Menuju konten utama

Mahalnya Biaya Ekonomi Selama 9 Bulan Pandemi

Biaya ekonomi selama pandemi sangat tinggi. Dan itu bakal terus berlanjut jika kepatuhan terhadap protokol kesehatan longgar.

Mahalnya Biaya Ekonomi Selama 9 Bulan Pandemi
Sejumlah pengunjung menonton film di bioskop Kota Cinema Mall, Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (5/11/2020). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/aww.

tirto.id - Pelaku usaha di ibu kota ramai-ramai memprotes inkonsistensi pemerintah daerah dalam memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Di satu sisi mereka berkorban membatasi aktivitas usaha dan karenanya pendapatan berkurang, yang tetap buka pun merogoh biaya ekstra untuk memenuhi protokol kesehatan, bahkan tetap membayar pajak. Tapi di sisi lain terus terjadi pembiaran terhadap pengumpulan massa terutama usai kepulangan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.

Sejak pulang pada Selasa 10 November lalu lalu, konsentrasi massa sudah terjadi berkali-kali. Pertama penjemputan di Bandara Soekarno-Hatta; kedua peringatan maulid Nabi; dan ketiga resepsi pernikahan anak. Atas semua aksi tersebut, Rizieq hanya diberikan sanksi denda Rp50 juta dan akan bertambah menjadi Rp100 juta bila melakukan pelanggaran lagi.

Saking jengkelnya, para pengusaha meminta lebih baik PSBB ditiadakan sama sekali--tak ada lagi pembatasan pengunjung dan jam operasional. Sebab, menurut Ketua VIWI Board sekaligus Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani, tanpa sanksi tegas bagi para pengumpul massa, maka sama saja “PSBB, apa pun bentuknya, sudah berakhir secara de facto.”

Faktanya dampak pembatasan aktivitas ekonomi untuk mencegah COVID-19 semakin menyebar luas memang mahal. Selama Q1-Q3 2020 atau tujuh bulan pandemi, nominal Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia turun signifikan menjadi Rp11.505,12 triliun dari sebelumnya Rp11.815,1 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Rp309,975 triliun hilang hingga September.

Nominal ini akan membengkak jika pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi 1,7 persen--seperti prediksi pemerintah di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi 5 persen. Jumlah aktivitas ekonomi yang hilang bisa mencapai Rp974,86 triliun, dihitung dari posisi PDB terakhir di 2019 senilai Rp15.800 triliun.

Imbasnya langsung terlihat dari lonjakan jumlah orang yang kehilangan pekerjaan pada Agustus. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pekerja tetap berkurang 9,46 juta orang. Pengangguran tercatat meningkat 2,67 juta sehingga totalnya menjadi 9,77 juta sebagai imbas pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sulitnya angkatan kerja baru mencari kerja. Bagi yang masih bekerja pun sebagian menerima upah lebih rendah alias semakin tak sejahtera. BPS mencatat per Agustus, rata-rata upah pekerja turun 5,18 persen menjadi hanya Rp2,76 juta per bulan.

Sebagai bantalan, pemerintah terpaksa menambah utang hingga Rp1.220.5 triliun selama tahun ini. Angka ini naik drastis dari rencana awal yang hanya Rp351,9 triliun dalam APBN 2020 awal--sebelum COVID-19 terjadi. Sekitar Rp695 triliunnya digelontorkan untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), selebihnya untuk mengompensasi penurunan penerimaan pajak yang diprediksi mencapai 15 persen di tahun ini sebagai imbas lesunya kegiatan usaha.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan sebenarnya perekonomian Indonesia ke arah positif karena pertumbuhan ekonomi Q3 2020 yang terkontraksi 3,49 persen alias lebih baik dari kontraksi Q2 2020 5,32 persen. Namun, tren ini bisa saja hilang dan kembali lagi ke titik kontraksi atau negatif bila Indonesia mengalami peningkatan kasus signifikan, yang salah satu pemicunya adalah ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan seperti yang dilakukan Rizieq dkk.

"Kita harus tetap disiplin melaksanakan protokol kesehatan karena kita' tidak ingin terjadi pilihan yang tak mungkin: antara kesehatan atau ekonomi," ucap Sri Mulyani dalam Webinar Nasional dengan tema Transformasi Ekonomi Untuk Indonesia Maju yang Berkelanjutan, Rabu (18/11/2020).

Berbagai negara di Eropa telah menerapkan kembali pembatasan aktivitas ekonomi karena gelombang kedua COVID-19. Hal ini misalnya dilakukan Perancis, Jerman, Belgia, Italia, Yunani, Spanyol, dan Inggris.

Namun Rizieq tampaknya belum mau berhenti. Ia dan kelompoknya, misalnya, berencana menggelar Reuni 212 pada 2 Desember nanti. Pemprov DKI memang tidak memberikan izin penggunaan Monas, tapi acara serupa tetap diselenggarakan. Bahkan Rizieq punya rencana untuk keliling Indonesia dalam rangka mengonsolidasikan gerakan 'revolusi akhlak'.

Jika alasan ekonomi tidak cukup, maka barangkali saran dari epidemiolog dari Universitas Airlangga Laura Navika dapat dipertimbangkan untuk tak lagi menggalang massa. "Kalau kasus bertambah terus," kata Laura kepada reporter Tirto, Senin (16/11/2020), "kasihan dokter dan tenaga kesehatan yang selama ini berjuang menangani pasien, bahkan sampai meninggal."

Baca juga artikel terkait COVID-19 atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino