Menuju konten utama

Makian "Banci" Bahar Smith dan Betapa Maskulinnya Politik Indonesia

Kata "banci" lumrah digunakan sebagai makian, padahal itu menghina banci sebagai kelompok minoritas rentan di Indonesia.

Makian
Bahar Smith. YouTube/Syamil Baharuddin

tirto.id - Bahar Smith kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial. Dalam sebuah ceramah yang rekaman videonya viral, Bahar Smith menyebut Jokowi pengkhianat bangsa, negara, dan rakyat.

"Kamu kalau ketemu Jokowi, kalau ketemu Jokowi, kamu buka celananya itu. Jangan-jangan haid Jokowi itu, kayanya banci itu," ujar Bahar.

Bahar Smith bukan tokoh publik pertama yang menggunakan kata "banci" untuk melabeli kepala negara. Sebelumnya, pada pertengahan November ini, politikus PAN Eggi Sudjana mengatakan dalam sebuah seminar di Jakarta bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sering melakukan aksi politik banci.

“Saya tidak sependapat dengan SBY. Kalau mengikuti pendapat SBY, jadi banci. Nggak jelas,” kata Eggi, Minggu (11/11/2018).

Bahar Smith tidak secara tersurat menyatakan alasannya melabeli Jokowi sebagai "banci". Namun, dalam kalimat yang dia ucapkan berikutnya, Bahar Smith mengkritik Jokowi yang tidak melaksanakan janji-janjinya.

"Kamu berjanji dulu sebelum jadi, 'saya berjanji memakmurkan rakyat, mensejahterakan rakyat, saya janji memakmurkan, mensejahterakan rakyat.' Setelah jadi, rakyat mana yang makmur, rakyat mana yang sejahtera?" sebut Bahar Smith.

Sementara itu, Eggi Sudjana melabeli SBY sebagai "banci" karena Presiden RI ke-6 tersebut kerap tidak menentukan arah dukungan dan memilih mengaku netral.

Melalui penelusuran pemberitaan media, kata "banci" juga digunakan mereka yang terlibat dalam politik dan pemerintahan di Indonesia untuk melabeli unsur politik yang lebih luas, seperti partai politik atau lembaga negara.

Masinton Pasaribu, anggota DPR dari PDIP, menyebut PAN sebagai "banci" pada Juni 2015. Kala itu, Jokowi, yang juga politikus PDIP, tengah mengocok ulang posisi sejumlah menteri dalam Kabinet Kerja yang dipimpinnya. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyatakan partainya yang pada Pilpres 2014 mendukung rival Jokowi, Prabowo-Hatta, bersedia masuk Kabinet Kerja. Namun, Masinton menegaskan kesediaan itu juga mesti didukung fraksi PAN di DPR.

"Jangan dua kaki. Jangan banci. Kalau dukung ya dukung. Saran saya, kalau dukung pemerintah ya konsisten dua-dua," ujar Masinton, seperti dikutip Merdeka.

Sementara itu, pada Maret 2018 silam, anggota Komisi IV DPR Agustina Wilujeng Pramestuti mengatakan Badan Urusan Logistik (Bulog) seperti banci karena gagal menjaga ketahanan pangan.

"Kalau begini terus Bulog seperti lembaga banci. Ketakutan terus," ujar Agustina yang juga politikus PDIP itu, sebagaimana dilaporkan RMOL.

Kata "banci" juga sudah dipakai politikus untuk melabeli politikus lain yang berseberangan sejak republik ini berdiri. Soebadio Sastrosatomo menuliskan dalam Perjuangan Revolusi (1987) bahwa "Sjahrir mengumpat Soekarno man wijf, pengecut dan banci."

Menurut Soebadio, saat itu Sjahrir sedang kesal terhadap Sukarno. Lelaki yang kelak jadi Presiden RI pertama itu yakin Jepang belum menyerah dan tidak mau segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Padahal, dua kota utama di Jepang sudah dibom nuklir oleh Sekutu.

Banci Punya Hak Hidup

Julia Suryakusuma, peneliti sekaligus penulis buku Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (2011), mengatakan ada unsur seksisme yang merendahkan perempuan, banci, dan waria dalam penggunaan kata "banci" sebagai makian di dunia politik Indonesia.

"Kata 'banci' bisa digunakan karena banci dinilai plin-plan. Tetapi, kenapa enggak pakai aja 'plin-plan'? Kenapa harus pakai 'banci'? Banci adalah seorang manusia yang punya hak hidup," tegas Julia ketika dihubungi Tirto lewat saluran telepon, Jumat (30/11/2018).

Sementara para politikus seenaknya menggunakan kata "banci" untuk memaki, Indonesia belum menjadi tempat bagi banci—yang masuk kelompok LGBT dan jumlahnya minoritas di Indonesia— untuk memperoleh hak hidup.

Hendri Yulius menuliskan dalam kolomnya di The Jakarta Post, "The dark side of LGBT awareness in Indonesia", bahwa sejak 2016 kelompok LGBT menjadi korban utama arus konservatisme di Indonesia. Pada dasawarsa sebelumnya, kelompok tersebut menderita karena menjadi target serangan kelompok agama yang kerap main hakim sendiri; sementara sekarang serangan itu datang dalam bentuk kriminalisasi, pengendalian, dan pengawasan yang begitu ketat.

Salah satu hal yang disorot Hendri ialah usulan Aliansi Cinta Keluarga (AILA) kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) agar memasukkan pasal yang melarang praktik dan hubungan homoseksual. Selain itu, ada usulan dari DPR agar dalam amandemen Undang-Undang Penyiaran memuat pasal yang melarang penyiaran konten yang menampilkan perilaku LGBT.

Sementara itu, laporan bertajuk Bahaya Akut Persekusi LGBT (2018, PDF) yang diterbitkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mencatat sepanjang 2017, ada 973 orang menjadi korban stigma diskriminasi dan kekerasan berbasis orientasi seksual, identitas, dan ekspresi gender di luar norma biner heteronormatif laki-laki dan perempuan.

Salah satu stigma yang paling banyak muncul di berita ialah anggapan bahwa perilaku LGBT menyimpang. Jumlah berita yang memuat itu sebanyak 29 buah. Salahnya satunya memuat pernyataan Ketua Umum Pengurus Daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Sukabumi, Rinaldi Yusuf, bahwa LGBT merupakan penyimpangan perilaku yang menyalahi fitrah seksual sebagai manusia. Pernyataan itu diungkapkan dalam sebuah aksi penolakan LGBT.

Infografik makian banci dalam politik

Politik "Maskulin" Indonesia

Dalam "The Emergence of Political Homophobia in Indonesia: Masculinity and National Belonging" (2006), Tom Boellstorff menunjukkan bahwa heteroseksualitas telah menjadi wujud ideal manusia modern Indonesia. Telaahnya mengenai karya sastra nasionalis yang terbit pada 1920-an menunjukkan gagasan menjadi manusia Indonesia modern kerap dibingkai dengan beralihnya mereka dari pernikahan yang diatur ke pernikahan berdasarkan pilihan sendiri. Ketika pernikahan diatur, orientasi seksual menjadi nomor dua, tetapi ketika pernikahan didasari oleh cinta dan pilihan, seksualitas dipermasalahkan.

"Dalam pilihan Indonesia kontemporer, untuk menjadi nasional, haruslah pilihan heteroseksual, dan sementara laki-laki dan perempuan memilih, ideologi yang dominan ialah laki-laki mengejar sementara pilihan perempuan menjadi nomor dua dan ditolak," ujar Boellstorff.

Sementara itu, kultur maskulin dalam politik di Indonesia juga tumbuh. Menurut Julia, hal itu tampak dalam perkembangan pengorganisasian preman melalui sejumlah organisasi. Bagi Julia, negara memiliki lapisan-lapisan, mulai dari ideologi hingga romantisisme, akan tetapi dalam praktiknya negara bertindak ke arah yang menunjukkan premanisme.

"Itu berangkat dari kenyataan bahwa Indonesia itu negara preman. Preman itu pasti maskulin, kan," ujar Julia.

Hubungan antara preman dan negara diulas Ian Wilson dalam "The Biggest Cock: Territoriality, Invulnerabilty and Honour Amongst Jakarta's Gangster" (2012). Wilson menunjukkan bahwa maskulinitas jago - istilah yang bisa disejajarkan dengan preman - disalurkan melalui mengamankan, mengendalikan, dan mempertahankan lahan; sejumlah tindakan yang menampakkan kekerasan simbolik; dan memperkuat tubuh melalui kekuatan supranatural semacam ilmu kebal.

Beberapa jago dikenal sebagai orang yang turut melawan penjajah Belanda. Kemudian, para jago "membantu" Orde Baru dengan menjadi pembantai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia pada 1960-an. Mereka dianggap pahlawan lokal.

Namun, pada 1972, Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) memerintahkan kelompok dan gang remaja dibubarkan. Lalu, pada 1980-an, muncul rangkaian pembunuhan yang disebut Petrus (Pembunuhan Misterius). Ia disebut misterius karena siapa pembunuhnya tidak diketahui. Yang jelas, tubuh mayat tersebut bertato, tanda yang kerap diasosiakan dengan para jago. Di saat yang bersamaan, pemerintah dan media mulai mengaitkan kata "jago" dengan "kriminal".

Di tengah kemunculan Petrus, para jago direkrut masuk Pemuda Pancasila atau menjadi Satpam.

"Dengan cara ini, maskulinitas jago yang semula berbasis wilayah dikriminalisasi dengan cara disebut dikaitkan dengan kriminalitas dan kemudian diintegrasikan kembali dalam maskulinitas hegemoni negara, dibingkai sebagai pemuda patuh dalam kerangka patriarki nasionalistik dan patriotik" ujar Wilson.

Julia menjelaskan bahwa keberadaan kata makian yang bernada seksis itu dipengaruhi politik di Indonesia yang bersifat maskulin dan patriarkis.

"Jadi, seolah kalau plin-plan atau ketidaktegasan itu ciri perempuan. Tetapi, coba lihat Kabinet kita sekarang ini. Siapa yang menonjol? Yang perempuan kan seperti Ibu Susi atau Ibu Sri Mulyani?" ujar Julia.

Penggunaan kata "banci" oleh Habib Bahar, menurut Julia, hanya satu hal yang mencerminkan bahwa di era media sosial para tokoh publik berjibaku menggunakan kata-kata soundbite alias yang mudah menarik perhatian publik.

"Politik itu kan seperti entertainment, apalagi kita ini di zaman media sosial, jadi [mereka pakai yang] sound bites. Tetapi, politik itu jadi asbun [asal bunyi] aja. Padahal, kalau ada orang pakai kata "banci", berarti politikus kita krisis berpikir ini, ngga pakai otak," ujar Julia.

Baca juga artikel terkait KASUS UJARAN KEBENCIAN atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan