Menuju konten utama
Kronik Ramadan

Mahakarya Ibn Khaldun yang Berjasa bagi Ilmu Sosial Modern

Ibn Khaldun menulis sebuah buku tebal, amat tebal, yang bagian pendahuluannya bisa menjadi satu buku tersendiri—yang juga tebal. Sarjana-sarjana Barat mengakuinya sebagai mahakarya.

Mahakarya Ibn Khaldun yang Berjasa bagi Ilmu Sosial Modern
Ilustrasi Ibn Khaldun. tirto/Sabit

tirto.id - ‘Abd al-Rahman abu Zaid Ibn Khaldun, alias Ibn Khaldun lahir pada 1 Ramadan 732 H/27 Mei 1332 M di Tunisia. Dia belajar menghafal Alquran dan mempelajari pelbagai gaya pembacaan dan penulisan Alquran. Dia juga mempelajari fikih mazab Maliki, hadis Rasul, dan puisi.

Ibn Khaldun belajar hadis dari Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Jabir bin Sultan al-Qaisi al-Wadiyashi, otoritas hadis terbesar dari Tunisia, yang menganugerahkan lisensi kepadanya untuk mengajar bahasa dan hukum. Ia juga menerima ijazah dari guru-guru lain, termasuk beberapa sarjana terkemuka yang mengungsi ke Tunisia setelah pendudukan wilayah Ifriqiyah oleh Sultan Mariniyun, Abu al-Hasan, pada 748 H/1347 M.

Di antara sarjana-sarjana itu, figur yang paling berpengaruh terhadap perkembangan intelektual Ibn Khaldun adalah guru utamanya, Muhammad bin Ibrahim al-Abili, guru besar ilmu-ilmu rasional.

Al-Abili membuat Ibn Khaldun menyadari bahwa pelbagai praktik pengajaran tertentu justru merugikan proses transmisi pengetahuan: penyebarluasan buku bacaan bisa berdampak negatif bagi pengkajian pengetahuan; ketersediaan buku tidak memadai untuk pemerolehan ilmu—orang tetap perlu melakukan perjalanan, menemui para pakar dan belajar di bawah petunjuk mereka; ketersediaan buku ringkasan tidak dapat menyingkap hal-hal untuk dipelajari secara mendalam—sungguh penting untuk mencari ilmu dari sumber-sumber aslinya secara langsung.

Dengan dasar keilmuan yang diberikan al-Abili itulah Ibn Khaldun terus membangun dan mengembangkan gagasan untuk menulis magnum opus-nya: Muqaddimah.

Haus Ilmu sedari Muda

Ibn Khaldun menulis bahwa sejak akil balig, dia terus belajar secara tekun dan menimba ilmu dan kebajikan dari lingkaran ilmuwan di sekitarnya, hingga terjadi wabah sampar pada 748 H/1348 M yang membunuh kedua orangtuanya dan banyak gurunya. Di samping itu, sang guru al-Abili meninggalkan Tunisia untuk bergabung dengan Abu ‘Inan di Fez.

Dalam usia belia, penguasaan Ibn Khaldun atas bahasa dan ilmu yurisprudensi membawanya mengabdi kepada penguasa Tunisia. Mula-mula sebagai sekretaris, kemudian pada posisi-posisi yang lebih berat tanggung jawabnya. Periode dua puluh tahun ini dipenuhi aneka keberuntungan. Dia meninggalkan Tunisia dan kemudian mengabdi kepada penguasa lain di Maghrib, lalu ke Granada, ibu kota kerajaan Spanyol Muslim yang paling akhir bertahan.

Di sana dia berhasil menarik perhatian, lalu diutus membawa sebuah misi kepada penguasa Kristen di Sevilla, kota para leluhurnya. Namun Ibn Khaldun menuai kecurigaan dan karena itu dia pun segera angkat kaki ke Aljazair.

Sesampainya di negeri utara Afrika itu, dia menduduki jabatan pemerintahan lagi. Ia bekerja di pagi hari dan mengajar di masjid pada sore hari. Ibn Khaldun berperan mengajak para pemimpin Arab atau Berber yang menghuni padang-padang rumput dan pegunungan untuk mengadakan persekutuan politik dengan patronnya. Berkat kemampuan berdiplomasi dan kedalaman ilmunya, Ibn Khaldun dihormati orang-orang Berber.

Suatu ketika, dia menjalani empat tahun (1375-1379) hidup dalam sebuah kastil di pedesaan Aljazair di bawah perlindungan seorang kepala suku Arab. Masa itu adalah tahun-tahun ketika Ibn Khaldun terbebas dari urusan duniawi dan menghabiskan waktunya menulis sejarah dinasti-dinasti Maghrib.

Melahirkan Dua Mahakarya dalam Satu Karya

Kajian monumental Ibn Khaldun adalah Kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar (“Buku perihal Contoh-Contoh dan Kumpulan Sejarah Asal-usul Bangsa Arab dan Berber”), sebuah karya empiris tentang sejarah bangsa Arab dan Berber sebanyak beberapa jilid. Muqaddimah sejatinya merupakan sebuah pendahuluan bagi ‘Ibar. Dalam Muqaddimah itulah Ibn Khaldun memberi nama khusus pada ilmu-ilmu tentang kemasyarakatan.

Bagian Pendahuluan merupakan bagian kecil dari ‘Ibar. Bagian Pendahuluan untuk Buku Satu menegaskan manfaat historiografi dan mendiskusikan pelbagai kesalahan para sejarawan, yang kiranya akan diperbaiki oleh Kitab al-‘Ibar. Buku Satu (Kitab al-Awwal) itulah yang kemudian disebut Muqaddimah. Buku ini mempunyai Pendahuluan tersendiri dan enam bab. Mengulas tentang masyarakat dan sifat-sifat pentingnya. Menerangkan pelbagai topik seperti otoritas, pemerintahan, ragam pekerjaan, keterampilan, dan ilmu pengetahuan. Buku Satu terdiri dari enam bab panjang (fasl).

Buku Dua (Kitab al-Tsani) berisi sejarah dinasti-dinasti Arab sejak masa pra-Islam hingga masa Islam dan mendiskusikan orang-orang non-Arab dan berbagai dinastinya, seperti Persia, Suriah, Koptik, Israel, Nabasia, Yunani, Bizantium, dan Turki.

Buku Ketiga (Kitab al-Tsalits) berisi sejarah bangsa Berber dan memusatkan perhatian pada otoritas kerajaan dan dinasti-dinasti Maghribi.

Infografik Kronik Ibn Khaldun

Seluruh Kitab al-Ibar yang diterbitkan berjumlah tujuh jilid. Jilid pertama berisi Muqaddimah dan Buku Satu. Buku Dua terbagi sebagai jilid 2-5, sedangkan Buku Tiga terdiri dari jilid 6 dan 7. Autobiografi Ibn Khaldun dilampirkan pada bagian akhir Kitab al-Ibar. Judul aslinya adalah al-Ta’rif bi Ibn Khaldun Mu’allif hadza al-Kitab wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan (Informasi tentang Ibn Khaldun, Pengarang Buku ini, dan Perjalanannya ke Timur dan Barat). Bagian itu dianggap tidak terpisahkan dari Kitab al-‘Ibar.

Bagian awal dari Muqaddimah (Prolegomena) telah menarik banyak perhatian hingga era kiwari. Di dalamnya, Ibn Khaldun mendedahkan berdiri dan jatuhnya dinasti-dinasti metode pengujian kredibilitas sumber yang ketat. Dia percaya bahwa bentuk paling sederhana dan paling awal dari masyarakat manusia adalah yang dicontohkan masyarakat penghuni padang-padang rumput dan pegunungan, yang bercocok tanam dan mengembala ternak, serta mengikuti para pemimpin yang tidak memiliki kekuasaan terorganisasi.

Bagi Ibn Khaldun, masyarakat seperti itu memiliki suatu kebaikan dan energi alamiah tertentu, tetapi tidak mampu secara mandiri menciptakan pemerintahan yang stabil, kota-kota, dan budaya yang tinggi. Untuk memungkinkan hal ihwal itu, harus ada seorang penguasa yang memiliki kewenangan khusus. Sosok macam itu bisa muncul hanya ketika ia sanggup menciptakan dan menguasai kelompok pengikut yang menganut ‘ashabiyyah, yakni suatu semangat bersama yang diarahkan kepada pencapaian dan pemeliharaan kekuasaan. Yang paling tepat merepresentasikan kelompok ini adalah orang-orang energetik yang mendiami padang-padang rumput dan pegunungan.

Kelompok ini dapat dipersatukan oleh perasaan dari keturunan yang sama, baik nyata ataupun fiktif, atau oleh perasaan saling ketergantungan, serta diperkuat oleh penerimaan yang sama terhadap satu agama. Seorang penguasa dengan kelompok para pengikut yang kuat dan padu dapat mendirikan sebuah dinasti. Manakala pemerintahan dinasti itu stabil, kota-kota akan tumbuh dan di sana akan muncul spesialisasi-spesialisasi, gaya hidup mewah, dan budaya tinggi.

Namun, setiap dinasti membawa dalam dirinya benih-benih kemunduran. Ia dapat dilemahkan oleh tirani, gaya hidup yang berlebihan, dan hilangnya kualitas-kualitas memerintah. Kekuasaan yang nyata mungkin saja berpindah dari sang penguasa ke anggota kelompoknya sendiri, tetapi lambat laun dinasti itu bisa jadi digantikan oleh dinasti lain yang dibangun dengan cara yang sama.

Demikianlah salah satu percikan pemikiran Ibn Khaldun tentang asal-usul negara. Gagasan ini memang sebagian besar terbukti ketika nasionalisme dan pembentukan negara-negara modern dimulai pada akhir abad ke-18.

Karena pemikirannya yang mendalam, orisinal, dan melampaui zamannya itu, karya Ibn Khaldun banyak dirujuk sarjana-sarjana Barat. Ia dianggap sebagai salah satu peletak dasar-dasar ilmu sosial modern. Ibn Khaldun meninggal dunia dalam usia 74 pada 26 Ramadan 808 H/16 Maret 1406 M. Dia dikubur di pemakaman sufi di luar Bab al-Nasr, Kairo, Mesir.

Baca juga artikel terkait KRONIK RAMADAN atau tulisan lainnya dari Muhammad Iqbal

tirto.id - Humaniora
Penulis: Muhammad Iqbal
Editor: Ivan Aulia Ahsan