Menuju konten utama

Mahasiswa Ajak Debat Guru Besar, tapi Dijawab dengan Ancaman Pidana

Mahasiswa Unnes mengajak debat Guru Besar Unpad soal TWK KPK. Guru besar tak terima dan--versi mahasiswa--mengancam dengan pidana.

Mahasiswa Ajak Debat Guru Besar, tapi Dijawab dengan Ancaman Pidana
Ilustrasi HL Indepth Unnes Kursi Panas Rektor. tirto.id/Lugas

tirto.id - “Piye iki? Anakmu sok nantang.”

Pernyataan ini terlontar dari seorang pengajar dalam grup Whatsapp Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi, kepada dosen pembimbing Franscollyn Mandalika Gultom, Wakil Presiden BEM Keluarga Mahasiswa (KM) Unnes.

“Dia [dosen] kirim pesan kepada saya. Dia bilang ‘kondisi FH Unnes sekarang, di grup ini, sedang diserang. Kamu sudah merusak citra kami sebagai dosen FH Unnes',” kata Frans kepada reporter Tirto, Rabu (2/6/2021).

Tak hanya tekanan dari dosen pembimbing, Frans juga ditegur oleh dosen wali, wakil dekan bidang kemahasiswaan, dan koordinator kelembagaan BEM.

BEM KM Unnes ‘menantang’ Romli Atmasasmita, Guru Besar dan Koordinator Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad), debat terbuka secara daring pada 31 Mei 2021. Latar belakangnya adalah opini Romli di media massa yang menanggapi ihwal tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Opini itu sendiri dimaksudkan sebagai sanggahan dari opini Koalisi Guru Besar yang menyatakan TWK tidak memiliki dasar hukum. Bagi Romli, sikap para guru itu keliru dan menyesatkan karena TWK dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Posisi mahasiswa menolak TWK. “Di UU ASN Nomor 5 Tahun 2014 tidak ada sebutan mengenai TWK. Maka dia diatur kembali melalui Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020,” jelas Frans.

Mereka lantas mengirimkan surat permohonan resmi pada 28 Mei ke dua nomor ponsel Romli. Karena nihil respons, selebaran digital ajakan debat pun dibuat kemudian diunggah di akun Instagram BEM KM Unnes.

Pada 30 Mei, ada satu nomor tak dikenal mengirimkan pesan singkat ke narahubung acara. Pengirim pesan protes dengan dalih tidak pernah menyepakati undangan cum merasa ada pencatutan nama. Dia bahkan meminta BEM menurunkan unggahan acara dan meminta maaf. Jika tidak, ia siap melanjutkan perkara ke ranah pidana.

Menanggapi itu BEM menelepon pemilik nomor, dan ternyata itu tak lain Romli. “Dari cara bicaranya, cara menyampaikan argumennya. Dia klaim kalau dua nomor lainnya sudah tidak digunakan,” tutur Frans.

Romli juga berkata kepada mereka “tidak level dan siapa guru besar yang membeking dan memperalat mahasiswa.”

Frans mengatakan acara ini murni dari ide mahasiswa. Tujuan debat tersebut adalah menjaga nalar kritis mahasiswa dan membangun diskusi antara mereka yang pro dan kontra. Bagi Frans cs, mahasiswa bukan kerbau dan dosen bukanlah dewa yang tak bisa salah.

“Ada jenjang yang membatasi mahasiswa berdebat dengan dosen. Kesannya lucu saja kalau kami masih terkekang dengan budaya seperti itu. Ini [praktik feodal] tak baik untuk diteruskan, bahaya. Ketika kami mengkritik dan berpendapat tapi dianggap melawan,” jelas dia.

Acara tetap diselenggarakan selama dua jam. Sekitar 290-an peserta turut menyaksikan debat yang tak dihadiri oleh Romli tersebut. Kebanyakan adalah mahasiswa-mahasiswa Unnes, ada juga dari kampus lain.

Mirza Fahmi, Manajer Program Lokataru Foundation yang kerap meneliti kebijakan perguruan tinggi, mengkritik mengkritik ancaman pidana karena persoalan debat ini. Menurutnya, hal itu sama saja merusak iklim akademis. “Ini insiden memalukan dari dunia kampus,” kata Mirza kepada reporter Tirto, Rabu.

Ajakan seorang mahasiswa berdebat atau diskusi merupakan hal biasa saja, kata Mirza. Itu seharusnya menjadi budaya bagi para intelektual kampus. “Kampus bukan cuma transaksi materiil yang hanya kuliah dan bayar, tapi ada akademik, diskusi, debat, dan segala macam. Itu hal yang lumrah. Tapi kenapa kesannya malah sebuah perbuatan yang lancang seorang mahasiswa berdebat dengan dosen?”

Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan “tidak ada perbuatan pidana” dari memasang poster debat terbuka meski tanpa konfirmasi. “Seperti pengumuman saja ada tantangan, seperti Mata Najwa membuat [acara] ‘Kursi Kosong buat Menkes’,” ujar dia kepada reporter Tirto, Rabu.

“Kalau beliau tidak terima tantangan itu, jawab ‘saya tidak bersedia menerima tantangan’, tidak perlu menakut-nakuti mahasiswa yang dengan jiwa murni bergerak dan kritis,” tambahnya.

Hal serupa dikatakan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar. Ia mengatakan seharusnya Romli menghindari tindakan untuk memidanakan mahasiswa yang mengajak berdebat. “Sebaiknya ditanggapi dengan dingin, termasuk untuk menolak,” kata Abdul kepada reporter Tirto, Rabu.

Romli: Masak Debat dengan Anak Kecil?

Romli mengonfirmasi bahwa dia memang keberatan karena BEM Unnes secara sepihak mencantumkan fotonya ke dalam poster. “Tidak pernah ada izin,” kata Romli kepada reporter Tirto, Rabu. “Mahasiswa tapi kok etika sopan santunnya mana? Sebelum orangnya bilang iya, jangan berani-beraninya pasang foto.”

Dia mengatakan seharusnya BEM KM Unnes mencari tahu kontaknya yang lain apabila tidak aktif. Jika Frans mengatakan dua nomor Romli telah dihubungi tapi tidak ada konfirmasi, sang guru besar mengatakan yang dihubungi adalah “nomor HP lama, sudah ditutup, sudah lama.” Reporter Tirto juga berupaya menghubungi dua nomor tersebut, namun hanya satu yang aktif, sementara yang lain terakhir aktif pada 3 Februari 2021.

Namun jika misalnya permintaan sampai pun, Romli mengaku enggan menanggapi. Alasannya: “Masak guru besar debat dengan anak kecil?”

Sementara mengenai ancaman pidana kepada BEM KM Unnes lewat nomor yang lain, Romli mengaku itu tidak ada sama sekali. “Tidak ada [ancaman]. Sudah, setop, ya,” katanya dan langsung memutuskan sambungan telepon.

Baca juga artikel terkait TWK KPK atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika & Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino