Menuju konten utama

Makna Gincu dari Masa ke Masa

Lipstik adalah salah satu riasan yang kerap dianggap "wajib" dimiliki dan dipakai kaum wanita. Padahal, awalnya lipstik dipakai oleh laki-laki dan perempuan, alias tak mengenal gender. Itulah fenomena pada 3.500 SM di Mesopotamia.

Makna Gincu dari Masa ke Masa
Angelina Jolie [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Sebulan sebelum serial Agent Carter dimulai, bintang utama Hayley Atwell berkicau di akun Twitter pribadinya mengenai gincu yang akan dipakainya. “Ini adalah warna merah yang disebut ‘Red Velvet’ yang dibuat oleh Bésame Cosmetics”.

Dengan lipstik itu, Hayley Atwell yang memerankan Peggy Carter berhasil menghadirkan suasana klasik dalam serial yang dibintanginya. Dan warna merah pekat klasik semacam inilah yang sekarang menjadi tren.

Tapi jika menengok ke belakang, kehadiran gincu sesungguhnya sudah ada sejak beribu-ribu tahun silam ketika peradaban dunia masih berpusat di Mesopotamia. Jurnal dari Sarah Schaffer berjudul "Reading Our Lips: The History of Lipstick Regulation in Western Seats of Power" mencatat sejarah warna warni lipstik dimulai dari Ratu Schub dari Ur kuno, satu kota penting pada masa peradaban Sumeria, 3500 SM.

Pewarna bibir ini mulanya dibuat dari bahan dasar timah putih dan batu bata merah yang telah dihaluskan. Praktik ini juga tidak mengenal gender, sebab pria dan wanita sama-sama bisa mewarnai bibirnya.

Budaya mewarnai bibir kemudian mencapai kerajaan Mesir yang sedang berkembang dan bergeser menjadi petunjuk status sosial. Laki-laki dan perempuan memakainya dalam keseharian dengan dicampur resin atau karet untuk sentuhan akhir agar lebih tahan lama. Pilihan warna juga mulai beragam, mulai dari oranye, magenta, sampai biru hitam meskipun warna merah tetap menjadi pilihan. Penggunaan warna merah karmin sebagai lipstik di Mesir tercatat pada 50 SM.

Ketika tren mewarnai bibir di Mesir mulai menurun, di Yunani praktik ini malah semakin kuat dan menyebar. Namun terdapat pergeseran pola sosial dan hukum yang berlaku di mana penggunaan pewarna bibir pada perempuan diasosiasikan sebagai wanita pelacur. Di bawah hukum Yunani, pelacur yang muncul di jam yang salah dan tak memakai pewarna bibir serta perias lainnya dapat dihukum karena dianggap telah menyamar sebagai wanita biasa.

Berbeda dari Yunani dalam memandang praktik mewarnai bibir, orang Minoan di wilayah tetangga seperti di Kreta dan Thera memiliki tradisi yang lebih terbuka dalam pemakaian pewarna bibir. Hal ini dapat dilihat dari lukisan dinding yang menunjukkan wanita dengan bibir yang warna merah tampak menonjol. Mereka mendapatkan warna merah dari kelenjar di kerang murex.

Tapi selanjutnya, pada rentang 700 hingga 300 SM, model pewarnaan bibir akhirnya meresap ke budaya mainstream Yunani klasik. Dari makam periode Yunani ini ditemukan kotak tertutup yang disebut pyxides: tempat menyimpan peralatan kosmetik. Bahan pewarna untuk era baru Yunani ini berasal dari zat-zat nabati seperti buah murbei, rumput laut, atau akar tanaman.

Masa Yunani pada gilirannya jatuh dan berganti dengan naiknya Kekaisaran Romawi antara 150 sampai 31 SM, dan peran gincu meningkat. Ia kembali menjadi penanda status sosial dan tidak lagi terkait gender. Setelah masa Poppaea, istri kedua Kaisar Nero, wanita Romawi cenderung menggunakan pewarna bibir merah atau keunguan.

Infografik HL Perawatan Wajah Gincu 3

Memasuki Eropa zaman Abad Pertengahan, gincu sempat dilarang oleh gereja karena bibir berwarna merah dikaitkan dengan ritual pemujaan setan. Maka, bibir yang diwarnai hanya ditemui di masyarakat kalangan bawah, khususnya para pelacur.

Tapi kemudian pada 1600-an, Ratu Elizabeth I mempopulerkan tren penggunaan warna bibir merah dengan perpaduan muka putih dengan ekspresi dingin. Pemakainya hanya pada perempuan kalangan atas atau pekerja sebagai aktor. Bahan baku dalam pewarna bibir ini dibuat dari lilin lebah dan tanaman merah.

Di Amerika Serikat, tercatat aktris Sarah Bernhart yang mulai memakai gincu merah dalam penampilannya pada dekade 1880-an. Toko make up pertama berhasil dibuka di New York pada 1867 dan di tahun yang sama Harriet M. Fish dari kota yang sama mematenkan lipstik dan perona pipi dengan pewarna dari karmin, jus stroberi, jus bit, dan semacam akar tumbuhan.

Berkobarnya Perang Dunia Pertama juga ditandai dengan perubahan kemasan dari gincu atau lipstik ini. Maurice Levy dari Scovil Manufacturing Company pada 1915 memodernisasi kemasan yang tadinya hanya dibungkus dengan kertas menjadi bentuk yang lebih modern: tabung silinder dengan tuas yang bisa digeser untuk menurunkan dan menaikkan batang lipstik. Namanya Tabung Levy.

Pada 1923, model lipstik dengan tabung silinder putar seperti yang dikenal sampai saat ini beredar. Model ini dipatenkan oleh James Bruce Mason, Jr. di Nashville. Penemuan inilah yang membuat lipstik makin mudah dipakaikan.

Era 1930-an, pengusaha Elizabeth Arden mulai memperkenalkan warna lipstik yang berbeda. Dia terinspirasi perusahaan lain untuk menciptakan berbagai warna lipstik. Mitchell dan Jacqueline dalam jurnalnya bertajuk "Girl Culture: An Encyclopedia" menjelaskan di masa itu memakai lipstik dianggap sebagai simbol seksualitas.

Para gadis remaja di masa itu percaya bahwa menggunakannya berarti merupakan simbol kewanitaan dan sekaligus tindakan pemberontakan terhadap norma. Oleh sebab itu, banyak orang tua Amerika, terutamanya para pendatang tidak menerima anak gadisnya memakai lipstik.

Setelah itu, dominasi warna lipstik tergantung kepada karakter pembawa tren baik dari kalangan artis maupun pentolan musikus seperti yang terjadi pada era 1970-an. Saat itu warna lipstik hitam menjadi populer di kalangan penyuka kultur gotik dan punk.

Tren warna dan jenis lipstik terus berkembang dinamis seperti yang sekarang sedang dibawakan sekaligus dipromosikan oleh Kim Kardashian dan Kylie Jenner dengan warna warni yang cenderung pucat dan kering. Bahan baku yang umum digunakan saat ini antara lain seperti lilin, minyak, dan pigmen untuk pewarna.

Di Indonesia sendiri, penggunaan gincu juga telah tampak lazim dengan proporsi pengguna terbanyak pada wanita. Adapun para pria yang menggunakannya umumnya untuk keperluan pertunjukan pentas seni yang dipadukan dengan riasan lainnya.

Hasil survey dari Top Brand Award pada fase pertama tahun 2016 menempatkan tujuh merek lipstik yang paling dikenal publik. Diurutkan dari yang tertinggi yaitu Wardah dengan presentase Top Brand Index (TBI) 22,3 persen dan Revlon 13,3 persen, yang disusul Pixy 9,3 persen, Viva 8,9 persen, Sariayu 7,7 persen, Oriflame 6,5 persen, dan La Tulipe 5,5 persen.

Sebagai bagian dari produk kosmetik, produksi lipstik dalam negeri juga turut berperan dalam penyerapan tenaga kerja. Seperti dilansir Kementerian Perindustrian, di Indonesia sendiri saat ini tercatat ada 760 industri kosmetik lokal yang tersebar dan mampu menyerap 75.000 tenaga kerja langsung dan 600.000 tenaga kerja tidak langsung.

Baca juga artikel terkait LIPSTIK atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani