Menuju konten utama

Mang Koko Mengabadikan Hijrah Siliwangi dan Tragedi DI/TII

Mang Koko adalah legenda Sunda yang mengabadikan banyak fragmen sejarah di Jawa Barat.

Mang Koko Mengabadikan Hijrah Siliwangi dan Tragedi DI/TII
Koko Koswara. ILUSTRASI/Gery

tirto.id - Pada suatu pagi di pekarangan rumah, seorang ibu tengah memungut bunga tanjung yang jatuh berserakan. Ibu itu tengah mengandung, lalu tiba-tiba datang kabar bahwa suaminya, yang ikut operasi pagar betis mengepung gerombolan DI/TII, ternyata tewas. Ketika jenazah sang suami datang, ia menangis pilu tak tertahankan. Waktu jenazah hendak dibawa ke kuburan, ia teringat bunga tanjung yang dipungutnya. Lalu rangkaian bunga itu dikalungkan di atas keranda sang suami sebagai tanda kasih penghabisan.

Fragmen kisah tersebut ditulis oleh Mang Koko dalam lagu Kembang Tanjung Panineungan. Lagu itu mengabadikan dengan begitu pilu ceceran kisah dari masa-masa ketika revolusi masih menentukan banyak hal di negeri ini.

Koko Koswara atau lebih dikenal dengan panggilan Mang Koko lahir di Indihiang, Tasikmalaya, pada 10 April 1917. Ia adalah maestro karawitan Sunda. Karya-karyanya terpatri di hati masyarakat Sunda, dinyanyikan di sekolah-sekolah, acara pernikahan, dan peringatan hari kemerdekaan.

Mang Koko juga menulis banyak hal, tiga di antaranya terkait dengan peristiwa sejarah perjalanan bangsa. Ia mengenang para pahlawan kemerdekaan, peristiwa hijrah Divisi Siliwangi, juga pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo yang banyak melibatkan rakyat.

Kisah hijrahnya Divisi Siliwangi memang terpatri secara khusus dalam ingatan kolektif rakyat Jawa Barat. Ketika perjanjian Renville digelar di Teluk Jakarta pada 17 Januari 1948, dan hasilnya mengharuskan pasukan republik mengosongkan kantong-kantong gerilya di daerah pendudukan Belanda, termasuk Jawa Barat, maka dengan berat hati Divisi Siliwangi harus meninggalkan Tatar Sunda.

Hijrah Siliwangi bukan pekerjaan mudah. Ada harga mahal yang harus dibayar. Letjen (Purn) J.C. Princen, kombatan Belanda yang membelot ke republik, seperti ditulis Hendi Jo, melukiskan proses hijrah itu sebagai perjalanan panjang yang menyiksa hati nuraninya sebagai manusia.

“Ratusan Multatuli tak akan dapat menggambarkan penderitaan ribuan Saija dan Adinda dalam perjalanan ini,” ujarnya.

Meski efek yang ditimbulkan dari perjalanan panjang tersebut menguras rasa kemanusiaan, namun di sisi lain dari sudut pandang militer, keluarnya “maung-maung” Siliwangi dari kantong gerilya memberikan kesempatan untuk unjuk kekuatan pasukan republik yang kerap hanya dianggap sebagai rampok pengacau keamanan.

“Orang-orang Belanda itu terlihat kaget setengah mati melihat kami keluar dari hutan-hutan dan gunung-gunung dengan baju rombeng, tanpa sepatu namun dalam disiplin laiknya tentara profesional dari sebuah negara merdeka. Secara tidak langsung, tujuan mereka membasmi rampok dan garong terbantahkan sudah, karena kami adalah tentara profesional laiknya mereka,” kata almarhum Letkol (Purn) Eddie Soekardi kepada Hendi Jo.

Mang Koko mengabadikan peristiwa hijrah Siliwangi dengan metafora. Pasukan yang meninggalkan tanah Sunda itu disebutkannya sebagai layangan yang akan kembali ke tanah tempat ia dilepas dan diterbangkan. Ada upaya menguatkan dan penghiburan bagi yang ditinggalkan, namun tugas adalah tugas, perintah yang harus ditaati sebagai gambaran kedisiplinan para prajurit berpenampilan semenjana itu:

“Bulan téh langlayangan peuting/ nu ditatar dipulut ku tali gaib/ entong salempang mun kuring miang/ ditatar ti Tatar Sunda/ dipulut nya balik deui ka dieu/ ieuh, masing percaya.

"Bedil geus dipéloran/ granat geus disoréndang/ ieu kuring arék miang/ jeung pasukan Siliwangi/ ka Jogja hijrah taat paréntah.”

(Bulan adalah layangan malam / yang dikendalikan dan ditarik oleh tali gaib / jangan khawatir kalau aku pergi / dikendalikan dari Tatar Sunda / kalau ditarik tentu akan kembali ke sini / hai, harus percaya.

Senapan sudah terisi peluru / granat sudah dibawa / ini aku akan pergi / dengan pasukan Siliwangi / ke Jogja hijrah taat pada perintah)

Ketika Divisi Siliwangi harus hijrah sebagai konsekuensi dari perjanjian Renville yaitu ditetapkannya garis Van Mook (batas wilayah Indonesia dengan Belanda), ada beberapa pihak yang kecewa, salah satunya yaitu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Ia yang merasa ditinggalkan pemerintah karena Divisi Siliwangi ditarik ke Yogyakarta, bersama laskar Sabilillah dan Hizbullah menolak untuk turut mengosongkan Jawa Barat, lalu membentuk Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

M.H. Budi Santoso dalam buku Darul Islam: Pemberontakan di Jawa Barat yang diterbitkan Pustaka Jaya, menjelaskan bahwa sejatinya Kartosoewirjo telah memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada 14 Agustus 1945. Namun karena tiga hari kemudian Sukarno-Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan Timur, maka ia menarik kembali proklamasinya.

Di awal kemerdekaan ia berkiprah di Masyumi, namun karena konflik internal partai membuatnya kembali ke Malangbong, Garut, dengan status tetap sebagai Sekretaris I serta sekaligus ditunjuk sebagai wakil Masyumi di Jawa Barat. Pada 1947, Kartosoewirjo kemudian mendirikan Dewan Pertahanan Ummat Islam Indonesia untuk menghadapi Belanda pada Agresi Militer yang pertama. Sampai tahun 1947, ia kiranya masih tetap loyal kepada republik, sebelum hasil perjanjian Renville pada 1948 membuatnya bersikap berhadap-hadapan dengan pemerintah.

Konflik antara pasukan pemerintah dengan DI/TII, seperti halnya perang yang berkecamuk di manapun, selalu meminta tumbal rakyat sipil. Cadangan logistik pasukan Kartosoewirjo tak jarang dipenuhi dari hasil menjarah harta benda masyarakat. Orang tua dulu menyebutnya sebagai pasukan gerombolan. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah untuk memutus alur logistik, juga mengikutsertakan masyarakat dalam operasi militer yang kemudian dikenal dengan operasi Pagar Betis.

Operasi ini perlahan menuai hasil, karena gerak pasukan DI/TII semakin terbatasi dan cadangan logistik mereka semakin menipis.

“Setelah tiga belas tahun bergerilya melawan pemerintah, Kartosoewirjo dan pasukannya memang makin terpojok. Cadangan logistik yang terus menipis membuat mereka terpaksa makan daun-daunan. Mental pasukan makin jatuh ketika dalam pertempuran di Desa Cipaku, Ciparay, sekitar lima kilometer dari Cicalengka, sebulan sebelum penangkapan, kaki sang imam kena tembak,” tulis tim Tempo dalam "Kalau Aku Mati, Ikuti Natsir" yang terdapat di buku Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim.

Di balik keberhasilan operasi Pagar Betis, tentu korban berjatuhan, termasuk rakyat sipil yang ikut serta dalam operasi tersebut. Kisah kepedihan rakyat inilah yang kemudian diabadikan Mang Koko seperti yang saya tulis di awal paragraf. Kesedihan sang ibu yang waktu suaminya meninggal tengah mengandung, berlanjut di waktu-waktu berikutnya ketika ia memungut bunga tanjung bersama anaknya yang telah dilahirkan dan mulai tumbuh.

infografik mang koko

“Anaking jimat awaking/ lamun ema mulung tanjung reujeung hidep/ kasuat-suat nya pikiran / tapina kedalna ngan ku hariring

Hariring éling ku éling / kana tanjung nu dipulung/ nu nyeungitan pakarangan/ nu nyeungitan haté urang, panineungan.”

(Anakku permata bunda/ kalau ibu memungut tanjung bersamamu/ teringat kembali dalam pikiran / tapi yang keluar hanya senandung

Senandung ingatan/ kepada tanjung yang dipungut/ yang mengharumkan pekarangan/ yang mengharumkan hati kita, tinggal kenangan)

Semasa hidupnya Mang Koko melalui berbagai gejolak zaman dan mengalami rupa-rupa perjalanan bangsa. Lewat jalan kesenian, ia menjadi saksi dan mencatat berbagai peristiwa. Tanah Sunda sebagai tempat lahir, berkiprah, dan menutup mata, telah membuatnya jatuh hati. Masyarakat Sunda yang menjadi korban dalam pusaran revolusi dan konflik sparatis, ia bela dengan lagu-lagu yang liriknya merawankan hati.

4 Oktober 1985, Mang Koko wafat di Bandung di usia 68 tahun. Tak terhitung jasanya di bidang kesenian, khususnya karawitan. Namanya terus hidup di hati masyarakat Sunda sebagai seorang seniman yang penuh seluruh dalam merawat dan mencintai kesenian Sunda. Ia yang juga pernah aktif di berbagai profesi (pegawai tata usaha, pegawai jawatan penerangan, wartawan, guru) dan organisasi (Taman Murangkalih, Taman Cangkurileung, Kliningan Ganda Mekar, Taman Bincarung, dll) mungkin tak pernah menyangka akan menjadi seorang maestro karawitan Sunda.

Seperti dalam lagu "Karatagan Pahlawan" yang pernah ditulisnya, barangkali begitu pula sikapnya dalam berkesenian:

“Teu honcéwang sumoréang/ tékadna pahlawan bangsa/ cadu mundur pantrang mulang/ mun maksud tacan laksana/ berjoang keur lemah cai/ lali rabi tur téga pati/ taya basa ménta pamulang tarima/ ihlas rido keur korban merdéka.”

(Tidak khawatir dan tidak mencemaskan yang ditinggalkan/ tekad bulat pahlawan bangsa/ pantang mundur tabu kembali/ jika maksud belum terlaksana/ berjuang untuk tanah air/ lupa keluarga dan siap mati/ tiada bahasa minta balas jasa/ ikhlas rida berkorban demi kemerdekaan).

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Zen RS