Menuju konten utama

Makan Nasi Sampai Mati

Pada Mei lalu, Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan impor bahan makanan bisa dilakukan pemerintah untuk menjaga stabilitas harga kebutuhan pangan menjelang bulan puasa yang jatuh pada awal Juni 2016. Kebijakan ini selalu dibuat menjelang Ramadan dari tahun ke tahun. Bagaimana sebenarnya relasi konsumsi beras di Indonesia dan masyarakatnya? Apakah benar beras hanya satu-satunya makanan pokok masyarakat Indonesia?

Makan Nasi Sampai Mati
Petani memasang jala untuk melindungi padi dari hama burung di Babadan, Semarang, Jawa tengah, Aantara foto/Aditya Pradana Putra

tirto.id - Tokoh kita yang satu ini, sebut saja Wibisono, merasa belum makan jika masih tidak makan nasi. Tak peduli ia sudah makan roti, kentang, singkong, atau jagung, jika belum mengunyah nasi, maka ia belum makan. Bagi Wibisono, nasi adalah penanda bahwa peristiwa makan telah selesai dilakukan, di luar itu hanya sekedar jajan, atau mengganjal perut. Di Indonesia, nasi memang masih menjadi makanan pokok utama.

Data International Rice Research Institute (IRRI) menunjukkan konsumsi beras masyarakat Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia, mencapai 160 kilogram per tahun pada tahun 2000 dan mulai menunjukkan penurunan di 2002. Sementara data Susenas menunjukkan, pada 2014 konsumsi nasi masyarakat Indonesia mencapai 87,63 kilogram per tahun atau 240 gr per hari per orang pada 20014. Untuk konsumsi beras per kapita pada 2014 mencapai 97,23 kg/kapita/tahun. Angka itu turun tipis dari konsumsi pada 2013 yang sebesar 97,40/kapita/tahun.

Jika konsumsi beras tidak ada upaya pengurangan, maka pada 2035 saat penduduk Indonesia mencapai 400 juta jiwa, dibutuhkan 20 juta hektar lahan lebih untuk menanam padi saja.

Menariknya luas lahan untuk menghasilkan beras di Indonesia bukanlah yang paling besar. Dari data yang dirilis oleh Southeast Asian Regional Center (Searca) menunjukkan, India memiliki luas lahan pertanian untuk padi paling besar di dunia dengan luasan 44 juta hektare. Sementara itu Cina menduduki peringkat kedua dengan 29,49 juta hektare, disusul oleh Indonesia 12,31 juta hektare, Vietnam 7, 41 juta hektare, dan Filipina 4,35 juta hektare. Lantas bagaimana dengan produksi beras di Indonesia?

Berdasarkan data BPS pada 2013 produksi beras di Indonesia masih didominasi oleh pulau jawa (DKI, Banten, Jabar, Jateng, DIY, Jatim) mencapai 35,41 juta ton. Sempat mengalami penurunan pada 2014 menjadi 34,62 juta ton, atau pertumbuhan negatif 2,23 persen. Namun, pada 2015 produksi beras Indonesia sempat naik 6,24 persen menjadi 36,78 juta ton. Sementara produksi luar jawa pada 2015 lalu mencapai 36,39, naik dari 2013 yang 33,79 juta ton. Produksi beras di Indonesia paling banyak dipengaruhi cuaca. Jika kondisi cuaca tidak stabil, maka produksi beras menurun.

Produksi beras Indonesia nyatanya tidak pernah cukup untuk memberi makan seluruh rakyat. Indonesia tercatat cukup rajin mendatangkan beras dari luar negeri. The Wall Street Journal pada 2015 menuliskan laporan tentang konsumsi beras di Indonesia. Mereka menyebut, Indonesia menghabiskan 246 juta dolar pada 2013 untuk impor beras dari Thailand dan Vietnam. Angka itu setara dengan 472.600 ton beras, yang relatif lebih kecil dibanding produksi beras dalam negeri pada tahun itu yang mencapai 71,28 juta ton. Lantas jika produksi beras sudah demikian tinggi mengapa masih impor?

The Wall Street Journal menyebutkan bahwa ketergantungan warga Indonesia terhadap beras menjadi penyebab utama impor meski produksi dalam negeri tinggi. Produksi beras dirasa tidak akan mencukupi konsumsi masyarakat yang tinggi. Padahal masih ada makanan pokok lain seperti jagung, singkong, sagu dan kentang. Sayangnya meski pemerintah sendiri telah mengkampanyekan diversifikasi pangan, masyarakat masih menganggap bahwa nasi adalah makanan pokok utama, sementara yang lain hanya kudapan.

Berdasarkan data BPS, konsumsi makanan pokok non beras masyarakat Indonesia sangat rendah. Jagung basah dengan kulit misalnya, pada 2014 konsumsi perminggu hanya 0, 013 kg. Sementara konsumsi jagung pocelan pada 2014 hanya 0,023 kg perminggu per orang. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019 diketahui bahwa pada periode 1996-2011 tingkat konsumsi ubi kayu menurun 4,4 persen per tahun di perkotaan sementara di perdesaan 10 persen per tahun.

Bapenas menyebutkan ada laju penurunan konsumsi kelompok umbi-umbian lainnya di pedesaan jauh lebih tinggi dibandingkan laju penurunan di perkotaan, yaitu masing-masing 21,4 persen/tahun dan 1,2 persen/tahun. Konsumsi ubi jalar di perkotaan menurun 9,8 persen/tahun, sementara di pedesaan meningkat tipis 2,5 persen/tahun. Menariknya, penurunan konsumsi kelompok ubi dan umbi-umbian lainnya terkompensasi dengan peningkatan konsumsi sagu, yang semula merupakan tanaman liar dan saat ini sudah semakin banyak dibudidayakan oleh masyarakat, khususnya di pulau Kalimantan dan pulau Irian.

Untuk menggalakkan diversifikasi makanan pokok pemerintah bukannya diam saja. Kementerian Pertanian sudah mengkampanyekan konsumsi pangan lokal (umbi-umbian) sebagai sumber karbohidrat selain nasi. Tapi hal ini perlu dilakukan secara sinergis penanganan di sisi produksi dan ketersediaan pangan berbasis sumberdaya lokal dan sisi permintaan melalui sosialisasi, edukasi dan advokasi tentang pentingnya konsumsi beragam, bergizi, seimbang dan aman. Upaya itu terasa kontra karena pemerintah juga masih ngotot untuk melakukan swasembada beras.

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian berupaya mengimplementasikan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) untuk menuju swasembada pangan. Seperti yang dikutip dari Antara, Irjen Kementan Justan Riduan Siahaan menyebut bahwa SPIP merupakan sistem untuk mengendalikan kegiatan yang berkaitan dengan produksi pangan Indonesia terutama padi. Pada 2016 target produksi padi seluruh Indonesia sebanyak 80,29 juta ton. Angka ini naik dari produksi tahun lalu yang mencapai 75,36 juta ton.

Jika memang serius untuk mengkampanyekan diversifikasi pangan, dalam hal ini sumber karbohidrat selain nasi, semestinya pemerintah juga mendorong produksi pangan seperti sagu, ubi, dan jagung. Jika tidak, kita akan terjebak dalam kampanye slogan belaka.

Baca juga artikel terkait BERAS atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Indepth
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti