Menuju konten utama

Makin Tua Teman Makin Sedikit? Kamu Tak Sendirian

Perempuan cenderung memilih teman berdasar azas manfaat, sementara pria menilai kriteria individualistis seperti prestasi dan status sosial.

Makin Tua Teman Makin Sedikit? Kamu Tak Sendirian
Ilustrasi menyendiri. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Oh, betapa menyenangkannya perkawanan di masa muda. Rasanya dunia saja bisa dilawan. Karenanya ada semboyan me and you versus the world. Kita melawan dunia. Band rock asal Seattle, Alice in Chains pernah menuliskan elegi persahabatan macam itu di lagu "No Excuse".

Lagu itu ditulis oleh gitaris Jerry Cantrel, untuk Layne Staley, vokalis Alice in Chains sekaligus sahabatnya. Kisah persahabatan mereka memang naik turun. Ada masa mereka begitu hangat, namun sering pula mereka berjalan terpisah. Dan untuk kisah itu, Cantrel menuliskan lirik yang amat puitis:

You my friend

I will defend

And if we change,

Well I love you anyway

Namun, lirik itu juga menyiratkan setiap orang pasti berubah. Tak ada yang abadi, begitu pula perkawanan. Seiring usia yang makin bertambah, prioritas hidup yang turut berganti, lingkaran perkawanan pun bisa menyusut. Menyisakan teman-teman yang lebih intim.

Uti (27) menyadari betul hal itu. Tahun lalu dia berkunjung ke Solo, kota tempatnya tumbuh besar dan menghabiskan lebih dari setengah umurnya sebelum pindah ke ibukota. Untuk melengkapi nostalgianya, Uti menghubungi lima orang sahabat baiknya semasa kuliah. Sayang, hanya dua orang yang menyempatkan diri untuk menemuinya.

“Yang punya anak bilang kalau anaknya sakit, yang satu sibuk kerja, satunya lagi enggak bisa ninggalin bayi,” kata Uti.

Kali itu, Uti masih menganggap kedatangannya terlalu mendadak dan tidak tepat kondisi. Kawan-kawannya jelas punya aktivitas terjadwal yang tak bisa dibatalkan secara tiba-tiba, apalagi jika menyangkut anak. Hingga pada kunjungan berikut ia inisiatif mengabarkan kedatangannya jauh-jauh hari, berharap cara tersebut bisa mengakali pertemuan mereka. Tapi ternyata usahanya sia-sia.

Lagi-lagi ia hanya bisa kumpul dengan dua teman yang itu-itu saja. Akhirnya Uti paham, bahwa ia tak lagi jadi prioritas dalam lingkaran sosial ketiga temannya. Perempuan yang kini bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi di Jakarta itu, kemudian memutuskan tak lagi ngoyo menghubungi teman-teman masa remajanya.

“Sedih sih, akunya nganggap mereka sahabat, masih seperti dulu. Tapi ternyata mereka enggak.”

Cerita tentang berkurangnya jumlah sahabat seiring pertambahan umur juga dituturkan Dyan, 34 tahun. Dari sisi berbeda, ibu satu orang anak ini mengisahkan bahwa ia hampir tak memiliki waktu luang untuk bersosialisasi seperti sebelum ia menikah dan memiliki anak. Apalagi, Dyan termasuk ibu pekerja yang hanya libur di hari Sabtu dan Minggu, ditambah, kini ia tengah hamil anak kedua.

“Waktunya terpakai buat urus anak dan keluarga,” ujarnya.

Saat ini, jumlah teman yang masih terus berkomunikasi dengannya hanya berjumlah lima orang. Selebihnya ia lebih sering menyapa kenalannya lewat media sosial. Jumlah ini jelas berbanding terbalik ketika ia masih berstatus mahasiswa atau pekerja kantoran biasa di umur 20-an tahun.

Kisah yang dialami Uti dan Dyan rupanya memang bukan fenomena aneh. Masa sebelum menginjak usia 25 tahun memang periode semarak: lingkaran sosial luas dan bisa dibilang berada di titik terbaik. Kamu bisa jalan-jalan, nongkrong, atau sekadar ngobrol dengan banyak orang di waktu yang amat fleksibel.

Selepas usia 25, lingkaran pertemanan akan mulai menyusut. Waktu mulai jadi pengikat. Bertemu dengan teman sudah tak lagi sefleksibel dulu. Kalau tidak percaya, coba hitung berapa jumlah teman anda di usia sebelum 25 dan bandingkan dengan kawan-kawan akrab di usiamu sekarang.

Fenomena ini juga pernah diteliti dalam makalah berjudul “Sex Differences in Social Focus Across the Life Cycle in Humans" (2016). Dalam makalah ini, peneliti dari Universitas Aalto di Finlandia dan Universitas Oxford di Inggris mengumpulkan data dari 3 juta pemilik gawai dan mengidentifikasi frekuensi serta pola komunikasi yang terekam di dalamnya. Hasilnya menyatakan bahwa umur 25 tahun adalah batas bagi individu dapat memiliki banyak teman.

Lepas dari batas tersebut, lingkaran pertemanan akan berkurang. Perempuan kehilangan teman lebih cepat dibanding pria. Rata-rata perempuan berusia 25 tahun menghubungi sekitar 17,5 orang per bulan, sementara pria menghubungi 19 orang. Trennya kemudian berbalik: pria di usia akhir 30-an jadi kelompok yang kehilangan teman secara drastis. Pada usia 39, rata-rata mereka hanya menghubungi 12 orang, sementara perempuan masih berkomunikasi dengan 15 orang setiap bulan.

Infografik Makin Tua Makin Sedikit Teman

undefined

Pilih yang Lebih Menguntungkan

Semakin bertambah umur, maka kita akan cenderung memilih teman berdasar tingkat ‘manfaat’ yang mereka berikan. Meski terdengar oportunis, tapi orang-orang yang dianggap kurang menguntungkan akan tereliminasi dari lingkar pertemanan. Perempuan menjadi kelompok yang mengeliminasi teman lebih cepat karena mereka kerap menjadikan konsep berteman seperti mencari pasangan hidup.

“Begitu Anda menemukan orang yang tepat, Anda tidak akan tertarik pada yang lain,” kata Robin Dunbar, profesor psikologi evolusi dari Universitas Oxford seperti ditulis oleh CNN.

Pembentukan ‘lingkaran dalam’ ini jadi lebih penting bagi perempuan karena merekalah yang secara umum mengurus anak dan keluarga. Mereka memiliki prinsip timbal balik dan memprioritaskan manfaat sebuah hubungan sebagai investasi dalam hidup, misalkan interaksi dengan orangtua, keluarga, atau sahabat intim.

Kelompok itu yang akan pertama kali menjadi regu penolong ketika mereka memiliki kesulitan sehari-hari, semisal jadwal mengasuh anak. Begitu juga ketika perempuan memilih menghabiskan waktu untuk anak dan mengabaikan ajakan nongkrong temannya, seperti yang dilakukan oleh teman-teman Uti. Mereka berharap bahwa anaknya akan menjadi penolong bagi mereka di masa depan.

“Anak-anak adalah investasi nyata selama sisa hidupmu,” kata Michael Price, direktur Pusat Kebudayaan dan Evolusi di Brunel University London.

Ini tak mengherankan, sebab banyak orang menganggap anak sebagai investasi karena anak yang dianggap bisa mengasuh orangtua kelak. Sedangkan teman jelas tak bisa memberi manfaat serupa di masa depan. Hanya saja, konsep berbeda dan terbalik justru diadopsi oleh para pria. Tak seperti konsep mutualisme pada perempuan, mereka sering lebih menghargai prestasi atau status sosial saat memilih teman.

“Ketika beranjak mapan dan berkeluarga perempuan cenderung memilih ‘hubungan yang intim’ sementara pria menilai kriteria individualistis,” ungkap Price.

Namun mungkin perkawanan memang seperti hidup saja: orang datang dan pergi. Mereka yang tinggal tentulah sudah berhasil melewati ujian waktu. Kalaupun ada perubahan dan persahabatan tak lagi seerat dulu, maka ingat apa yang dibilang Cantrell.

And if we change,

Well I love you anyway

Baca juga artikel terkait PERTEMANAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nuran Wibisono