Menuju konten utama

Mainan Seks sebagai Bumbu Hidup Berpasangan itu Wajar & Perlu

sex toys) bisa jadi salah satunya."> Hubungan seksual juga butuh "bumbu" agar tetap hangat dan intim. Mainan seks (sex toys) bisa jadi salah satunya.

Mainan Seks sebagai Bumbu Hidup Berpasangan itu Wajar & Perlu
Ilustrasi Sex toys. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Lazimnya kita memahami mainan seks (sex toys) sebagai alat bantu untuk mencapai kepuasan seksual secara solo. Tapi, ternyata instrumen cinta ini juga dapat membangun keintiman pada hubungan berpasangan.

Sebagai masyarakat yang menganut kultur percintaan monogami, pernahkah membayangkan rasanya menghabiskan lebih dari setengah hidup kita hanya bersama satu orang?

Antropolog biologi sekaligus peneliti bidang perilaku manusia asal Amerika Helen Fisher melalui penelitiannya mengungkap bahwa “cinta sejati” nyata adanya. Cinta jenis itu memengaruhi manusia pada tingkat yang lebih pribadi dan intim.

Studi Fisher melihat struktur otak pada kelompok orang yang menjalin hubungan selama 21 tahun. Kala kelompok ini menjalani pemindaian otak (fMRI), terlihat adanya bagian otak yang merespons keadaan jatuh cinta. Respons itu terlihat sama seperti kala seseorang tengah kecanduan kokain atau obat-obatan lain.

Responden dengan relasi pernikahan selama 21 tahun juga memiliki aktivitas otak yang memberi ketenangan dan menekan rasa sakit.

“Kami menemukan pola spesifik pada cinta sejati ada di korteks frontal yang membikin orang jadi mengabaikan hal negatif, lebih berempati, dan mampu mengendalikan emosi diri,” ungkap Fisher.

Fisher juga memberikan pertanyaan sederhana kepada para responden terkait kenyamanan terhadap pasangan, seperti, “Apakah Kamu mau menikah lagi dengan orang yang saat ini menjadi pasanganmu?” Sebagian besar responden (81 persen) tercatat memberikan jawaban positif (“ya”).

Namun, untuk sampai di titik “cinta sejati” itu, hubungan berpasangan harus terus dirawat. Pasalnya, bukan tak mungkin riak-riak romantis dalam berelasi teredam oleh rasa bosan. Ujung-ujungnya, hubungan asmara jadi hambar atau yang lebih ekstrem: mencari selingan di luar pasangan resmi.

Lalu, bagaimana caranya terus memupuk keintiman hingga tuntas janji pernikahan?

Kami meminta Seksolog Zoya Amirin untuk memberi tanggapan soal memelihara hubungan romantis. Lantaran punya sifat dasar sebagai tukang serong, salah satu cara untuk menghindari rasa bosan dalam berelasi adalah memilih pasangan yang sesuai standar visual dan perilaku masing-masing.

Kata Zoya, pasangan perlu juga membangkitkan kesadaran berelasi yang setara. Perempuan tak bisa sekaligus berperan sebagai pasangan, asisten rumah tangga, dan pengasuh pada saat bersamaan. Begitu juga dengan laki-laki. Rutinitas harian yang terlampau melelahkan bisa berdampak pada menurunnya kualitas hubungan romantis.

Maka siapkan waktu khusus untuk “berpacaran” dan mengeksplorasi hobi masing-masing.

“Harus paham kapan menjadi tim, kapan harus berdiri sendiri. Itu kesadaran yang membantu manusia untuk setia,” kata Zoya.

Dalam urusan hubungan seksual, pasangan harus bersikap terbuka dalam mengutarakan keinginan, kenyamanan, dan consent. Kelola aktivitas seksual agar hubungan tetap hangat dan intim. Salah satu caranya adalah dengan bereksplorasi hal-hal baru, termasuk menjajal mainan seks.

Layaknya variasi posisi seks atau pakaian dalam yang bagus, mainan seks adalah bumbu dalam relasi romantis berpasangan.

“Ibarat makan nasi setiap hari kan bosan juga. Cari lauk yang berbeda bukan dengan orang lain, tapi buat variasi berbeda dengan pasangan resmi,” tutur Zoya.

Mainan Seks Bukan Pengganti Pasangan

Beberapa orang punya kekhawatiran ketika pasangannya menggunakan mainan seks. Terdengar sedikit lucu, tapi mereka punya ketakutan peran seksualnya akan tergantikan oleh benda yang terbuat dari karet silikon.

Selain itu, mereka juga khawatir kualitas kehidupan seksualnya akan menurun karena terus bergantung pada mainan seks. Ketakutan-ketakutan semacam ini cenderung lebih sering menghampiri laki-laki dibanding perempuan. Padahal, seperti analogi Zoya tadi, nasi tidak akan tergantikan oleh lauk.

Persepsi-persepsi yang keliru ini ditepis oleh Zoya karena hubungan seksual tak sekadar untuk mendapatkan orgasme. Bagaimana pun mainan seks tidak menawarkan keintiman dan kehangatan seperti pasangan asli.

Meski begitu, sebagaimana telah disebut, mainan seks dapat membantu pasangan mengelola hubungan romantisnya. Studi David Frederick dkk. yang terbit di Journal of Sex Research (2016) mengungkap adanya perbaikan kualitas hubungan seksual pada pasangan yang menggunakan mainan seks. Mereka cenderung lebih berhasil mempertahankan gairah dan kepuasan hubungan jangka panjang.

Responden penelitian David Frederick dkk. tersebut menggunakan mainan seks sebagai variasi aktivitas seksual berpasangan—selain juga mandi bersama, menjajal posisi seks baru, dan menjadwalkan kencan seks. Mereka mengungkap komunikasi seksual yang terbuka dapat meningkatkan kepuasan bersama pasangan.

“Mereka cenderung bisa mengomunikasikan keinginan tersebut tanpa dihakimi, dipermalukan, atau ditolak,” tulis peneliti.

Infografik sex toys dalam pernikahan

Infografik sex toys dalam pernikahan. (tirto.id/Fuad)

Seturut studi lain “Prevalence and characteristics of vibrator use by men in the United States” (2009), laki-laki yang teratur menggunakan mainan seks secara individual atau bersama pasangan mendapat skor lebih tinggi pada empat dari lima domain dalam International Index of Erectile Function, yaitu fungsi ereksi, fungsi orgasme, hasrat seksual, dan kepuasan seksual.

Studi penggunaan mainan seks juga menunjukkan hasil serupa pada perempuan. Mereka yang memiliki persepsi positif terhadap mainan seks melaporkan perolehan skor Female Sexual Function Index yang lebih tinggi terkait dengan gairah, pelumasan, orgasme, dan kepuasan seksual. Sementara itu, skor rasa sakit mereka cenderung lebih rendah.

Sayangnya, hasil-hasil positif terkait kepuasan seksual perempuan itu selama ini tenggelam akibat konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai objek yang “melayani” laki-laki. Seolah-olah perempuan tak memiliki hak atas tubuhnya, tapi menanggung beban tuntutan “kemenangan” laki-laki saat berhubungan seksual.

Akibatnya, seringkali perempuan dipersepsikan harus pasif saat berhubungan seksual, pasrah, dan haram hukumnya menggunakan instrumen cinta selain dengan pasangan. Mereka jadi "terpaksa" pura-pura orgasme hanya untuk memelihara ego laki-laki. Jika persepsi macam ini terus langgeng, keintiman hubungan seksual justru akan rusak dan menjadi bibit-bibit kegagalan dalam berelasi jangka panjang.

Baca juga artikel terkait HUBUNGAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi