Menuju konten utama

Mantan Pelawak Melawan Oligark

Presiden Ukraina yang mantan pelawak Volodymyr Zelensky hendak melawan oligarki lewat regulasi. Tapi bagi sebagian orang ini hanya akal-akalan saja.

Mantan Pelawak Melawan Oligark
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. ANTARA FOTO/REUTERS/Valentyn Ogirenko/cfo

tirto.id - Apakah Anda memiliki kekayaan bersih di atas Rp1,2 triliun, memonopoli bisnis, punya aset di industri media dan ikut berkecimpung di kancah politik? Jika ya, dan kebetulan tinggal di Ukraina, maka Anda secara legal dikategorikan sebagai “oligark” berdasarkan RUU Oligarki, peraturan yang baru saja disetujui pada 23 September silam oleh parlemen (Verkhovna Rada).

RUU Oligarki diajukan ke parlemen pada Juli. Peraturan ini disahkan berkat dukungan 279 dari total 450 anggota dewan. Mayoritas suara setuju berasal dari Sluha Narodu atau Pelayan Rakyat, partai pendukung presiden. Setelah nanti disahkan menjadi UU oleh presiden, legislasi ini akan berlaku hingga 10 tahun.

Peraturan ini pada dasarnya hendak membatasi kekuasaan oligark yang secara sederhana merujuk pada sekelompok kecil elite kaya raya. Sementara oligarki, sistem yang disokong para oligark, menurut Jeffrey A. Winters adalah “politik pertahanan kekayaan oleh aktor-aktor yang diberkahi materi.”

“Oligark” yang jumlahnya diperkirakan belasan orang ini bakal diwajibkan untuk melaporkan harta mereka serta dilarang menjadi pejabat publik, mensponsori partai politik, sampai membeli aset negara. Presiden, perdana menteri, dan gubernur bank nasional juga diminta menyampaikan segala urusan mereka dengan oligark.

Oligark di Ukraina lahir sejak negara terluas kedua di Eropa ini merdeka dari Uni Soviet pada 1991. Segelintir elite bisnis yang memonopoli industri mulai bermunculan dan meraup untung setelah berhasil membeli aset negara peninggalan rezim Soviet dengan harga murah meriah. Berbekal uang dan kuasa, para konglomerat mulai menyokong politikus favorit mereka masing-masing (beberapa bahkan langsung berkecimpung di politik praktis), menyuap hakim, sampai menguasai industri media agar bisa memengaruhi opini publik.

Saking kuatnya pengaruh di lanskap politik dan ekonomi Ukraina, mereka senang saja disebut oligark.

Sekian dekade berlalu, gugatan terhadap oligark pun muncul sebab mereka dianggap merusak sistem politik dan menyuburkan korupsi. Transparency International mencatat Indeks Persepsi Korupsi Ukraina pada 2020 berada pada peringkat 117 dari 180—terendah kedua di kawasan Eropa setelah Rusia dan bahkan di bawah Indonesia yang duduk di peringkat ke-102.

Produktivitas dan pertumbuhan ekonomi pun tergolong rendah, padahal Ukraina diberkahi lahan pertanian dan sumber daya alam seperti bijih besi dan batu bara yang melimpah. Bahkan Bank Dunia pada 2019 lalu memperkirakan butuh waktu 50 tahun lebih bagi rakyat Ukraina untuk menyusul standar gaji penduduk Polandia.

Di sisi lain, harta golongan terkaya terus menunjukkan tren naik, kira-kira 12 kali lipat lebih cepat dibanding pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Selama pandemi, ketika sebagian besar besar masyarakat hidup makin susah, 100 orang terkaya di sana malah berhasil meningkatkan kekayaan dari Rp400 triliun setahun sebelumnya menjadi 44,5 juta dolar atau sekitar Rp600 triliun.

Gurita Oligark

Melansir Rosaria Puglisi dalam studi berjudul “The rise of the Ukrainian oligarchs” (2010), kemunculan oligark di Ukraina ini bisa ditelusuri sejak periode pertama Presiden Leonid Kuchma (1994-1999).

Seperti negara-negara yang baru lepas dari Soviet, Ukraina berusaha meliberalisasi pasar dan mengurangi kontrol negara di sektor ekonomi. Pada waktu sama, mereka juga mencoba melewati serangkaian proses demokratisasi.

Usaha liberalisasi ekonomi di atas konsolidasi demokrasi kerap berujung pada tren despotisme atau pemerintahan yang otoriter. Hal ini biasanya dibenarkan demi mencapai kemapanan ekonomi sekaligus meredam suara oposisi. Sementara di Ukraina yang terjadi adalah Kuchma mempertahankan kekuasaannya “dengan cara menjalin jaringan patronase pribadi, distribusi ulang bantuan ekonomi, dan akses istimewa ke sumber daya ekonomi.”

Maka privatisasi ala Kuchma melahirkan segerombolan elite kaya raya yang memonopoli sektor energi seperti Igor Bakai dan Mykola Martynenko serta taipan media seperti Oleksandr Zinchenko dan Igor Pluzhnikov—nama-nama yang kelak tersandung beragam skandal korupsi, demikian jurnalis Katya Gorchinskaya melaporkan di Eurasianet.

Gorchinskaya mencatat selama periode kedua pemerintahan Kuchma (1998-2004) sejumlah elite bisnis terjun ke parlemen agar bisa meloloskan sendiri undang-undang untuk menyokong kepentingan bisnis, alih-alih mensponsori politikus. Tak terkecuali menantu Kuchma, Viktor Pinchuk, yang kini dilaporkan punya harta kekayaan 2,5 miliar dolar atau Rp35 triliun.

Pengaruh dari golongan kaya raya di pemerintahan tak berhenti di era Kuchma. Kuchma memang lengser setelah Revolusi Oranye pada 2004, ketika rakyat berdemonstrasi karena kecewa dengan kecurangan pemilu yang memenangkan penerus Kuchma (politikus pro-Moskow, Viktor Yanukovych). Akan tetapi, presiden penggantinya dari kubu oposisi, seorang bankir bernama Viktor Yushchenko, juga masih dikerumuni oleh elite-elite bisnis.

Yushchenko yang prointegrasi dengan Uni Eropa dan NATO gagal membawa reformasi ke Ukraina dan mengakhiri jabatannya dengan membiarkan negara terpuruk dalam lubang korupsi dan krisis ekonomi.

Presiden Viktor Yanukovych (2010-2014) juga berhasil menang pilpres setelah mendapat dukungan dari orang terkaya di seantero negeri, Rinat Akhmetov. Akhmetov adalah pengusaha tambang dengan harta 7,6 miliar dolar atau lebih dari Rp100 triliun. Akhmetov juga pernah duduk di parlemen mewakili Party of Regions, partai pro-Rusia penyokong Yanukovych.

Dukungan Akhmetov terbayar lunas. Harta kekayaannya bertambah 3 miliar dolar hanya dalam waktu enam bulan. Keuntungan tersebut berasal dari lima proyek energi terbesar pemerintah yang dikuasai tak lama setelah Yanukovych menang.

Analis politik Volodymyr Fesenko mengatakan kepada The Guardian pada 2014 lalu bahwa Akhmetov sudah menjadi “direktur bisnis” dan Yanukovych adalah “direktur politik”. “Yanukovych jadi presiden karena Akhmetov, dan dirinya tetap satu-satunya oligark yang bisa memanggil presiden secara langsung serta memengaruhi kedudukannya,” kata Fesenko.

Yanukovych mampu bertahan beberapa tahun sebagai presiden sampai langkahnya untuk mendekati Rusia dan menjauhi jalur integrasi dengan Uni Eropa memicu protes massa. Aksi ini berujung demonstrasi Euromaidan (2013-2014) yang menyerukan agar Yanukovych dan grup elite di sekelilingnya mundur.

Setelah Yanukovych melarikan diri ke Rusia, jabatan presiden diisi oleh politikus kaya raya Petro Poroshenko. Pengusaha yang dijuluki Raja Cokelat karena berkecimpung di industri pangan kesukaan anak-anak ini memiliki kekayaan Rp22 triliun dan sudah lama malang melintang di parlemen. Meskipun awalnya dekat dengan faksi-faksi yang loyal terhadap eks-presiden Kuchma, Poroshenko kemudian mendirikan partai sendiri yang prointegrasi Eropa, European Solidarity.

Poroshenko sempat dipuji setelah mendorong reformasi ekonomi melalui kontrak dengan IMF. Akan tetapi dia dipandang gagal memberantas korupsi seiring orang-orang di lingkarannya mengambil keuntungan ilegal.

RUU Oligarki sebagai Solusi?

Lalu, jika pengaruh oligark sedemikian kuat, mengapa sekarang tiba-tiba muncul RUU Oligarki yang di atas kertas tampak progresif? Untuk itu kita mau tak mau melihat latar belakang sang presiden, Volodymyr Zelensky.

Zelensky, percaya atau tidak, adalah seorang pelawak (ya, pelawak, komedian, yang tugasnya membuat orang tertawa sampai perut mulas). Ia dikenal luas berkat perannya di serial komedi Servant of the People. Di sana dia memerankan tokoh bernama Vasyl Petrovych Holoborodko, seorang guru miskin yang secara tak terduga menjadi presiden.

Ia memulai karier sebagai pelawak saat membentuk grup bernama Kvartal 95 pada 1997. Sepanjang 1999-2003, grup ini terus tampil di liga tertinggi kontes komedi KVN dan sering diundang berkeliling di negara-negara bekas Soviet lain.

Lawakan yang kerap disampaikan Zelensky punya ciri khas, yakni mengolok-olok para politikus termasuk kasus-kasus korupsi.

Zelensky akhirnya sadar bahwa komedinya tak mengubah apa-apa. Karenanya, pada Maret 2018, dia memutuskan membuat partai bernama Servant of the People, nama sebuah acara yang pernah melambungkan popularitasnya.

Pada 31 Desember 2018, Zelensky akhirnya mengumumkan akan maju sebagai presiden melawan petahana, Petro Poroshenko, dengan ambisi untuk “mengubah konstelasi politik Ukraina.” Awalnya publik mengira ini hanya protes belaka, namun ternyata dukungan meluas dan akhirnya dia pun menang Pemilu 2019.

RUU Oligarki tampak sebagai realisasi dari janji politik tersebut. “Dengan membatasi kekuatan para oligark dan mencegah mereka memeras negara, kita akan menciptakan Ukraina yang lebih adil yang benar-benar bersaing di panggung global dan bisa mempertahankan kedaulatannya secara efektif,” demikian Zelensky menyampaikan tujuan dari program “de-oligarkisasi”. Sementara dalam pidato Mei silam, dia menegaskan bahwa Ukraina adalah negara bagi “40 juta warga, alih-alih seratus [nama dalam daftar] Forbes.”

Meski tujuannya tampak baik, RUU Oligarki tidak bebas dari kritik. Dikutip dari Euromaidan Press, ahli politik dari Kyiv-Mohyla Business School, Valeriy Pekar, memandang peraturan ini sekadar kebijakan yang populis dan tidak berguna. Alih-alih menyasar elite bisnis satu per satu, pemerintah seharusnya fokus pada perubahan sistem yang melanggengkan relasi korup dan oligarkis di dalam lingkaran mereka.

Senada, pakar antikorupsi Maksym Kostetskyi menganggap RUU Oligarki tidak akan membawa dampak positif maupun buruk. Menurutnya, satu-satunya obat untuk menyembuhkan Ukraina adalah dengan mengubah “oligark” jadi pebisnis biasa dengan reformasi antimonopoli, peradilan, dan penegakan hukum.

Infografik Memberantas Oligark di Ukraina

Infografik Memberantas Oligark di Ukraina. tirto.id/Quita

RUU Oligarki juga dianggap sekadar alat untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan Presiden Zelensky sekaligus memberangus lawan-lawan politik seperti Viktor Medvedchuk, politikus dari partai oposisi yang pro-Kremlin sekaligus kawan dekat Vladimir Putin. Konglomerat di bidang energi dan media dengan kekayaan triliun rupiah ini sejak Mei lalu sudah dijadikan tahanan rumah. Ia diduga menggunakan keuntungan dari bisnis untuk membiayai gerakan pro-Rusia di Ukraina timur.

Ada pula mantan presiden Poroshenko yang sampai sekarang sudah diinvestigasi untuk 24 kasus, mulai dari soal koleksi lukisan mahal sampai penunjukan ketua badan intelijen secara ilegal. Proshenko meyakini bahwa segala tuduhan yang dilancarkan kepadanya tak lebih dari pembalasan dendam orang di balik Zelensky, Ihor Kolomoisky. Alasannya, Proshenko tengah menjabat presiden ketika skandal PrivatBank yang melibatkan Kolomoisky terkuak.

Nama Kolomoisky juga disebut-sebut dalam kritik terhadap peraturan baru ini. Menurut analis politik David Clark, pendekatan yang dipakai Zelensky untuk mengerdilkan kekuatan “oligark” sangat mungkin bersifat selektif. Faktanya memang siapa saja yang bisa dimasukkan ke dalam daftar resmi “oligark” diputuskan oleh Badan Pertahanan dan Keamanan Nasional, lembaga yang berada di bawah kontrol langsung Zelensky.

Definisi “oligark” dalam RUU Oligarki dipandang sudah diatur sedemikian rupa agar bisa mengecualikan Kolomoisky, seorang taipan industri media, energi, dan penerbangan dengan harta kekayaan Rp25 triliun. Clark juga mendapati pihak-pihak di pemerintahan sudah disingkirkan satu per satu karena dianggap mengancam kepentingan Kolomoisky.

Kolomoisky berkontribusi cukup signifikan bagi kemenangan Zelensky dalam pilpres dua tahun silam. Kolomoisky sudah mengorbitkan nama Zelensky sebagai aktor komedi lewat stasiun televisi miliknya, mensponsori kampanye, hingga melindunginya dari para rival politik.

Sebelum menyokong Zelensky, Kolomoisky sudah tersandung kasus kejahatan keuangan. Mantan Gubernur Dnipropetrovsk Oblast ini disinyalir melakukan penyelewengan di bank terbesar Ukraina yang separuh sahamnya pernah ia miliki, PrivatBank, sampai akhirnya bank tersebut dinasionalisasi pada 2016.

Bulan Maret kemarin, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada Kolomoisky dan anak-istrinya dengan melarang mereka masuk ke AS. Pemerintah AS tengah mengusut dugaan apakah Kolomoisky mencuci uang di AS dan riwayat korupsi saat ia menjabat gubernur pada 2014-2015. “Penunjukan [sanksi terhadap Kolomoisky sekeluarga] ini menegaskan kembali komitmen AS untuk mendukung reformasi di bidang politik, ekonomi, dan keadilan,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken.

Meskipun tidak menyinggung nama Kolomoisky, Zelensky menyambut baik langkah pemerintah AS dan menegaskan pentingnya usaha untuk membasmi para oligark, yang kini terwujud dalam RUU Oligarki.

Jadi, apakah sang mantan pelawak benar-benar hendak melawan oligark, bahkan jika itu adalah orang yang sangat berjasa baginya?

Baca juga artikel terkait OLIGARKI atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino