Menuju konten utama
Misbar

Mantan Manten: Kabar Mantan Menikah Tak Berarti Akhir Dunia

Kabar mantan menikah bukanlah akhir dari segalanya.

Mantan Manten: Kabar Mantan Menikah Tak Berarti Akhir Dunia
Adegan film Mantan manten. Instagram/atiqahhasiholan

tirto.id - Dalam setiap rumus percintaan, kebanyakan orang hanya mengenal “mengejar” dan “memperjuangkan” namun abai ketika sudah berbicara tentang “merelakan”. Padahal, kenyataannya, “merelakan” sama pentingnya dengan mengejar dan memperjuangkan. Bagi banyak orang, “merelakan” seringkali disingkirkan, dianggap sesuatu yang asing sekaligus mengerikan.

Inilah yang coba diangkat film terbaru produksi Visinema Pictures berjudul Mantan Manten. Kisah Mantan Manten berpusat pada karakter Yasnina (Atiqah Hasiholan), seorang manajer cum konsultan investasi yang popularitasnya setara dengan pesohor. Ia sering tampil di acara televisi dan disatroni juru warta. Kehidupan Yasnina terlihat sempurna: glamor, kaya, dan punya tunangan dari lapis sosial tertinggi. Namanya Surya (Arifin Putra).

Akan tetapi, hidup yang dipandang ideal tersebut berbalik 180 derajat menjadi bencana kala Yasnina dijebak dan dikhianati oleh Iskandar (Tyo Pakusadewo), bos sekaligus calon mertuanya, sehubungan dengan kasus penggelapan dana investasi. Kemewahannya disita aparat. Ia pun seketika jatuh miskin━dan sangat nelangsa hidupnya.

Harapan muncul di tengah perasaan yang serba kalut. Yasnina ternyata masih punya aset berupa villa di daerah Tawangmangu, Jawa Tengah, yang belum balik nama. Yasnina berencana menjual villa tersebut dan uangnya dapat dipakai untuk modal melawan Iskandar di pengadilan.

Usaha untuk mengambil alih villa ternyata tak semudah membalik telapak tangan. Yasnina mesti berhadapan dengan Marjanti (Tutie Kirana), pemilik lama villa yang sehari-harinya bekerja sebagai pemaes (perias) dan dukun manten (pengantin). Marjanti setuju untuk menyerahkan villa miliknya asal Yasnina mau jadi asistennya selama tiga bulan, di tiga hajatan pernikahan.

Ringan dan Relevan

Sejak didirikan oleh Angga Dwimas Sasongko pada 2008, Visinema Pictures langsung menggebrak industri film Tanah Air. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk mencuri perhatian khalayak lewat sederet film yang diproduksi. Tonggak pertama Visinema, Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014), adalah film tentang sepakbola dan konflik sektarian yang meletus di Ambon pada awal 2000-an. Film ini berhasil menggondol Piala Citra untuk kategori Film Panjang Terbaik.

Selepas Cahaya dari Timur, gerak Visinema kian menggeliat. Mereka rutin membikin film yang bisa nyambung dengan kehidupan orang-orang kota yang narasinya tak jauh-jauh dari cinta, harapan, hingga persahabatan━yang lantas terangkum dalam Filosofi Kopi (2015), Love for Sale (2018), Terlalu Tampan (2019), dan remake dari Keluarga Cemara (2019).

Mulanya saya mengira Mantan Manten yang naskahnya ditulis oleh Farishad Latjuba dan Jenny Jusuf ini bakal murahan dan berakhir seperti tayangan FTV.

Perkiraan saya meleset: kisah Mantan Manten rupanya cukup menarik. Farishad membangun konflik di tiap babak dengan rapi dan terstruktur. Kita tak dibuat bertanya, “Mengapa bisa demikian?”. Antara satu bagian ke bagian lainnya punya garis hubung yang jelas dan tak meninggalkan lubang yang tak perlu.

Cerita Mantan Manten sebetulnya sederhana: tentang perempuan yang menyaksikan mantan tunangan yang amat dicintainya menikah dengan orang lain. Namun, sebelum sampai ke sana, Farishad lebih dulu menyelipkan konflik berlapis dengan jahitan solid, tak picisan, disertai konteks yang jelas, dan menutupnya dengan klimaks━bahkan plot twist━di akhir babak.

Bagian paling menarik dari Mantan Manten adalah ketika Yasnina menjalani hari-hari bersama Marjanti di Tawangmangu. Dua karakter ini dikisahkan kontras. Marjanti merepresentasikan perempuan yang kaku, konservatif, dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat. Sedangkan Yasnina sendiri menggambarkan perempuan yang modern, dominan, dan terbuka.

Infografik misbar Mantan manten

undefined

Keduanya dipertemukan dalam satu ruang untuk beradu gagasan menyoal kemandirian, emansipasi, dan cita-cita seorang perempuan. Kendati berbeda latar belakang, Farishad tak selalu menempatkan mereka pada posisi saling serang. Tak jarang, keduanya saling mengamini pemikiran masing-masing.

Yasnina mempertanyakan pendirian Marjanti yang sering kali tak dibayar secara layak ketika bekerja sebagai pemaes. Pembelaan Marjanti: bekerja memang tak melulu tentang nominal, tapi juga soal ikhlas, sebagaimana falsafah paes pada umumnya yang menekankan “kemuliaan (ber-)tugas.” Yasnina, yang selama hidupnya bekerja untuk uang dan kejayaan, tak dinyana justru diam seolah menyetujui prinsip Marjanti.

Walaupun punya pondasi cerita yang kokoh, Mantan Manten masih meninggalkan celah. Karakterisasi Ardy (Marthino Lio), mantan asisten Yasnina, misalnya. Sepanjang film, ia tak memiliki peran dan motivasi yang jelas selain hanya mondar-mandir mengikuti Yasnina dan menyemangatinya dengan kalimat-kalimat klise.

Selain soal karakterisasi, Mantan Manten juga luput memberi tahu kepada penonton apa yang mendorong Iskandar menjebak serta menghancurkan karier Yasnina. Ini agak ganjil mengingat Yasnina tergolong pekerja yang dapat diandalkan.

Terlepas dari celah-celah tersebut, Mantan Manten berhasil mengemas yang tragis menjadi sesuatu yang tak perlu terus-terusan disesali━bahkan mungkin patut pula untuk ditertawakan.

Satu hal yang pasti, Mantan Manten memperlihatkan bahwa ditinggal━dan melihat━mantan menikah adalah sesuatu yang pasti akan kita alami cepat atau lambat. Yasnina berhasil melaluinya. Bagaimana nanti dengan Anda?

Baca juga artikel terkait RESENSI FILM atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf