Menuju konten utama

Mandeknya Proses Hukum Kasus-Kasus di Intan Jaya Papua

Banyak kasus yang terjadi di Intan Jaya Papua belum jelas penyelesaiannya. Kasus-kasus ini diduga melibatkan militer.

Mandeknya Proses Hukum Kasus-Kasus di Intan Jaya Papua
Ilustrasi HL Indepth Operasi Nduga Papua 1. tirto.id/Lugas

tirto.id - Begitu banyak kasus terjadi di Intan Jaya Papua pada tahun lalu. Sampai awal 2021 ini pengusutan kasus, yang diduga melibatkan tentara, belum juga rampung.

Pada 23 Desember 2020, Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat kala itu, Letjen TNI Dodik Wijanarko, merilis hasil pemeriksaan para tentara yang terlibat dalam beberapa kasus di Intan Jaya, yaitu pembakaran rumah dinas kesehatan dan pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani (19 September), penembakan gembala gereja di sekitar kawasan Bandara Sugapa (7 Oktober), serta pembakaran jenazah Luther dan Apinus Zanambani yang sebelumnya ditahan di Koramil Sugapa (21 April).

Dari kasus pembakaran rumah, berdasarkan pemeriksaan tim gabungan Mabes AD dan Kodam XVII/Cenderawasih terhadap 11 anggota, delapan prajurit ditetapkan sebagai tersangka, yakni Kapten Infanteri SA, Letda Infanteri KT, Serda MFA, Sertu S, Serda ISF, Kopda DP, Pratu MI dan Prada MH. Mereka dianggap melanggar Pasal 187 ayat (1) KUHP dan Pasal 55 ayat (1) KUHP.

Lima tersangka ditahan di Sub Denpom XVII/101 Nabire dan berkas perkara sudah dilimpahkan ke Oditur Militer IV-20 Jayapura pada 10 Desember 2020. Sementara 3 tersangka dari Satuan Yonif Raider 400/BR belum diperiksa lantaran masih bertugas di bawah kendali operasi.

Pada kasus penembakan pewarta muda Katolik Agustinus Duwitau, berdasarkan hasil pemeriksaan dr. Amos Nomba, tidak ditemukan luka serius. Hasil foto radiologi pun tak menunjukkan kelainan di organ tubuh dan nihil pecahan proyektil. Agustinus juga diduda melarikan diri dari RSUD Nabire tanpa menyelesaikan administrasi. Untuk kejadian ini, belum ada pihak yang dijadikan tersangka.

Pada kasus Luther dan Apinus, yang jenazahnya dibakar diduga untuk menghilangkan jejak, 19 prajurit diperiksa dan hasilnya sembilan anggota ditetapkan sebagai tersangka. Dua personel dari Kodim 1705/Paniai, yaitu Mayor Infanteri ML dan Sertu FTP; serta tujuh personel dari Yonif PR 433/JS Kostrad, yaitu Mayor Infanteri YAS, Lettu Infanteri JMTS, Serka B, Sertu OSK, Sertu MS, Serda PG, dan Kopda MAY.

Mereka dijerat Pasal 170 ayat (1), Pasal 170 ayat (2) ke-3, Pasal 351 ayat (3), Pasal 181 KUHP, Pasal 132 KUHPM, dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kemudian kasus kematian Pendeta Yeremia Zanambani. Tim gabungan telah memeriksa 14 personel Satgas Apter BKO Kodam XVII/Cenderawasih, juga memanggil 21 prajurit Yonif R 400/BR untuk diperiksa berdasarkan surat Danpuspomad bertanggal 3 Desember 2020. Surat itu sudah direspons oleh Pangkogabwilhan III dengan jawabanb “akan menghadirkan 21 personel tersebut paling lambat awal Februari 2021, setelah dilakukan rotasi satgas.”

Kepala Penerangan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat Letkol Cpm D. Indra Wirawan mengaku belum mendapatkan informasi terbaru soal perkembangan kasus. “Kami belum ada info lanjutan tentang perkembangan perkaranya dari Satuan Pomad yang ada di Papua. Sabar, ya,” ucap dia kepada reporter Tirto, Senin (22/2/2021).

Serupa, Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Letkol Arm Reza Nur Patria mengaku akan mengecek hasil pemeriksaan. “Saya cari informasi terlebih dulu.”

Yohanis Mambrasar, pendamping hukum keluarga Pendeta Yeremia, mengatakan “proses penyelidikan tidak berjalan karena polisi beralasan harus ada autopsi untuk mengetahui luka.” “Hingga sekarang [jenazah] belum diautopsi,” kata Yohanis kepada reporter Tirto, Senin.

Keluarga telah setuju jenazah diautopsi, namun dengan tiga syarat yang mesti dipenuhi oleh kepolisian. Pertama, dilakukan oleh tim medis independen yang disetujui keluarga korban; kedua, harus adil dan transparan dengan melibatkan pengamatan langsung keluarga, Komnas HAM, kuasa hukum korban dan saksi, Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua, Amnesty International Indonesia, DPRD Kabupaten Intan Jaya dan Persekutuan Gereja-Gereka Indonesia; dan ketiga, dilaksanakan di Hitadipa.

Pernyataan persetujuan disampaikan lewat surat yang ditandatangani oleh Mariam Zoani, istri almarhum, dan dua anak Yedida Zanambani dan Rode Zanambani. Surat itu diberikan langsung kepada Kasat Reskrim Polres Intan Jaya pada 12 Februari 2020 di Kota Nabire.

Mandek

Direktur LBH Papua Emanuel Gobay mempertanyakan mengapa pengusutan kasus-kasus ini lamban dan apakah dalam sistem peradilan militer ada tenggat waktu pengusutan perkara. “Jika ada, mengapa tidak berlaku dalam kasus pelanggaran pidana militer dalam kasus Intan Jaya?” tutur dia kepada reporter Tirto, Senin.

Lebih jauh ini mengingatkan agar pemerintah meninjau ulang hukum pidana militer lantaran aturan itu berbau Orde Baru. Peraturan seperti itulah yang menurutnya memberikan kewenangan bagi militer untuk bertindak semaunya.

“Bila ada sistem yang memberikan ruang khusus kepada pihak tertentu, ini berdampak kepada pelanggaran prinsip persamaan di depan hukum. Sudah saatnya mengubah sistem peradilan militer yang usang dengan semangat reformasi yang melindungi hak asasi,” imbuh dia.

Komisioner Pemantauan/Penyelidikan Komnas HAM Mohammad Choirul Anam menegaskan instansinya tetap memantau investigasi perkara-perkara yang telah disebutkan di atas. “Kami monitoring prosesnya,” katanya.

Baca juga artikel terkait KASUS INTAN JAYA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino