Menuju konten utama

Manfaat dan Bahaya Militerisasi Pemberantasan Terorisme

Keterlibatan TNI dalam operasi kontraterorisme memberikan manfaat taktik sekaligus membuka celah pelanggaran hak-hak sipil dan mengundang balas dendam teroris.

Manfaat dan Bahaya Militerisasi Pemberantasan Terorisme
Leo Sudaryono, kolumnis. tirto.id/sabit

tirto.id - Dalam duka cita yang mendalam atas jatuhnya begitu banyak korban serangan teror, insting dan amarah publik terlontar dalam bentuk tuntutan kepada pemerintah agar bertindak jauh lebih tegas menghadapi terorisme.

“Tembak mati!” atau “jangan beri ampun” adalah sebagian ungkapan yang digunakan. Segendang seirama dengan tuntutan publik ini, pejabat pemerintahan atau politikus juga menyuarakan urgensi yang sama. Ketua KSP (Kantor Staf Presiden) Moeldoko mengajukan usul untuk membentuk Komandon Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab).

Koopsusgab adalah kekuatan pukul gabungan tiga angkatan yang terdiri dari unit terpilih dari Dengultor 81 Kopassus TNI AD, Sat Bravo TNI AU dan Den Jaka TNI AL. Lebih lanjut menurut Moeldoko, presiden telah menyetujui pembentukan Koopsusgab tersebut (16/05/2018). Ketua KSP ini juga menyampaikan bahwa Panglima TNI dan Kapolri sudah menyetujui, setelah revisi UU Anti Terorisme disahkan, pelibatan Koopsusgab dalam operasi intelijen dan pengerahan personel.

Ada dua pertanyaan yang muncul. Pertama, apakah UU TNI, UU Intelijen Negara dan draft terakhir RUU Terorisme memang sudah memberikan payung hukum bagi tindakan militer yang direncanakan? Kedua, apa manfaat maksimal yang bisa didapat serta dampak negatif yang mungkin timbul (cost-benefit analysis)?

Payung Hukum

Wiranto dan Moeldoko belum menjelaskan detil keterlibatan TNI dengan pertimbangan keamanan. Menurut pasal 30 dan 31 UU Intelijen Negara, cakupan operasi intelijen meliputi penyadapan, pemeriksaan aliran dana, penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan (ayat b) kegiatan terorisme. Ketiga tindakan ini diatur lebih lanjut dalam pasal 32-34 UU yang sama. Kekhawatiran apakah militer akan bertindak melakukan penangkapan dan/atau penahanan dalam operasi intelijen terjawab gamblang pada pasal 34 ayat 1(c): “tanpa melakukan penangkapan dan/atau penahanan”.

UU TNI juga tidak memberikan kewenangan penegakan hukum kepada TNI. Perkecualian diberikan pasal 9 (b) kepada TNI AL untuk mengejar, menangkap dan menahan pelanggar hukum di laut.

Sementara dalam aspek pengerahan personil (fungsi kedua Koopsusgab yang dijelaskan Moeldoko), UU TNI Pasal 7 (2) b3 menyatakan, operasi militer dapat dilakukan untuk mengatasi aksi terorisme, yakni aksi teror bersenjata (bagian penjelasan UU).

Rancangan revisi UU Terorisme versi terakhir sebelum reses April 2018 juga tidak memberikan wewenang tambahan pada TNI. Pasal 43 (2) hanya menjelaskan “Peran Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.” Sementara ayat (1) menyatakan “Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh BNPT.”

Dengan demikian, hal baru yang akan dilaksakan oleh TNI dalam pemberantasan terorisme dan sudah memiliki basis hukum adalah: 1) Operasi intelijen dibawah koordinasi BIN; 2) Operasi militer atas permintaan Polri dan dikoordinasikan oleh BNPT.

Koopsusgab tidak memiliki kewenangan polisional penegakan hukum seperti menangkap ataupun menahan orang.

Apabila pemerintah berkehendak memberikan wewenangan polisional pada TNI, maka ini harus diatur setingkat UU. Mengingat hal ini tidak tertera pada RUU Terorisme saat ini, maka kemungkinannya adalah menyisipkan pasal tersebut pada draft yang akan dibahas pasca reses atau pada Perppu. Jika langkah ini tak diambil, tindakan polisionil oleh Koopsusgab melanggar konstitusi.

Menghitung Manfaat dan Bahaya Militerisasi

Manfaat terbesar pelibatan TNI mungkin terletak pada sumber informasi intelijen tentang “bukti permulaan” untuk diproses dalam rangka tindakan penegakan hukum. Artinya, akan ada lebih banyak telinga dan mata yang mengawasi pergerakan terorisme. Itu juga berarti bahwa lemahnya koordinasi—dan persaingan antara badan intelijen yang selama ini jadi persoalan—harus diatasi demi kepentingan lebih besar. Pasokan informasi yang luas tentunya akan mendorong kepolisian sebagai penyidik untuk lebih intesif melakukan penindakan.

Keterlibatan Koopsusgab juga memberi manfaat dalam penanganan kondisi penyanderaan teroris. Skenario ini membutuhkan gerak cepat dan kemampuan taktis yang lebih dimiliki oleh unit anti-teror Koopsusgab. Memang semenjak kasus penyanderaan pesawat Garuda Woyla tahun 1981 dan kemudian rombongan peneliti Kartenz 1996, serangan kelompok bersenjata dengan modus operandi penyanderaan bisa dikatakan tidak terjadi. Serangan yang teroris umumnya berbentuk serangan bom atau senjata api/tajam yang langsung menyasar target. Barulah pada aksi Rutan Mako Brimob (2018) potensi serangan teror dengan menggunakan modus penyanderaan muncul kembali.

Koopsusgab memiliki kemampuan memadamkan potensi penguasaan wilayah oleh kelompok teroris bersenjata secara dini. Dengan jumlah pasukan 90 orang dan kemampuan tiga matra, upaya bersenjata untuk menduduki wilayah sipil seperti dalam kasus MIT (Mujahidin Indonesia Timur) di bawah pimpinan Santoso di Sulawesi Tengah dapat dilumpuhkan lebih awal. Tentunya dengan melibatkan satuan organik TNI dan kepolisian setempat.

Manfaat lain juga disampaikan pengamat militer Made Tony Supriatma (18/05/2018) yang melihat pelibatan TNI lebih jauh dalam pemberantasan terorisme akan memberikan legitimasi lebih bagi kepolisian maupun pemerintah sipil. Selama ini stigma Polri vs kelompok kekerasan yang berbendera Islam begitu menguat bahkan menjadi begitu frontal. Polri sering dicitrakan anti-Islam, sementara TNI pro-Islam. Inilah salah satu sebab mengapa POLRI kerap menjadi sasaran utama serangan kelompok teroris. Peran serta TNI akan mengkoreksi persepsi ini untuk memperlihatkan bahwa agenda pemberantasan terorisme tak hanya milik Polri, melainkan agenda bersama negeri ini.

Faktor deterrent atau pencegah sampai tingkat tertentu bisa dianggap sebagai manfaat lain. Keterlibatan TNI dalam berbagai aspek di atas akan membuat serangan teror membutuhkan sumber daya dan kemampuan teknis yang lebih dari yang dimiliki saat ini oleh para teroris. Pada obvit (obyek vital), sasaran yang semula berstatus soft target naik statusnya menjadi hard target. Faktor Deterrent ini tentunya tidak menjamin serangan akan berhenti, tetap dibutuhkan kombinasi tindakan intelijen dan penindakan.

Bahaya Keterlibatan TNI

Bahaya pelanggaran hukum akan muncul apabila Koopsusgab diberikan wewenang penegakan hukum seperti penangkapan dan penahanan dalam upaya mendapat informasi intelijen atau bukti permulaan. Perundang-undangan yang ada saat ini (UU TNI, UU Intelijen Negara, UU Penanggulangan Terorisme), bahkan RUU Revisi Terorisme (versi draft terakhir) tidak memberikan payung hukum bagi TNI untuk melakukan tindakan polisionil. Pada masa Orde Baru, sebagaimana terungkap dalam persidangan Tim Mawar yang melakukan penculikan para aktivis, proses penangkapan dan penahanan awal dilakukan oleh satuan ABRI (TNI ketika itu) untuk kemudian diserahkan kepada kepolisian untuk diproses secara administratif. Ini satu risiko yang mungkin muncul mengingat periode penahanan pada kasus terorisme jauh lebih panjang (6 bulan) ketimbang kriminal umum (2 bulan).

Risiko lainnya adalah penguatan komando teritorial mengikuti operasi terorisme oleh TNI. Skenario ini sangat mungkin terjadi ketika operasi militer dilancarkan untuk waktu yang lama di satu wilayah yang berulangkali mengalami serangan teroris. Periode yang panjang membutuhkan mobilisasi personil dan sumber daya militer di suatu wilayah yang bakal mempengaruhi governmentality area tersebut. Foucault merumuskan istilah governmentality sebagai rangkaian teknik dan strategi mengelola masyarakat dan sumber dayanya dengan menggunakan kedaulatan, disiplin dan bahkan ketakutan akan sesuatu. Kita pernah mengalami hal ini di Aceh, Sulawesi Tengah dan sampai tingkat tertentu masih ada di Papua.

Operasi militer memang memiliki daya pukul yang lebih kuat, namun juga berpotensi mengundang gelombang balas dendam atau simpati dari kelompok lain/baru yang merasa memiliki basis ideologi yang sama. Global Terorism Database dari University of Maryland membandingkan perbedaan pola pemberantasan terorisme di Indonesia (menggunakan pendekatan penegakan hukum) dan Filipina (menggunakan operasi militer). Pada periode yang sama, serangan teroris di Filipina justru meledak 13 kali lipat pada periode 2002 hingga 2013. Sementara pada periode yang sama di Indonesia serangan menurun 26%.

Namun, operasi penegakan hukum yang membutuhkan bukti-bukti hukum yang cukup saja telah beberapa kali berujung salah tangkap atau kematian terduga teroris, apalagi jika militer terlibat. Penggunaan kekerasan yang tidak diatur dalam koridor hukum sipil justru berpotensi memunculkan gelombang balas dendam teroris.

Pelibatan Koopsusgab sebagai perwakilan atau ujung tombak TNI dalam pemberantasan terorisme memiliki sejumlah manfaat dalam bentuk perluasan kapasitas negara mendeteksi dan menghentikan gerak jaringan terorisme. Namun juga mengundang sejumlah bahaya yang perlu diwaspadai.

Bagaimana memastikan singa yang akan kita lepas (lagi) ini akan selalu dalam kontrol dan tunduk kembali ke wilayah asalnya? Sementara dengan kekuatan politik Polri yang kian menguat saja, Presiden seringkali perlu berkompromi.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.