Menuju konten utama

Manuver Cak Imin vs Airlangga Hartarto Berebut Ketua MPR 2019-2024

Kursi ketua MPR dinilai strategis diperebutkan parpol di parlemen karena ketua DPR berdasarkan UU MD3 secara otomatis menjadi milik PDIP.

Manuver Cak Imin vs Airlangga Hartarto Berebut Ketua MPR 2019-2024
Komplek Gedung Parlemen di Senayan, Jakarta. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Sejumlah partai politik mulai mengincar pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI). Bahkan secara terang-terangan partai pendukung Jokowi-Ma'ruf maupun pengusung Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019 mulai bermanuver demi kursi ketua MPR periode 2019-2024.

PKB misalnya. Muhamaimin Iskandar selalu ketua umum bahkan secara blak-blakan menyebut dirinya mengincar kursi ketua MPR RI yang kini dijabat Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Pria yang akrab disapa Cak Imin ini bahkan mengaku tak tertarik lagi di jabatan eksekutif.

“Saya terus terang ingin di MPR, [menjadi] menteri sudah pernah dan sudah cukuplah saya mengabdi di eksekutif, gantian saya biar di legislatif,” kata Cak Imin di sela-sela menghadiri acara Sosialisasi Muktamar PKB di Semarang, Selasa (9/7/2019) seperti dikutip dari Antara.

PKB pun sudah bermanuver dengan bertemu dengan KH Maruf Amin selaku wakil presiden terpilih. Meski tidak menjawab tegas, Maruf perlu berkonsultasi dengan koalisi.

Namun, koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf tidak sepenuhnya sepakat. Golkar sebagai partai dengan perolehan suara terbesar kedua di koalisi tidak membiarkan manuver Cak Imin.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartanto menegaskan, kursi Ketua MPR seharusnya berada di tangan Golkar. Airlangga berkata, PKB semestinya ikut membahas paket karena di dalam koalisi pemenangan Jokowi-Maruf.

"Artinya koalisi kerja akan ada paket. Nah kami mengurus paket itu. [Walau ada satu koalisi dengan PKB] tetapi kan urutan bergantung kursi," kata Airlangga, di Jakarta, Rabu (17/7/2019).

Selain itu, partai-partai di luar koalisi Jokowi juga ikut meramaikan bursa Ketua MPR. Partai Gerindra selaku parpol dengan perolehan suara terbanyak kedua di pemilu legislatif mendeklarasikan diri untuk ikut dalam bursa Ketua MPR.

Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani pun mengatakan, lobi-lobi masih dilakukan agar Gerindra mendapat kursi Ketua MPR.

“Peluangnya masih terbuka semua, sebelah sini, sana, semua masih cair. Tadi saya bicara dengan Pak Muhaimin (Ketua Umum PKB), semua masih cair," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (18/7/2019).

Perebutan Demi Mengontrol

Pengamat politik dari Universitas Padjajaran Kunto A. Wibowo mengatakan keriuhan pemilihan ketua MPR terjadi karena situasi politik legislatif. Apabila mengacu kepada Undang-Undang MD3, kursi Ketua DPR sudah diambil oleh PDIP sehingga perebutan kursi ketua MPR semakin besar.

Kunto menilai, kursi Ketua MPR pun dianggap strategis karena sejumlah wacana penguatan kemampuan MPR ke depan.

“Ada kemungkinan perannya akan membesar ketika ada amendemen UUD. Seperti isu bahwa presiden tidak akan dipilih langsung atau peran MPR dalam legislasi. Semakin besar peran, maka bargaining politik akan membesar,” kata Kunto kepada reporter Tirto, pada Sabtu (20/7/2019).

Kunto mengatakan, kursi Ketua MPR juga akan mempengaruhi konstelasi di Pilpres 2024. Sebab, media akan memberitakan kegiatan ketua MPR. Nilai positif tersebut diduga juga menjadi faktor sejumlah parpol menginginkan kursi itu.

Kunto menggambarkan, pemilihan ketua DPR akan berbeda dengan pimpinan MPR. Sebab, pemilihan ketua MPR akan bersatu dalam konsep paket, sementara DPR mengacu kepada perolehan suara terbesar dalam pemilu legislatif, yakni PDIP.

Namun, kata dia, pemilihan ketua MPR selayaknya diserahkan kepada partai dengan suara terbesar atau suara koalisi terbesar untuk mengajukan. “Golkar sebagai peraih suara terbanyak selain PDIP di koalisi [Jokowi],” kata Kunto.

Meski demikian, Kunto memprediksi perebutan kursi ketua MPR akan dinamis. Sebab, partai yang sebelumnya berkoalisi dalam BPN Prabowo-Sandiaga pun punya kesempatan dalam bursa ketua MPR, yakni Demokrat, PAN, dan Gerindra.

Kunto pun beranggapan Gerindra masih berpeluang sebagai ketua MPR meski kesempatan tidak besar. “Kalau Gerindra gabung koalisinya Jokowi, ya kemungkinan akan terbuka,” kata Kunto.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Konstitusi Feri Amsari memandang, deklarasi partai-partai untuk merebut kursi ketua MPR adalah hal wajar. Sebab, setiap partai tentu ingin menunjukkan eksistensi kepada publik.

Namun, Feri mengingatkan, pemilihan ketua MPR tidak bisa dilakukan sembarangan. Alasannya, kata Feri, MPR punya wewenang yang besar, yakni mengubah undang-undang dasar hingga mengangkat dan memberhentikan presiden.

Dengan kewenangan tersebut, kata Feri, maka wajar bila kursi diserahkan kepada partai dengan perolehan suara terbanyak daripada sebagai ajang bagi-bagi kursi.

“Karena tugas MPR penting untuk menjaga fixed term itu karena dia punya kewenangan untuk mengganti presiden, maka orang yang ditugaskan sebagai pimpinan MPR punya kewajiban menjaga masa jabatan presiden itu untuk fixed,” kata dia.

Karena itu, kata Feri, komposisi pimpinan MPR RI mestinya berbasis kepada partai yang kemudian punya kursi mayoritas di parlemen. “Agar fungsi untuk menjaga masa jabatan tetap itu bisa dilaksanakan dengan baik,” kata Feri.

Feri tidak memungkiri ada konsep paket dalam pemilihan ketua dan wakil ketua MPR. Namun, ia hanya berharap agar kursi ketua MPR tidak boleh dijadikan ajang transaksional. Sebab, ajang bagi-bagi kursi justru berpotensi mengganggu pemerintahan Jokowi-Maruf.

Meski pemilihan ketua MPR berbasis sistem paket, Feri mengingatkan agar pembagian kursi tidak serta-merta dibagi kepada pihak oposisi. Feri mengingatkan, kewenangan ketua MPR sebagai individu sudah cukup besar.

Sebab, ketua MPR bisa menggunakan wewenangnya untuk mengganggu pemerintahan Jokowi, salah satunya agenda untuk menjatuhkan Jokowi di masa depan.

Baca juga artikel terkait PILEG 2019 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz