Menuju konten utama

Mantan Hakim Agung Dukung Proses Peradilan di MA Dilakukan Terbuka

Gayus Lumbuun mendukung desakan agar proses peradilan MA bisa terbuka layaknya MK.

Mantan Hakim Agung Dukung Proses Peradilan di MA Dilakukan Terbuka
Gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. FOTO/Mahkamah Agung

tirto.id - Mahkamah Agung (MA) mendapat sorotan dari berbagai pihak terkait tertutupnya proses peradilan yang selama ini dijalankan. Termasuk adanya biaya yang dibebankan kepada publik saat hendak mengajukan perkara.

Feri Amsari peneliti dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) menyebut tertutupnya proses peradilan di MA berpotensi membuka celah korupsi. Sedangkan Bayu Dwi Anggono dari Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) khawatir MA akan menyimpang dari asas-asas umum peradilan yang baik.

Keduanya juga membandingkan MA dengan lembaga hukum lain, seperti Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah menjalankan sistem peradilan terbuka, dapat dihadiri, dan tidak dipungut beban biaya.

Menanggapi hal tersebut, Gayus Lumbuun yang pernah menjabat sebagai Hakim Agung di Mahkamah Agung periode 2011-2018 angkat bicara. Gayus menyebut bahwa karakteristik MA dan MK berbeda dan tidak sepadan bila dibandingkan.

“MK itu hanya court of law [peradilan tentang hukum], sangat sempit seperti yang ada di banyak negara. Di MK hakimnya hanya sembilan, di MA ada 53. Perkaranya tidak sampai 1.000 per tahun di MK, itupun di MK diramaikan perkara-perkara yang sifatnya justice seperti Pilkada, Pilpres, Impeachment. Tapi tugas orisinilnya itu hanya kecil sekali.” tutur Gayus dalam acara diskusi bertema “Transparansi Peradilan dan Membenahi Persidangan Tertutup di MA Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW)”, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (9/4) siang.

Kendati proses peradilan di MA tertutup, Gayus mengatakan bahwa para hakim tetap melihat aspek nurani dengan memutar CD yang berisi riwayat orang yang hendak diputuskan nasib hukumnya.

“Praktiknya bukan seperti yang dibayangkan juga, mohon maaf. Saya di MA bundel perkara yang masuk di meja kami ada bundel A dan B. Di A itu ada CD (Compact Disk),” ujar Gayus.

Ia juga menceritakan contoh kasus di mana ia pernah membebaskan pensiunan TNI yang ditangkap karena narkoba dengan membuka dan mempertimbangkan latar belakang kondisi hidupnya pasca perang di Aceh dan Timor Leste. Keputusannya itu ditentang oleh Hakim Agung lainnya di MA.

“Hakim Agung bukan robot. Kami bukan mesin perkara. Kami ini orang, hidup dan bertanggung jawab terhadap nasib orang lain. Hakim harus hakim yang excellent, yang mumpuni, hakim yang lengkap. Saya menyesal masuk udah cukup tua dan hanya kebagian masa bakti selama tujuh tahun di MA.” tutur Gayus lagi.

Gayus mendukung desakan agar proses peradilan di MA bisa terbuka layaknya di MK. Dengan catatan harus melalui riset dan pertemuan ilmiah dan disahkan lewat perundang-undangan. Bagi Gayus, MA tetap perlu disoroti dan dikritik terkait kinerjanya yang menurutnya agar bisa menyamai keindahan dari MK.

Baca juga artikel terkait MAHKAMAH AGUNG atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Hukum
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Alexander Haryanto