Menuju konten utama

Majalah Panjebar Semangat: Delapan Dekade Lebih Mengarungi Zaman

Kisah majalah berbahasa Jawa yang telah berusia lebih dari delapan dekade dan masih bertahan hingga kiwari.

Majalah Panjebar Semangat: Delapan Dekade Lebih Mengarungi Zaman
Pekerja melipat majalah Panjebar Semangat di Jalan Gedung Nasional Indonesia No 2, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (1/10/2020). Majalah mingguan berbahasa jawa yang terbit pertama kali pada 2 September 1933 tersebut sampai sekarang masih tetap terbit di era digital. Antara FOTO/Didik/Zk

tirto.id - Bagi dokter Soetomo, rakyat yang membaca adalah rakyat yang maju. Maka itu, di masa pergerakan nasional, ia menganggap penting kehadiran surat kabar. Tak heran jika dalam sejarah pers di Indonesia, dokter Soetomo terkait dengan sejumlah media, di antaranya Soeara Oemoem dan Panjebar Semangat.

”Hendak menyebar bacaan yang berfaedah untuk rakyat,” ungkapnya dalam Panjebar Semangat pada 1933--tahun media itu didirikan. Di tahun itu pula didirikan organisasi Persatoean Bangsa Indonesia.

Menurut Karkono Kamajaya Partokusumo dalam Kebudayaan Jawa, Perpaduannya dengan Islam (1995:169), Penjebar Semangat terbit sejak 2 September 1933 dengan memakai huruf latin. Pada zaman kolonial, huruf ini diajarkan pula di sekolah paling murah jenis Volkschool (sekolah rakyat tiga tahun). Sementara bahasa yang digunakan Panjebar Semangat adalah bahasa Jawa ngoko yang biasa dipakai rakyat jelata.

”Mungkin penggunaan ragam bahasa Jawa ngoko memang cocok untuk pers,” tulis Sapardi Djoko Damono dalam Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an (2000:44). Menurut Sapardi, Panjebar Semangat adalah pengembangan edisi bahasa Jawa dari mingguan Soeara Oemoem yang berdiri pada 1931.

Panjebar Semangat sejak awal dipimpin oleh Imam Soepardi, mantan guru yang berasal dari Probolinggo. Media ini semula berbentuk lembaran, lalu pada 1935 mulai berupa jilidan tabloid, dan berubah lagi menjadi majalah. Menurut catatan Kurniawan Junaedhie dalam Rahasia Dapur Majalah di Indonesia (1995:326), majalah ini terkenal dengan gambar sampul yang selalu merah, dan kerap dianggap sebagai simbol yang membara, seperti seharusnya sebuah semangat.

”Nama majalah itu saja sudah menunjukkan adanya keinginan pengasuhnya untuk tidak sekadar menjual berita,” tulis Sapardi.

Panjebar Semangat ingin menyebarluaskan berbagai gagasan baru. Hal ini terkait dengan Indonesische Studieclub yang didirikan dokter Soetomo pada tahun 1924. Sapardi menyebut, "dalam majalah ini, berita dan berbagai karangan sampai kepada rakyat banyak di desa-desa dan di dalamnya pula kebudayaan populer mendapat tempat."

Seingat Sapardi, majalah ini sempat memuat iklan keluarga, yang pada 1956 menetapkan biaya untuk iklan jenis ini sebesar Rp 10. Selain itu, Panjebar Semangat juga memuat iklan barang-barang konsumsi, asuransi, dan tak ragu mengiklankan majalah lain.

Rubrik andalan Panjebar Semangat, seperti dicatat Edi Sedyawati dalam Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum (2001:212), antara lain cerita bersambung, cerita pendek, cerita bergambar, Jula-Juli, dan Apa Tumon.

”Bahasa Jawa ragam ngoko mulai ditempatkan sebagai bahasa narasi fiksi Jawa modern, baik itu yang berbentuk cerita bersambung maupun cerita pendek,” tulis penyusun Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Prakemerdekaan (2001:203). Dalam buku itu pula disebutkan bahwa pada 1930-an dunia sastra Jawa mulai menuju suasana baru. Meski dokter Soetomo wafat pada 1938, tetapi Panjebar Semangat terus mengawal suasana baru itu.

Majalah ini dibaca oleh orang dewasa dan anak-anak usia sekolah. Hersri Setiawan misalnya, pada zaman pendudukan Jepang, pengarang yang pernah ditahan di Pulau Buru ini usianya belum genap sepuluh tahun dan ia telah membaca Panjebar Semangat, selain Pandji Poestaka dan Kedjawen.

”Aku lalu menjadi sering membacakan untuk ibu berita-berita peperangan dari Panjebar Semangat, sambil berbaring di bawah mori batikan ibu,” ujar Hersri dalam Berkah Kehidupan-32 Kisah Inspiratif tentang Orangtua (2013:308).

Infografik Panjebar Semangat

Infografik Panjebar Semangat. tirto.id/Fuadi

Seperti banyak media lain, Panjebar Semangat pernah dimatikan Jepang lewat tentara ke-16 di Jawa. Menurut catatan Edi Sedyawati (2001:211), dari zaman Jepang hingga akhir masa revolusi, Panjebar Semangat tidak terbit. Majalah yang dimodali orang-orang penting yang pernah bergelut di Boedi Oetomo ini akhirnya terbit lagi pada 1949 setelah mati suri bertahun-tahun karena perang.

Djoko Pekik, salah seorang seniman Bumi Tarung, jalan hidupnya "diarahkan" oleh Panjebar Semangat.

”Suatu ketika saya melihat iklan di majalah Panjebar Semangat, sebuah majalah berbahasa Jawa terbitan Surabaya… Isinya kira-kira tentang dibukanya pendaftaran sebuah sekolah melukis, yakni Akademi Seni Rupa Indonesia. ASRI singkatannya. […] saya terus datang ke sana,” ujar Djoko Pekik dalam Berkah Kehidupan-32 Kisah Inspiratif tentang Orangtua (2013:223).

Di zaman masih sekolah, Sapardi Djoko Damono adalah juga pembaca Panjebar Semangat. ”Tiap majalah Panjebar Semangat datang, kami sekeluarga berebut untuk membaca cerita pendek anak-anak yang dimuat di suplemen itu," ujarnya. (2008:253).

Meski dokter Soetomo telah wafat pada 1938, dan Imam Soepardi menyusul pada 1963, tetapi Panjebar Semangat tetap bertahan. Mohammad Ali--adik Imam Soepardi--meneruskan pengelolaannya.

Panjebar Semangat memang sudah berakar dalam masyarakat, banyak pelanggan yang turun-temurun, dan terjual dengan harga yang amat murah (karena dicetak banyak),” tulis Suparto Brata dalam Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa: Bacaan Populer untuk Perguruan Tinggi (1981:90).

Di era Orde Baru, menurut catatan David Hill dalam Pers di Masa Orde Baru (2011:151), oplah majalah berbahasa Jawa ini mencapai 57 ribu eksemplar. Tahun 2013, ketika berusia 80 tahun, majalah ini masuk rekor MURI sebagai majalah tertua di Indonesia yang masih hidup sampai sekarang.

Baca juga artikel terkait MAJALAH atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh