Menuju konten utama
Al-Ilmu Nuurun

Malek Bennabi, Pengkritik Orientalisme Jauh Sebelum Edward Said

Pada 1940-an Malek Bennabi mengkritik metodologi peneliti Barat dalam mengkaji Timur. Ia melanjutkannya lewat solidaritas Asia-Afrika di masa dekolonisasi.

Malek Bennabi, Pengkritik Orientalisme Jauh Sebelum Edward Said
Malek Bennabi. tirto.id/Quita

tirto.id - Pemikir Aljazair Malek Bennabi lahir dari keluarga taat beragama tapi tak cukup mampu untuk mengirimnya kuliah ke Perancis. Gagal kuliah, ia banting tulang mencari pekerjaan hingga diangkat sebagai pegawai di pengadilan agama selama dua tahun. Semasa ini ia terpengaruh oleh Abd al-Hamid Ben Badis, tokoh reformis muslim penting Aljazair pada paruh pertama abad ke-20.

Pada 1930, tepat di tahun peringatan seabad penjajahan Perancis di negerinya, Bennabi baru bisa kuliah di Paris. Ia ditolak belajar di Institut des Langues Orientales de Paris, lalu berubah haluan belajar teknik elektro di sebuah politeknik hingga lulus lima tahun kemudian. Pada dekade inilah ia mulai banyak aktif beraktivitas termasuk di perkumpulan pemuda Kristen yang menekankan pada spiritualitas dan kesalehan individu.

Menjelang Perang Dunia II, kondisi politik global menegang. Hubungan antara Aljazair dengan Perancis pun memburuk. Kehidupan Bennabi ikut memburuk. Ia lalu pergi ke Jerman untuk bekerja. Di negeri itu ia menulis buku pertamanya yang berpengaruh berjudul Le Phénomène Coranique: Essai d'une theorie sur le Coran (Fenomena Al-Qur'an: Kajian tentang Sebuah Teori mengenai Al-Qur'an). Naskah buku ini hancur karena serangan udara, kemudian ditulis kembali berdasarkan ingatan dan diterbitkan pada 1946 di Aljazair.

Buku itu, sesuai dengan subjudulnya, bertujuan mencari sebuah teori yang diserap dari ajaran Al-Qur'an. Bennabi membahas para cendekiawan muslim muda khususnya di negerinya yang harus mencari penulis asing bermetodologi Cartesian yang skeptis atas iman. Skeptisisme Cartesian itu juga digunakan untuk memahami Islam. Ia mengkritik orientalisme—sebelum Edward Said menerbitkan kritik terkenalnya pada 1979—sebagai ancaman atas orientasi historis umat Islam. Sebagai wacana tandingan Bennabi memperkenalkan penafsiran komparatif dan multidisipliner.

Le Phénomène Coranique boleh dibilang sebagai kritik nalar modernitas yang bernas. Karya ini mengajukan pendapat dengan argumen mutakhir bahwa akal dan ilmu pengetahuan bukan antitesis dari agama dan wahyu.

Bruce Lawrence, sejarawan agama dari Universitas Duke, Inggris, dalam makalah bertajuk "The Islamist Appeal to Quranic Authority: The Case of Malik Bennabi" (2014) berargumen Le Phénomène Coranique adalah karya dengan tujuan inklusif. Tulisan berbahasa Perancis saat itu mampu mencapai audiens yang lebih beragam, sesuai dengan pernyataan Bennabi sendiri bahwa karyanya ditujukan untuk semua orang dan semua ras manusia. Ia, misalnya, mengkaji kisah Nabi Yusuf beriringan ayat demi ayat sesuai dengan Perjanjian Lama dan Al-Qur'an.

Dalam topik lain yang terpancar dari pemikirannya, Bennabi memuji kebajikan intelek rasional yang menurutnya sesuai dengan spiritualitas. Dua sisi satu mata uang tercapai: ia membangun kesadaran muslim dan mengajak mereka kepada wacana kebangkitan agama berdasarkan refleksi kitab suci; sisi lain, ia mengincar pembaca nonmuslim yang memiliki itikad baik untuk lebih memahami Islam melalui dasar ajarannya.

Secara umum, Le Phénomène Coranique menyajikan landasan filosofis dan metodologis untuk karya-karya yang ia tulis selanjutnya. Dalam edisi terjemahan Arab Le Phénomène Coranique, penulis dan editor manuskrip Mesir ternama, Mahmud Mohamed Shaker, menulis kata pengantar dengan pujian: “buku yang tak pernah ada sebelumnya dan sebuah metode yang sempurna (manhaj mutakamil).”

Kolonialisme sebagai Konsekuensi

Di Perancis dan Aljazair, Bennabi lalu memulai karier sebagai penulis dengan nasib yang tak selalu mujur. Pada periode 1948-1955 ia aktif menulis buku yang melejitkan namanya. Beberapa di antaranya adalah buku tentang syarat-syarat renaisans kebudayaan berjudul Les conditions de la renaissance (1949) dan La Vocation de l’Islam (1954) yang diterbitkan di Paris oleh Editions du Seuil. Sementara kritik-kritiknya kepada pemerintah banyak diterbitkan di surat kabar La République Algérienne milik perkumpulan demokratik dan Le Jeune Musulman milik perhimpunan ulama terkemuka.

Pokok pikiran Bennabi berputar soal peradaban manusia pada umumnya dan peradaban Islam pada khususnya. Iklim reformasi Ben Badis menjadi latar belakang mengapa ia mengajukan tesis mengenai renaisans untuk negerinya. Setidaknya, bacaan jelinya atas intelektual klasik Afrika utara yang berpengaruh, Ibn Khaldun, diiringi dengan filsafat Nietzsche dan karya-karya sejarah Arnold Toynbee, menjadi pemandu dalam membaca realitas kebudayaan dan sosiologi muslim.

Salah satu sumbangan terbesar Bennabi ialah soal dinamika kebudayaan manusia. Konteks utamanya ialah sejarah kemunduran muslim di Afrika utara pada periode yang ia sebut sebagai “pasca-Almohadisme”. Periode ini ia anggap sebagai masa kemerosotan dan perpecahan setelah era dinamis abad pertengahan. Seperti halnya dokter yang mendiagnosis penyakit dan mengajukan obatnya sekaligus, Bennabi menelusuri penyakit sosial-politik yang terjadi serta mengajukan teorema tentang renaisans agar masyarakat muslim tidak terjajah secara fisik dan mental.

Syarat-syarat kemajuan mesti dicapai supaya tidak terjadi kondisi yang memungkinkan sebuah masyarakat rentan terjajah, yang ia ringkas dalam istilah colonisabilité atau kolonisabilitas. Kondisi ini menjadikan orang atau masyarakat didominasi orang lain atau bangsa lain. Karena itu ia menganggap kolonialisme Eropa sebagai konsekuensi, alih-alih sebagai penyebab, dari kondisi internal dan struktur masyarakat muslim.

Dengan latar belakang kondisi macam itu, Bennabi mengajukan “sosiologi baru” untuk menyegarkan konsep budaya sebagai “mode mewujud dan menjadi manusia” yang dinamis. Tujuan akhirnya adalah umat Islam bisa melakukan transformasi radikal sebagai makhluk sosial serta mereka ulang hubungan sosial di antara kaum muslim. Di sini, Bennabi masuk ke dalam inti kebudayaan untuk memadukan faktor-faktor utama peradaban: manusia, tanah, dan waktu.

Infografik Al Ilmu Malek Bennabi

Infografik Al Ilmu Nuurun Malek Bennabi. tirto.id/Quita

Solidaritas Asia-Afrika

Bennabi pindah ke Kairo saat revolusi 1954 terjadi dan meneruskan karier intelektualnya hingga 1962. Dari sinilah ia menyaksikan gairah Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Bandung yang bergelora di Kairo. Atas sponsor dari pemerintah Mesir pada 1956, ia menerbitkan buku yang jarang dilirik bertajuk Afro-Asiatisme: Kesimpulan tentang Konferensi Bandung dalam bahasa Arab dan Perancis.

Risalah itu merupakan respons hangat atas solidaritas Bandung yang menjadi gairah pembebasan di seantero Asia-Afrika, termasuk ikut mendorong kemerdekaan Aljazair pada 1962. Ia meneruskan tesisnya tentang perubahan dan transformasi masyarakat muslim dan Dunia Ketiga. Hal yang paling utama adalah bagaimana transformasi itu dilihat melalui kebudayaan sebagai darah yang hidup bagi organisme manusia untuk kelangsungan masa kini dan masa depan. Afro-Asiatisme, karena itu, penting dilihat sebagai bagian dari dekolonisasi mental. Karena pemikiran ini, ia banyak diundang lingkaran intelektual di Suriah, Libanon, dan India.

Saat Aljazair resmi merdeka dan Ahmed Ben Bella menjabat presiden, Bennabi diminta kembali ke negaranya untuk membangun pusat kebudayaan yang berorientasi character and nation building. Barangkali Afro-Asiatisme Bennabi ikut menyemangati pemerintah Aljazair untuk mengadakan KAA kedua pada 1965. Tapi seminggu sebelum dilaksanakan, konferensi itu gagal karena Ben Bella dikudeta Kolonel Boumedienne. Presiden Sukarno yang diharapkan sebagai tamu istimewa bimbang dengan ini dan penuh curiga kepada Boumedienne apakah sang kolonel itu antek neokolonialis atau CIA.

Pada 1969 Bennabi bergabung dalam Festival Budaya Pan-Afrika yang memberinya asupan pemikiran terkini. Para audiens, terutama kalangan pemuda, terpesona dengan gagasannya. Karena lambannya birokrasi ketika ia mengepalai proyek orientasi kebudayaan, Bennabi menjadikan rumahnya sebagai salon culturel—majelis budaya yang menggembleng banyak anak didik untuk menjadi aktivis dan kritikus politik. Budaya dan peradaban adalah tema umum dalam majelis itu.

==========

Redaksi Tirto kembali menampilkan rubrik khusus Ramadan "Al-Ilmu Nuurun". Tema tahun ini adalah para cendekiawan muslim global abad ke-20 dan ke-21. Kami memilih 33 tokoh untuk diulas pemikiran dan kontribusi mereka terhadap peradaban Islam kontemporer. Rubrik ini diampu kontributor Zacky Khairul Umam selama satu bulan penuh.

Zacky Khairul Umam adalah alumnus Program Studi Arab FIB UI dan kandidat doktor sejarah Islam di Freie Universität Berlin. Saat ini sedang menyelesaikan disertasi tentang pemikiran Islam di Madinah abad ke-17. Ia pernah bekerja sebagai peneliti tamu pada École française d'Extrême-Orient (EFEO) Jakarta 2019-2020.

Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan lainnya dari Zacky Khairul Umam

tirto.id - Humaniora
Penulis: Zacky Khairul Umam
Editor: Ivan Aulia Ahsan