Menuju konten utama
Dampak Pandemi Corona

Mahasiswa Pascasarjana UI-UGM Tuntut Biaya Kuliah Turun saat COVID

Mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia mengeluh biaya kuliah yang tinggi di masa pandemi COVID-19 dan menuntut keringanan biaya.

Mahasiswa Pascasarjana UI-UGM Tuntut Biaya Kuliah Turun saat COVID
Graha sabha pramana UGM. FOTO/residence.ugm.ac.id

tirto.id - Sejumlah mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia (UI) mengeluh biaya kuliah yang tinggi di masa pandemi. Dampak ekonomi dari pandemi COVID-19 tak hanya dirasakan oleh mahasiswa sarjana, tetapi juga mereka yang menempuh studi magister.

Perwakilan Aliansi Mahasiswa Pascasarjana UI, Petrus Putut Pradhopo, mengatakan tak adanya pengurangan biaya kuliah selama pandemi sangat disayangkan mengingat banyaknya kerugian yang justru dialami mahasiswa pascasarjana.

"Perkuliahan melalui metode Pembelajaran Jarak Jauh, mahasiswa dituntut untuk menggunakan fasilitas pribadi di tengah pendapatan yang menurun dan biaya hidup yang meningkat. PJJ juga menurunkan kualitas pembelajaran dan membuat mahasiswa tidak dapat menikmati akses kampus yang sudah atau akan dibayarkan," kata Putut lewat pers rilis yang diterima wartawan Tirto, Rabu (1/7/2020) pagi.

Sementara di waktu yang bersamaan, Putut melanjutkan, mahasiswa masih dituntut untuk membayar Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang tidak sedikit jumlahnya tanpa mendapat bantuan resmi dari universitas.

Ia mengutip Peraturan Rektor UI No. 4 Tahun 2020 tentang Biaya Pendidikan Mahasiswa Non S1 Reguler, yang tertulis BOP yang harus dibayarkan oleh mahasiswa pascasarjana UI berkisar di rentang biaya sebesar 13-20 juta rupiah per semester.

Tak hanya itu, Putut juga mengkritisi Permendikbud No. 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang baru saja dikeluarkan Menteri Nadiem Makarim, karena belum mampu menjadi landasan hukum yang mengakomodasi mahasiswa dari seluruh jenjang pendidikan dalam mengajukan keringanan BOP.

"Akibatnya, kebijakan penyesuaian BOP hanya dapat dinikmati sebagian kelompok mahasiswa saja. Padahal, penyesuaian BOP merupakan hak bagi seluruh mahasiswa di tengah pandemi ini, mengingat bahwa mahasiswa tidak dapat memanfaatkan fasilitas dari kampus secara penuh," kata Putut.

Ia bersama para mahasiswa pascasarjana UI lainnya yang tergabung dalam aliansi mendesak ke Rektor UI Ari Kuncoro dan Menteri Nadiem Makarim untuk bisa mengambil kebijakan mengurangi BOP selama PJJ secara menyeluruh dan tanpa syarat.

Tak hanya itu, mereka juga menuntut dikembalikannya BOP Semester Gasal 2020/2021 bagi mahasiswa yang telah membayar penuh. Kata Putut, sebagian mahasiswa, utamanya mahasiswa baru, telah membayarkan BOP secara penuh tanpa adanya pertimbangan pengurangan biaya seperti yang telah dipaparkan di poin kedua di atas.

"Demi mendukung pengurangan biaya yang menyeluruh dan tanpa syarat, kami mendorong pengembalian biaya yang telah dibayarkan sesuai dengan pengurangan yang disepakati," katanya.

Aliansi tersebut juga mendesak untuk pihak kampus dan pemerintah untuk menghapus BOP untuk mahasiswa tingkat akhir dan membuka transparansi penggunaan BOP yang wajib dibayarkan mahasiswa tiap semesternya, terutama pada masa pandemi.

Para mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) pun merasakan hal yang sama. Mereka merasa beban yang dirasakan saat masa pandemi sangat berat ditambah dengan biaya kuliah yang tinggi.

Koordinator Aliansi Mahasiswa Pascasarjana UGM, Ramaditya, mengkritik kampus yang tak ada sinyal memberikan keringanan biaya perkuliahan untuk para mahasiswa pascasarjana.

"Padahal, pihak universitas cukup banyak menghemat segala fasilitas operasional pembelajaran karena proses belajar mengajar dilakukan secara daring. Penghematan yang sangat tampak ada pada pemakaian fasilitas umum seperti gedung, lampu, listrik, air conditioner, wi-fi, air dan lainnya," katanya lewat pers rilis.

Tak hanya itu, Ramaditya juga menilai sistem pembelajaran secara daring yang dilakukan belum cukup signifikan untuk dilakukan jika melihat konteks kemampuan ekonomi mahasiswa. Katanya, tidak semua mahasiswa memiliki alokasi biaya untuk melakukan perkuliahan secara daring.

Ia membenarkan bahwa pihak UGM pernah memberikan subsidi kuota/pulsa, tetapi dalam riset dan jajak pendapat yang dilakukan Aliansi Mahasiswa Pascasarjana UGM, setidaknya ditemukan 62 persen mahasiswa mengaku tak mendapatkan bantuan kuota/pulsa. Sedangkan sisa 38 persennya mengeluh karena besaran subsidi yang didapat tidak mencukupi untuk kegiatan perkuliahan, pun besarannya berbeda tiap fakultas.

Jajak pendapat itu dihimpun dari total 2.006 mahasiswa sebagai responden yang tersebar ke 84 departemen.

Ramaditya dan para mahasiswa pascasarjana UGM yang tergabung dalam aliansi mendesak penurunan UKT secara universal tanpa syarat administratif apapun dalam presentase yang jelas dan signifikan bagi mahasiswa pascasarjana.

Tak hanya itu, aliansi juga mendesak pengembalian UKT di semester lalu yang tidak terpakai secara optimal karena penerapan lockdown dan pembelajaran secara daring ketika pandemi datang.

"Kami juga meminta transparansi pengelolaan pembiayaan pendidikan sampai pada tingkat operasional pengajaran dan Mendorong kepastian subsidi kuota/pulsa bagi semua elemen mahasiswa agar proses KBM secara daring berjalan dengan efektif," katanya.

Baca juga artikel terkait BIAYA KULIAH atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri