Menuju konten utama

Malangnya Nasib Mahasiswa Magang di Tengah Pandemi

Beberapa mahasiswa tak diupah selama magang karena pandemi. Lainnya mengaku kesulitan mendapatkan pengalaman.

Malangnya Nasib Mahasiswa Magang di Tengah Pandemi
Karyawan melakukan aktivitas di pusat perkantoran, kawasan SCBD, Jakarta, Senin (8/6/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/hp.

tirto.id - Kemunculan COVID-19 di Indonesia sejak awal tahun lalu berdampak ke semua sektor kehidupan. Tak hanya para pekerja dan tenaga medis, mahasiswa juga merasakan dampak dari virus yang belum kelihatan mereda di seluruh dunia ini.

Salah satu yang memberatkan mahasiswa di tengah pandemi adalah magang.

Atika Fadhilah Arfah, 22 tahun, sudah magang di salah satu perusahaan pelat merah sejak 5 Februari atau sebelum pandemi. Saban pagi, perempuan yang akrab dipanggil Dhila itu harus menempuh perjalanan dari Tomang, Jakarta Barat, ke Blok M, Jakarta Selatan, dengan kendaraan pribadi.

Ia wajib masuk kerja dari Senin hingga Jumat. Di perusahaan itu Dhila ditempatkan di divisi internasional. Kerjanya membuat beragam dokumen, salah satunya surat perjalanan dinas ke luar negeri para petinggi perusahaan.

"Awal informasi magang karena ada pengumuman di kampus, dikasih tahu teman juga. Padahal, semester ini ada mata kuliah laboratorium dan peradilan pidana sekaligus skripsi," katanya kepada wartawan Tirto, Selasa (23/6/2020) pagi. Ia adalah mahasisiwa Fakultas Hukum di salah satu kampus negeri Jakarta.

Kasus pertama COVID-19, dua warga Depok, Jawa Barat, yang diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada awal Maret lalu mengubah kehidupan warga Jakarta, termasuk Dhila. Beberapa hari setelah itu Jokowi meminta masyarakat membiasakan diri berkegiatan dari rumah.

Saat itu belum ada kebijakan resmi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tapi perusahaan tempat Dhila magang langsung menerapkan kebijakan work from home (WFH) per 16 Maret. Sejak hari itu Dhila harus mengerjakan semuanya dari rumah. Ia kudu share location via WhatsApp sehari tiga kali--pukul 07.00, 12.00, dan 16.00. Kalau tidak, upah hari itu tak akan dihitung.

Hari berganti dan tak ada tanda-tanda penurunan kasus Corona. Bahkan pada bulan ini penambahan kasus harian beberapa kali mencapai 1.000--tertinggi sejak awal Maret. Indonesia, termasuk Jakarta, masih belum aman.

Pemerintah pusat lantas mengumumkan masa the new normal atau kelaziman baru karena menurut mereka ekonomi harus terus bergerak. Perusahaan tempat Dhila magang menyambut baik. Senin, 8 Juni, Dhila berangkat ke kantor karena akan ada pengumuman soal kebijakan kerja. Kebijakan WFH dicabut. "Mulai full WFO (work from office/bekerja dari kantor) itu Rabu, 17 Juni kemarin."

Kendati ada protokol kesehatan ketat yang disediakan kantor sebelum masuk ke gedung, tetap saja Dhila waswas. Ketakutan itu wajar karena Jakarta, sebagai episentrum Corona di Indonesia, belum menunjukan tanda-tanda mereda. "Mau bagaimana lagi," katanya. "Kantor hanya kasih vitamin. Ada program rapid test tapi hanya untuk karyawan, program magang sepertiku enggak dapat."

Tak Diupah

Nasib Dhila mungkin lebih beruntung ketimbang Firda Cynthia, 21 tahun. Mahasiswi semester akhir Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi negeri Jakarta ini malah tak mendapat upah sama sekali saat magang.

Firda menjalani program magang sebagai wartawan di perusahaan berita nasional di Jakarta. Sejak 3 Juni, ia harus menulis 2-3 berita sehari untuk isu gaya hidup, lingkungan, kesehatan, dan kesenian.

Selain kebutuhan akademik, pilihannya untuk magang itu karena ingin "meluaskan jaringan dan relasi." Tapi keinginan itu tak tercapai karena sejak awal kantornya langsung menerapkan skema WFH. WFH membuat Firda "enggak 'mengenal' editor sendiri seperti apa, enggak kenal sama kakak-kakak lain."

Yang lebih buruk lagi, skema WFH itulah yang dijadikan alasan kantor tidak memberikan upah mahasiswa magang. "Alasan mereka karena kerjanya WFH, jadi enggak ada uang makan," katanya. "Padahal di samping uang makan, aku juga butuh uang kuota untuk meliput konferensi pers dan diskusi yang berjam-jam."

Fasilitas kesehatan seperti masker, hand sanitizer, atau minimal vitamin juga "enggak dapat sama sekali," katanya.

Pengalaman serupa Firda didapat juga oleh Eky, 20 tahun. Karena perusahaannya menerapkan magang online, Eky mengaku kesulitan dan tak bisa belajar maksimal di kantornya itu.

"Susah sekali adaptasinya, karena kami enggak bisa kenal budaya kerja di kantor bagaimana. Semua lewat online. Online banyak kendala. Kami sebagai peserta magang jadi lebih susah mengerti," kata Eky.

Mahasiswa Fakultas Ekonomi di salah satu kampus di Bandung angkatan 2017 itu magang di perusahaan pembiayaan sejak 15 Juni lalu. Ia di Bandung, kantornya di Jakarta. "Ini perusahaan perdana saya kerja secara profesional. Benar-benar dari rumah, enggak ada yang ke kantor. Diawasi. Ada daily reports. Setiap hari kabari ke supervisor."

Kebijakan ini berasal dari kampus. Kampusnya hanya memperbolehkan mahasiswa magang dari rumah, dan perusahaan memfasilitasi itu.

Ia memberi contoh sulitnya beradaptasi saat diberi tugas membuat analisis pasar kompetitor. "Hanya dijelasin lewat telepon, itu pun sulit. Bimbingannya hanya lewat Whatsapp," katanya. "Padahal saya sudah siap jika harus ngekost di Jakarta. Pengumumannya pun sudah sejak awal Maret. Saya sudah banyak persiapan."

==========

(Revisi 7 Juli pukul 19.35: nama kampus dan tempat magang Eky disamarkan atas permintaan narasumber).

Baca juga artikel terkait MAGANG atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino