Menuju konten utama

Manuver-Manuver Cina di Sudan, Negara yang Baru Saja Terjadi Kudeta

Cina lebih suka mengamankan kepentingan bisnis mereka alih-alih mengurusi langsung apa yang sedang terjadi di sebuah negara. Sudan adalah contoh terkini.

Manuver-Manuver Cina di Sudan, Negara yang Baru Saja Terjadi Kudeta
Omar al-Bashir di Wisma Negara Diaoyutai, di Beijing, Cina, Minggu, 2 September 2018. Lintao Zhang / Foto Pool via AP)

tirto.id - Cina bukan negara yang suka mengurusi urusan rumah tangga negara lain apa pun yang terjadi, mulai dari penyelewengan hak asasi, perang sipil, sampai perebutan kekuasaan. Sikap tersebut sesuai dengan prinsip noninterferensi yang diperkenalkan oleh Perdana Menteri pertama Zhou Enlai dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955.

Kudeta militer yang baru saja meletus di Sudan, negeri di tanduk Benua Afrika, menjadi contoh terbaru. Setelah militer mengambil alih pemerintahan dari kabinet sipil akhir Oktober silam, Beijing memang mengeluarkan pernyataan seperti banyak negara dan lembaga internasional lain. Namun itu standar nan hambar. Isinya sekadar ajakan bagi faksi-faksi yang berseteru untuk “mengatasi perbedaan melalui dialog dan mempertahankan perdamaian serta stabilitas nasional.”

Apa yang paling penting bagi Cina adalah kepentingan mereka sendiri. Ambil contoh saat terjadi kudeta militer di Myanmar awal tahun ini. Cina tidak mengecam sebagaimana banyak pihak semata agar kerja sama ekonomi yang sudah dijalin sedari lama tetap terawat baik. Ketika Taliban kembali berkuasa di Afganistan, Cina juga langsung tancap gas menawarkan beragam kemitraan dan proyek.

Sementara di Sudan, Cina lebih fokus untuk mengamankan warga mereka yang berada sana, terutama para pekerja di proyek-proyek infrastruktur BUMN Cina. Melansir media propemerintah Global Times, perusahaan-perusahaan diperingatkan agar segera menerapkan prosedur keselamatan darurat, mengumpulkan staf, dan menangguhkan seluruh roda produksi.

Sikap tersebut dapat dimengerti karena Cina punya pengalaman buruk di masa lalu. Warganya pernah diculik dan dibunuh di Sudan, negara yang terjerumus dalam konflik sektarian bertahun-tahun lamanya.

Pada 2004, di Darfur, dua pegawai BUMN minyak ditemukan tewas dengan luka tusuk dan tembakan, sedangkan dua staf lain dari biro geologi berhasil menyelamatkan diri. Mereka diculik oleh grup pemberontak. Sejak setahun sebelumnya hingga 2008, di daerah Sudan barat tersebut sedang terjadi peperangan antara grup-grup pemberontak dengan pasukan pemerintah, yang terdiri dari Pasukan Bersenjata Sudan (dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan yang sekarang berkuasa) dan milisi paramiliter Janjaweed (kelak berkembang jadi Rapid Support Forces, pasukan paramiliter pimpinan Hamdan Dagalo yang kini menyokong rezim militer Burhan).

Empat tahun kemudian, sembilan staf China National Petroleum Corporation kembali jadi korban penculikan dan empat di antaranya meninggal dunia. Grup-grup pemberontak memperingatkan Cina untuk pergi dari Sudan karena perusahaan mereka dianggap ikut menyokong pemerintah pusat di Khartoum.

Selain konflik di Darfur—yang berujung pada pembantaian terhadap sekitar 300 ribu jiwa sipil—Sudan punya masalah pelik lain yang juga akhirnya berimbas ke orang-orang Cina.

Sejak merdeka dari Inggris pada 1956, pemerintah pusat berperang dengan orang-orang di selatan yang mayoritas beretnis non-Arab dan menganut kepercayaan tradisional. Meski pada 2011 daerah selatan berpisah jadi negara sendiri, Sudan Selatan, konflik masih berlanjut di daerah perbatasan. Pada 2012, sebanyak 27 pegawai konstruksi Cina diculik Sudan People's Liberation Movement-North, partai politik sekaligus organisasi militan. Beruntung mereka berhasil diselamatkan.

Sudan dan Cina “Dua Bersaudara”

Seluruh penculikan dan pembunuhan di atas terjadi pada saat diktator Omar al-Bashir berkuasa (1989-2019). Meski begitu, Bashir yang diburu oleh Pengadilan Kriminal Internasional karena mendalangi genosida dan kejahatan perang di Darfur tetap disayang oleh elite politik Cina. Enam tahun lalu, misalnya, Bashir diundang Beijing ke acara peringatan akhir Perang Dunia II. Presiden Xi Jinping menyambutnya sebagai “kawan lama rakyat Cina.” Xi juga mengatakan bahwa “Cina dan Sudan seperti dua bersaudara yang juga kawan dan partner baik.”

Faktanya hubungan mereka memang telah terjalin lama. Cina mengakui kemerdekaan Sudan pada 1959 dan sejak dekade 1960-an keduanya sudah menjalin kerja sama dagang. Sudan mengekspor kapas, sementara Cina menjajakan produk manufaktur.

Keakraban semakin kentara setelah Sudan dipimpin oleh Presiden Jafaar Nimeiry (1969-1985). Awalnya Nimeiry cukup dekat dengan Uni Soviet, namun, setelah Partai Komunis Sudan berusaha mengudetanya pada 1971, ia mulai berpaling ke Negeri Tirai Bambu yang juga berseteru dengan Soviet meski sama-sama komunis. Nimeiry juga mulai menengok negara-negara Arab serta Amerika Serikat dan sekutunya.

Dilansir dari artikel Daniel Large untuk Institute for Security Studies, pada era Nimeiry pemerintah Cina menawarkan pelatihan tentara dan persenjataan. Sepanjang 1983-1988, menurut tim riset Library of Congress AS, Sudan sudah menerima bantuan militer dan persenjataan dari komunitas internasional sebesar 350 juta dolar dan 30 juta dolar di antaranya (sekarang nilainya sekitar Rp1 triliun) berasal dari Cina.

Selain kemiliteran, Cina juga menyediakan pinjaman uang termasuk para profesional untuk membantu Sudan membangun jalan, perikanan, modernisasi pertanian beras, sampai survei sumber daya mineral. Hubungan baik ini kelak Cina abadikan melalui hibah gedung pertemuan Friendship Hall di Khartoum.

Minyak Sudan Perekat Hubungan

Kendati tampak banyak, sampai dekade 1980-an kepentingan ekonomi Cina di Sudan sebenarnya belum terlalu besar. Relasi keduanya baru berubah intens sejak Omar al-Bashir naik ke tampuk kekuasaan pada 1989 dan cadangan minyak di Sudan mulai dikembangkan pada dekade 1990-an, terutama di kawasan selatan.

Bashir, yang berkuasa berkat sokongan kalangan islamis garis keras, kerap memberikan suaka pada grup-grup teroris. Mereka pernah menaungi organisasi Abu Nadal dan Al-Qaeda, termasuk para pemimpinnya. Rezim Bashir bahkan mendukung invasi Irak ke Kuwait ketika negara-negara Arab berpengaruh seperti Mesir dan Arab Saudi menentangnya.

Akibatnya Sudan dijatuhi sanksi ekonomi dan militer oleh komunitas internasional. AS berhenti memberikan bantuan ekonomi sejak 1989 dan memasukkan negara tersebut dalam daftar sponsor teroris empat tahun kemudian. Pada 1996, PBB ikut menjatuhkan sanksi pada Sudan karena sudah melindungi terduga pelaku percobaan pembunuhan terhadap Presiden Mesir Hosni Mubarak.

Sudan terisolasi secara politik dan ekonomi. Situasi semakin rumit karena keadaan politik domestik tidak stabil seiring perang dengan pemberontak terus berkecamuk.

Dalam situasi karut-marut tersebut kabinet Bashir meminta bantuan Cina terutama untuk ikut mengembangkan industri minyak Sudan. Gayung bersambut. BUMN minyak China National Petroleum Company (CNPC) diundang ke Khartoum untuk menjajaki eksplorasi. Kerja sama ini terlihat semakin mantap seiring Bashir melawat ke Cina pada 1995.

Sebenarnya korporat raksasa asal AS Chevron sudah pernah menjajal sektor yang sama. Melansir artikel Jemera Rone di Review of African Political Economy, Chevron menemukan minyak di Sudan selatan pada 1978 dan coba mengembangkannya. Tapi proses ini tersendat-sendat karena gangguan dari grup-grup separatis. Tahun 1984, misalnya, markas Chevron diserang. Karyawan mereka ada yang tewas dibunuh. Chevron pun memutuskan menjual konsesinya pada 1992 ke perusahaan Kanada bernama Arakis.

BUMN minyak Cina CNPC dan Petronas asal Malaysia bergabung menjadi partner Arakis pada 1996. CNPC menguasai 40 persen aset konsesi, Petronas 30 persen, Arakis 25 persen, dan Sudapet (BUMN minyak Sudan) 5 persen. Mereka mendirikan Greater Nile Petroleum Operating Corporation (GNPOC).

Sayangnya GNPOC belum bisa membuahkan hasil segera. Sampai pertengahan 1998, Sudan masih harus mengimpor minyak.

Perusahaan Arakis dan asetnya di GNPOC lantas diambil alih oleh Talisman Energy Inc., korporat minyak dan gas dari Kanada juga yang jauh berpengalaman dengan teknologi lebih canggih. Masih dilansir dari tulisan Rone, berkat Talisman inilah kinerja GNPOC jadi semakin bagus.

Cina memang bukan satu-satunya pemain asing dalam sektor perminyakan Sudan. Akan tetapi, CNPC sudah menjadi garda terdepan kemajuan industri minyak Sudan. Melalui anak perusahaan bernama China Petroleum Engineering & Construction Corporation (CPECC), mereka ikut membangun pipa 1.500 km dari Sudan selatan ke Pelabuhan Sudan, gerbang penghubung Laut Merah dengan dunia. Di Khartoum, mereka mendirikan kilang dengan kapasitas pemrosesan sampai 2,5 juta ton.

Kerja sama asing dalam GNPOC mulai menghasilkan. Sudan mengekspor minyak pertamanya pada Agustus 1999 dan mendapatkan pemasukan sekitar 2,2 juta dolar (hari ini sekitar Rp50 miliar) dari situ.

Cina mengklaim tidak mengambil untung dari sana, menurut laporan Human Rights Watch. Perwakilan dari CPECC pernah sesumbar, “Suatu perusahaan dari barat tidak mungkin bisa melakukan yang sudah kami perbuat… Sudan ingin [proyek minyak] ini selesai dalam 18 bulan dan kami berhasil melakukannya meskipun kami tahu kami tidak akan dapat duit.” Otoritas Cina mengaku memboyong tim yang terdiri atas 10 ribu pekerja Cina sehingga proyek GNPOC bisa selesai pada 30 Juni 1999, bertepatan dengan peringatan satu dasawarsa National Islamic Front (NIF), organisasi politik Islam garis keras yang mendominasi lanskap pemerintahan Sudan sampai akhir dekade 1990-an. “Pekerja kami biasa makan pahit… mereka bisa kerja 13-14 jam per hari dengan upah sedikit,” demikian klaim Cina.

Sejak 1996 sampai 2008, Cina sudah berinvestasi sebanyak 15 miliar dolar di Sudan dan mayoritas di industri minyak. Selama rentang waktu itu, diperkirakan 10 persen impor minyak Cina berasal dari Sudan.

Pencapaian Sudan berkat sokongan Cina ini bagaikan durian runtuh bagi rezim Bashir. Karena uluran tangan Cina hidup di bawah bayang-bayang sanksi ekonomi ketat dari AS menjadi lebih ringan.

Kemajuan industri minyak Sudan juga jadi hadiah sekaligus kesempatan BUMN Cina unjuk gigi kepada dunia. Tujuan mereka, mengutip Daniel Large di artikel Institute for Security Studies, tak lain “untuk mendirikan perusahaan-perusahaan yang kompetitif di dunia sekaligus meningkatkan keamanan Cina sehubungan dengan pasokan energinya.” Singkatnya, Sudan menjadi penting di mata pemerintah Cinauntuk memperluas jangkauan BUMN minyaknya ke penjuru dunia.

Infografik Relasi Cina dan Sudan

Infografik Relasi Cina & Sudan. tirto.id/Quita

Dari Minyak untuk Perang

Sepanjang 2003-2006, pembelian minyak Sudan oleh Cina meningkat 63 persen. Pada 2007 angkanya menembus 113 persen. Pada tahun itu Cina membeli 40 persen dari 25 juta ton hasil minyak tahunan Sudan atau sekitar 6 persen dari total impor minyak Cina.

Pemasukan berlimpah tersebut juga dimanfaatkan Sudan untuk mempersenjatai pasukan dalam perang sipil di Darfur dan di Sudan selatan. Menurut lembaga swadaya dari New York, Human Rights First, terdapat senjata-senjata buatan Cina di daerah konflik Darfur, mulai dari AK-47, peluncur granat, sampai amunisi. Mereka memperkirakan nilai penjualan senjata Cina ke Sudan mencapai 55 juta dolar sepanjang 2003-2006. Sedikitnya 90 persen persenjataan kecil Sudan sudah dipenuhi oleh Cina sejak 2004, ketika embargo senjata ke Darfur diterapkan oleh PBB.

Cina memang mengirim senjata ke Sudan sebagaimana negara seperti Iran dan Rusia namun mereka mengklaim mematuhi embargo pengiriman senjata secara langsung ke area perang. Ketika PBB menemukan hal sebaliknya, Cina berkelit dengan argumen tidak mampu mengontrol ke mana senjata yang terjual sembari menuding bagaimana persenjataan dari AS untuk Irak juga ditemukan di kalangan grup pemberontak.

Sebagai investor besar, Cina dihujani kritik oleh komunitas dunia karena dipandang kurang mengerahkan pengaruhnya untuk mengerem kebrutalan rezim Bashir. Dengan hak veto di Dewan Keamanan PBB, Cina kerap mencegah berbagai usaha negara berpengaruh lain untuk menjatuhkan sanksi lebih berat.

Sama-Sama Untung?

Di balik rumitnya situasi geopolitik yang melatari relasi bisnis Cina dan Sudan, hubungan keduanya tetap terjalin baik bahkan setelah Sudan selatan menjadi negara merdeka pada 2011. Hal ini menimbulkan perkara baru karena mayoritas sumber minyak ada di selatan, sedangkan teknologi kilangnya ada di utara. Terlepas dari itu, Cina berkomitmen melanjutkan kerja sama dengan Sudan di samping sektor minyak, seperti pertanian dan pertambangan.

Melansir studi oleh Liu Hui berjudul “Sino-Sudan relation: Mutually beneficial or neo-colonialism” (2015), tak lama setelah Sudan Selatan merdeka, pemerintah Sudan dan Cina menyepakati perjanjian kerja sama teknis dan ekonomi dalam bentuk “bantuan gratis”. Pemerintah Cina juga berkenan membuatkan 30 sumur di Darfur serta menjalin kerja sama di bidang medis dan kesehatan.

Menurut Liu, tidak tepat menyebut relasi Sudan dan Cina sebagai hubungan yang timpang atau menyerupai penjajahan. Pasalnya, kedua pihak sama-sama diuntungkan.

Setelah diktator Bashir lengser pada 2019, Cina melebarkan program mereka: pembangunan infrastruktur penghubung dunia, Belt and Road Initiative (BRI). Seperti ditulis Duta Besar Cina untuk Sudan, Ma Xinmin di Global Times, Cina ingin “membantu Sudan mencapai transformasi dan modernisasi ekonomi.”

Tidak bisa dimungkiri bahwa kebijakan pemerintah Cina meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sudan yang saat ini berada di peringkat 154 dari 169 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia UNDP dan 47 persen warga masih hidup di bawah garis kemiskinan. Akan tetapi, kerja sama Cina-Sudan tidak bebas dari kritik. Seperti Meine Pieter van Dijk sampaikan dalam buku The New Presence of China in Africa (2009), tidak ada pembeda jelas antara bantuan pembangunan, kerja sama perdagangan, atau investasi yang pemerintah Cina lakukan bersama Sudan. Dampaknya, semua kesepakatan yang selama ini terjalin jadi kurang transparan.

“Pemerintah Cina nampaknya hanya ingin mengejar kepentingan Cina sendiri, namun berusaha menampilkannya seakan-akan itu adalah situasi yang sama-sama menguntungkan, kalau bukan sebagai bantuan pembangunan murni,” papar van Dijk.

Baca juga artikel terkait BILATERAL atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino