Menuju konten utama

Madura Berharga bagi Belanda karena Garam

Meski garam jadi komoditas, petani dan kuli yang menggarapnya sulit sejahtera.

Madura Berharga bagi Belanda karena Garam
Pekerja mengangkut garam di Desa Bunder, Pademawu, Pamekasan, Madura. ANTARA FOTO/Saiful Bahri

tirto.id - Garam dihasilkan dari air laut yang gratis. Lalu, diolahlah air laut itu secara sederhana menjadi garam. Banyak daerah pesisir pantai yang bisa membuat garamnya sendiri. India, misalnya. Juga Indonesia yang punya garis pantai sangat panjang, di margin maupun di dalam wilayah teritorial negara.

Di Nusantara, berbagai daerah punya cara-cara tradisional untuk mendapatkan kristal garam dari air laut.

“Orang Maluku membuatnya dengan menuangkan air laut ke unggunan api di pantai, kemudian merebus lagi abunya dengan air laut,” Anthony Reid dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin (1992) Mengutip buku Galvao: Historia das Moluccas (1544).

Masih dalam buku Reid, “beberapa daerah pantai dengan yang musim kemaraunya panjang berhasil mengusahakan garam ekspor dengan membiarkan matahari mengeringkan air laut yang sudah dipetak-petakkan di tepi pantai.”

Sangat ironis jika negara yang punya laut dan pantai harus membeli garam dari luar negeri. Di abad yang lalu tepatnya tahun 1930 di India, hal itu pernah terjadi. Inggris menjadi pemonopoli garam di India, dan banyak orang India menolaknya. Menerima monopoli itu sama saja dengan membiarkan “rakyat India harus membeli garam dari Inggris, meskipun produk itu melimpah ruah,” tulis Jonathan Black dalam Sejarah Dunia yang Disembunyikan (2015).

Tokoh pergerakan nasional India, Mohandas Karamchand Gandhi pun mengambil tindakan. Meski umurnya sudah kepala enam, dia “membawa mereka (orang-orang India) ke pantai laut untuk menentang peraturan orang Inggris yang melarang rakyat menghasilkan garam dari lautan tanah air mereka sendiri,” tulis buku Semua Manusia Bersaudara (2016). Aparat keamanan Inggris Raya kemudian menangkap Gandhi dan lainnya masuk bui.

Seperti Inggris memonopoli garam di India, Belanda juga melakukannya di Nusantara. Termasuk garam dari pulau garam: Madura. Seperti dicatat dalam beberapa tulisan, riwayat garam di Madura, terkait sosok Pangeran Anggasuta. Dia yang memperkenalkannya kepada orang-orang di Madura. Sebagai penghasil garam, petak-petak tambak pembuatan garam hingga kini masih terlihat di sekitar pantai-pantai Kali Anget, Sumenep, Madura bagian tenggara. Pantai selatan Madura yang kering memang dianggap baik untuk memproduksi garam.

Menurut Danys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (1996), “rupa-rupanya di Madura penghasilan [garam] itu tidak terlalu tua. Jika J. Crawfurd boleh dipercaya, prinsip tambak garam pada masanya hanya dikenal di pantai-pantai utara Jawa dan daerah Pangasinan di Pulau Luzon (Filipina).”

Garam-garam yang dikonsumsi di Indonesia di masa lalu juga datang dari Kocin Cina, Siam, dan Koromandel.

Soal tambak-tambak garam di pantai-pantai utara Jawa yang disebut Danys Lombard, Reid menyebut bahwa banyak tambak-tambak garam di pantai utara Jawa Timur. Di kala musim penghujan, saat garam tak dihasilkan, tambak-tambak itu akan berisi ikan. Namun, hal ini nampaknya tak terjadi di Madura.

Madura memang sempat jadi sumber serdadu kolonial Belanda. Ada yang namanya Barisan Madoera atau Barisan Tjakra. Namun, secara umum tadinya Madura tidak dianggap penting oleh pemerintah kolonial Belanda.

“Pulaunya tidak begitu subur, dan pada mulanya hanya memiliki nilai ekonomi yang kecil bagi Belanda. Hasil utamanya adalah manusia, yang melakukan migrasi besar-besaran ke Jawa Timur dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik,” tulis Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).

Barulah di paruh kedua abad XIX, terutama setelah Sistem Tanam Paksa dihapus pada 1870, Madura punya nilai ekonomis besar bagi Belanda. Pulau ini, menurut Ricklefs, adalah “pemasok utama garam ke daerah-daerah yang dikuasai Belanda di seluruh nusantara.”

Infografik garam madura dalam sejarah

Menurut Kuntowijoyo dalam sebuah esainya di buku Radikalisasi Petani: Esei-Esei Sejarah (1993), Belanda tak membeli garam lewat bupati. Mereka, menurut Kuntowijoyo, “secara langsung mengawasi produksi, berhubungan langsung dengan produsen dan memonopoli pemasaran." Karena Madura, garam jadi monopoli yang menguntungkan Belanda. Keuntungan yang seharusnya jatuh ke tangan adipati (bupati) dan jajarannya.

“Dalam tahun 1852, harga jual garam adalah lebih dari tiga puluh kali harga belinya (dari petani),” lanjut Kuntowijoyo. Di bukunya yang lain, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, 1850-1940 (2002), Kuntowijoyo menyebut “industri garam, bagaimana pun tidak menambah kesejahteraan penduduk.”

Artinya, petani-petani atau kuli-kuli tambak garam tak jauh beda nasibnya dengan kuli-kuli kebon lain di nusantara. Nasib petani garam di masa kini juga cukuplah suram. Meski garam langka, uang tak melimpahi kantong mereka. Padahal belanda si pemonopoli garam sudah lama angkat kaki.

Baca juga artikel terkait GARAM atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani