Menuju konten utama

Mansplaining: Perilaku Seksis Laki-Laki dalam Percakapan

Ada ragam bentuk perlakuan seksis yang masih jamak ditemui dalam keseharian. Satu di antaranya adalah mansplaining.

Ilustrasi mansplaining. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Dalam sebuah wawancara dengan VJ Xerxes dari MTV Insider, tampak dua bintang film India, Katrina Kaif dan Ranbir Kapoor, tengah menceritakan tentang film baru mereka, Jagga Jasoos. Seperti diberitakan Hindustan Times, mulanya, terlihat tidak ada yang tak biasa dari wawancara tersebut. Xerxes menanyai kedua bintang film itu secara bergantian. Sampai pada satu momen, begitu usai menanyai Kapoor, Xerxes melontarkan pertanyaan seputar karakter Shruti yang dimainkan Kaif. Kaif mulai bercerita tentang bagaimana ia memandang karakter Shruti dan soal relasi Shruti dengan Jagga yang dimainkan Kapoor ketika tiba-tiba, Kapoor memotong ucapannya.

Aktor yang digosipkan sempat menjalin asmara dengan Kaif selama lima tahun tersebut langsung berbicara tentang bagaimana Shruti memperlakukan Jagga seperti anak kecil, seolah Jagga tidak tahu apa-apa. Perlakuan Kapoor ini dibalas dengan komentar Kaif, “Dan di kehidupan nyata, dia (Kapoor) memperlakukanku seperti anak kecil, seolah aku tidak tahu apa-apa karena dia tidak membiarkanku menyelesaikan kalimat.”

Alih-alih menyadari interupsinya menyinggung Kaif, Kapoor malah terus berbicara tentang karakter Shruti kepada Xerxes. Berbagai gestur dan ekspresi coba ditunjukkan Kaif untuk menyatakan ketidaknyamanannya atas sikap Kapoor, tetapi laki-laki itu seperti tidak mempedulikannya. Lantas, Kaif mengambil jalan terakhir untuk membuka mata Kapoor dengan berkata, “Kamu sadar bahwa kamu sedang membicarakan karakter saya pada saat saya duduk di sini?”

Perilaku menginterupsi, menjelaskan, atau membenarkan apa yang diucapkan perempuan dalam percakapan tidak hanya ditemukan dalam kasus Kaif dan Kapoor. Hal ini biasa disebut dengan mansplaining. Contoh lain mansplaining disuguhkan Elisabeth Bik, pakar mikrobiologi dari Stanford University dalam Time. Ia membuat eksperimen sederhana dengan mengamati situasi rapat di tempat kerjanya. Dari pengamatan Bik, terlihat kecenderungan laki-laki untuk menginterupsi perempuan saat mereka berbicara.

Di akun Twitternya, @MicrobiomDigest, Bik memaparkan temuan-temuannya. “Hampir setiap perempuan di dalam rapat tersebut duduk tanpa bersuara. Termasuk saya. Sepertinya sulit sekali untuk kami (perempuan) berkesempatan bertanya, karena orang-orang lain terus berbicara,” demikian salah satu cuitan Bik.

Terkait perilaku interupsi laki-laki terhadap perempuan ini, Don Zimmerman and Candace West, pakar sosiologi dari University of California melakukan riset dengan membuat 31 simulasi percakapan. Sepuluh percakapan dilakukan antarperempuan, 10 antarlaki-laki, dan 11 sisanya antara perempuan dan laki-laki. Dalam konteks percakapan sesama jenis, mereka menemukan 7 kali aksi interupsi. Sementara, dalam konteks percakapan perempuan dan laki-laki, ditemukan 48 kali aksi interupsi dan 46 di antaranya dilakukan laki-laki terhadap perempuan.

Baik dalam aksi interupsi, tidak mengizinkan perempuan berbicara, maupun penjelasan laki-laki kepada perempuan tentang hal yang sudah diketahuinya, tersemat satu pesan yang sama: seksisme masih merajalela. Lantaran perempuan lebih diasosiasikan dengan sesuatu yang emosional dan dianggap tak lebih piawai atau cerdas daripada laki-laki, sering kali mereka mengalami perlakuan tidak adil, bahkan merendahkan. Dilansir The Economist, Soraya Chemaly—penulis, feminis, dan direktur Women's Media Center Speech Project—menyatakan, mansplaining terjadi akibat kepercayaan diri laki-laki yang berlebihan. Lebih lanjut, dari kacamata Chemaly, perilaku seksis ini sudah mengakar secara budaya di mana laki-laki ditempatkan di posisi yang lebih dominan.

Baca juga:

src="//mmc.tirto.id/image/2017/08/09/laki-laki-bicara--MILD--Quita-01-01.jpg" width="860" alt="infogafik mansplaining" /

Namun, benarkah alasan laki-laki melakukan mansplaining hanya berdasarkan intensi mendominasi perempuan? Deborah Tannen, ahli linguistik dari Georgetown University dan penulis buku You Just Don’t Understand (1990) menyebutkan faktor lain yang mendorong langgengnya mansplaining.

“Ketidaksetaraan perlakuan terhadap kedua gender bukan hanya berasal dari perilaku laki-laki, tetapi juga perbedaan gaya berbicara antara keduanya,” jelas Tannen. Dari sudut pandangnya, laki-laki cenderung berbicara untuk meraih status, sementara perempuan berbicara untuk membentuk koneksi. Ibaratnya, laki-laki memandang hidup sebagai tangga dan tempat yang lebih baik adalah di atas. Sementara, perempuan melihat hidup sebagai suatu jaringan dan tempat lebih baik adalah ketika mereka memiliki koneksi yang lebih luas.

Dikotomi gaya dan tujuan berbicara, serta sikap seksis ini berakar dari peran gender yang berlaku di masyarakat mayoritas, di mana laki-laki diharapkan melakukan hal A, sementara perempuan diekspektasi menjalani kegiatan B. Ketika perempuan menjajal melakukan hal A, tak pelak stigmatisasi bahwa mereka tak akan mampu melakukannya akan dikenakan kepada mereka.

Tengok saja salah satu adegan dalam film Hidden Figures (2016) yang dibintangi Taraji Henson (Katherine Goble). Di dalam film itu, ia menjadi perempuan kulit hitam yang bekerja untuk NASA. Pada awal keterlibatannya di sana, ia dipandang rendah oleh koleganya yang mayoritas laki-laki. Ada dua hal yang membuat Goble dipandang demikian: ia seorang perempuan dan ia adalah seorang kulit hitam. Tak peduli betapa gemilang otak Goble sebenarnya, butuh perjuangan panjang sampai akhirnya kemampuan perempuan tersebut diakui oleh orang-orang di kantornya. Hanya karena ia minoritas di ranah yang lazimnya didominasi laki-laki, ia dianggap tidak kompeten atau cukup bisa dipercaya untuk memegang tugas-tugas penting.

Meski terdapat hasil studi-studi yang menunjukkan perilaku seksis laki-laki terhadap perempuan di banyak konteks, termasuk melalui mansplaining, tidak serta merta semua laki-laki menerapkannya. Munculnya gagasan mansplaining sendiri pun bukannya tidak problematis. Dalam Psychology Today, profesor asal University of Notre Dame, Elizabeth Aura McClintock, Ph.D menjelaskan bahwa wacana ini bak pisau bermata dua. Gagasan mansplaining bisa saja malah melanggengkan stereotipe gender di mana laki-laki dianggap sebagai ‘pembawa masalah’. Padahal ada laki-laki yang tidak bermaksud melakukan mansplaining atau bertindak seksis lainnya dalam macam-macam interaksi sehari-hari.

Kembali ambil contoh situasi wawancara. Ketika si pembawa acara laki-laki di tengah percakapan memotong ucapan tamu perempuannya, belum tentu ia sedang melakukan mansplaining. Konteks memegang peran penting dalam menginterpretasikan hal ini. Bisa saja atas alasan durasi atau upaya menekankan maksud ucapan si perempuan tanpa berintensi menganggap rendah kapasitasnya.

McClintock menutup tulisannya dengan kesimpulan bahwa gagasan mansplaining ini memang membantu untuk memahami situasi tidak setara yang kerap ditemukan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Kendati demikian, setiap orang mesti menyadari risiko penyederhanaan makna mansplaining yang pada akhirnya bisa mendegradasi laki-laki secara umum.

Baca juga artikel terkait MANSPLAINING atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
-->