi Komandan Brigade di area yang belakangan menjadi bagian dari Kodam Sriwijaya (Sumatra bagian selatan).

Soal operasi militer, Maraden pernah terlibat dalam penumpasan DI/TII di Jawa Barat dan Aceh, juga sisa RMS. Setelah 1957, dia pernah jadi Komandan Resimen Team Pertempuran (RTP) di Palopo, Sulawesi Selatan (hlm. 490-491).

Mulai Dekat dengan Soeharto

Setelah sebagian jenderal di Staf Umum Angkatan Darat dihabisi oleh pasukan G30S pimpinan Letnan Kolonel Untung pada 1 Oktober 1965, terjadi perubahan di jajaran pimpinan Angkatan Darat. Letnan Jenderal Ahmad Yani selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) terbunuh. Begitu juga lima jenderal lainnya. Satu di antara korban G30S itu, D.I. Panjaitan, adalah kakak ipar Maraden Panggabean.

Kala itu, menurut pengakuannya dalam Berjuang dan Mengabdi, ia menjadi Deputi Wilayah/Panglima Komando Antar Daerah (Koanda) merangkap Panglima Komando Mandala Siaga (Kolaga) II yang berkedudukan di Banjarmasin.

Setelah Mayor Jenderal Soeharto naik menjadi Menpangad, Maraden dipindahkan ke Jakarta untuk menjadi Deputi II (Pembinaan) Menpangad terhitung mulai 20 Oktober 1965.

Tentu saja Maraden termasuk orang Soeharto. Setelah Soeharto jadi presiden, Maraden tetap bersama Soeharto. Jabatan Maraden biasanya adalah wakil dari jabatan yang dipegang Soeharto.

“Saya berturut-turut menjabat sebagai Wapangad (Wakil Panglima Angkatan Darat), Pejabat Pangad (Panglima Angkatan Darat), lalu Pangad (saat ini dikenal dengan Kepala Staf Angkatan Darat yang disingkat KSAD) dari tahun 1966 hingga 1969, kemudian menjadi Wapangab (Wakil Panglima ABRI) merangkap Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) selama empat tahun sampai 1973 dan merangkap Menteri Negara urusan Hankam (Pertahanan Keamanan) sejak 1971,” jelas Maraden Panggabean dalam autobiografinya (hlm. 377).

Setelah itu, pada 1973, barulah dia menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Repubik Indonesia (Pangab) merangkap Menteri Pertahanan Keamanan (Menhankam), hingga 1978.

Ketika Maraden Panggabean ditunjuk sebagai Panglima ABRI, Matiur Tambunan, istrinya, “langsung ditetapkan menjadi Ketua Umum Dharma Pertiwi menggantikan Ibu Tien Soeharto,” tulis Herry Gendut Janarto dalam Bunga Pansur dari Balige (2010: 278).

Di masa Maraden Panggabean jadi panglima, banyak anggota ABRI dikirim ke Timor Portugal yang saat ini dikenal sebagai Timor Leste. Mereka datang ke sana dalam rangka operasi militer untuk mengambilalih wilayah itu.

Infografik Seri ABRI Maraden Panggabean

Memimpin Pemakaman Bung Karno

Setelah tidak jadi Pangab/Menhankam, Maraden sempat menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) dari 1978 hingga 1983. Di luar militer, Maraden Panggabean pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dari 1983 hingga 1988. Di dunia politik, dia adalah anggota Dewan Pembina Golongan Karya (Golkar) sejak 1973. Semasa jadi Pangab, dia merangkap jabatan sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar.

Ketika Maraden Panggabean jadi jenderal, lalu jadi Panglima ABRI, banyak jenderal dengan latar belakang tentara PETA, seperti Letnan Jenderal M. Jasin atau Letnan Jenderal Amir Machmud. Maraden Panggabean dan penggantinya, M. Jusuf, adalah orang nomor satu di ABRI yang tidak menikmati masa-masa menjadi tentara sukarela bikinan Jepang seperti Soeharto. Maraden Panggabean dan M. Jusuf berlatarbelakang laskar rakyat sebelum masuk TNI. Pengganti M. Jusuf, L.B. Moerdani, yang jauh lebih muda lagi, malah bekas Tentara Pelajar.

Ternyata di era Soeharto, jabatan Panglima ABRI tak lagi diisi orang-orang bekas tentara sukarela bikinan Jepang. Di jajaran Menteri Pertahanan Keamanan Orde Baru, hanya Jenderal Poniman yang latar belakangnya tentara PETA.

Nama Maraden Panggabean sempat disebut-sebut lagi setelah meninggal. Salah satu mantan pengawal Sukarno, Soekardjo Wilardjito, dalam buku Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden (2008), angkat bicara soal jenderal kelahiran Tarutung, 29 Juni 1922 itu.

Soekardjo mengungkapkan, ketika Surat Perintah 11 Maret 1966 hendak ditandatangani, Maraden Panggabean juga ada di Istana Bogor. Waktu itu, Basoeki Rachmat bilang ke Sukarno bahwa “untuk merubah waktunya sudah sangat sempit. Tandatangani sajalah. Bismillah.” Kata-kata Basoeki Rachmad itu kemudian “diikuti Panggabean [dengan] mencabut pistolnya” (hlm. 159).

Pengakuan Soekardjo ini kemudian dibantah. Versi lain yang umum beredar menyebut Maraden Panggabean tak ada di istana kala itu. Benar atau tidaknya penodongan itu, yang jelas, Maraden adalah salah satu orang yang mengantarkan Sukarno ke liang lahatnya. Ia bertindak sebagai inspektur upacara pada pemakaman Sukarno di Desa Sentul, Blitar, sesuai perintah dari Soeharto pada 22 Juni 1970.

==========

Menjelang HUT TNI ke-73, Tirto menayangkan dua serial khusus tentang sejarah militer Indonesia: "Seri Para Panglima Soeharto" dan "Seri Rivalitas Tentara". Serial pertama ditayangkan tiap Kamis, serial kedua tiap Jumat. Edisi khusus ini hadir hingga puncak perayaan HUT TNI pada 5 Oktober 2018.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan