Menuju konten utama

Macron dan Kelakuan Para Pemimpin Sebelum & Setelah Kena Corona

Emmanuel Macron positif corona. Ia menjadi kepala negara terbaru yang tercatat mengidap COVID-19

Macron dan Kelakuan Para Pemimpin Sebelum & Setelah Kena Corona
Emmanuel Macron. ANTARA FOTO/REUTERS/Gonzalo Fuentes/foc/cfo

tirto.id - COVID-19 menginfeksi tanpa pandang bulu. Satu per satu, pemimpin negara-negara besar di dunia terinfeksi olehnya. Menarik untuk dicermati, sejauh mana para pemimpin merubah pendekatan atau sikapnya dalam menghadapi pandemi setelah menjadi penyintas COVID-19. Apakah mereka jadi semakin responsif, atau malah menganggap remeh penyakitnya?

Presiden Perancis Emmanuel Macron menjadi figur besar yang baru-baru ini terinfeksi. Ia diduga terinfeksi setelah mengikuti KTT Uni Eropa di Brussels seminggu sebelumnya.

Satu hari setelah diumumkan terkena COVID-19, Macron mengabarkan melalui Twitter bahwa kondisinya baik. Dalam isolasi, ia akan tetap bekerja seperti biasa bersama timnya, termasuk mengurus penanganan COVID-19 dan Brexit. Macron berpesan agar semua orang menjaga kesehatannya, karena COVID-19 bisa menyerang siapa saja. Ia mengaku lalai sekaligus bernasib sial, padahal selama ini merasa sudah berhati-hati. Namun demikian, riwayat aktivitasnya berkata lain.

Beberapa hari sebelum terinfeksi, Macron tampak mengabaikan protokol kesehatan. Walaupun sama-sama bermasker, ia sempat merangkul dan menjabat tangan Angel Gurria, Sekjen OECD yang berusia 70 tahun. Pada dua kesempatan berbeda, Macron menjamu makan 20 pemimpin parlemen dan belasan pejabat, terlepas rekomendasi pemerintah bahwa acara kumpul-kumpul dibatasi maksimal 6 orang.

Sampai hari ini, Perancis yang berpopulasi 67 juta jiwa, mencatat sedikitnya 60 ribu orang meninggal dan 2,4 juta kasus infeksi, tertinggi kelima di dunia. Merujuk pada data WHO, Perancis memiliki angka kematian tinggi akibat COVID-19 terutama pada bulan April. Selang beberapa saat, situasi relatif terkendali, sampai angka kematian dan jumlah pasien positif kembali menunjukkan tren kenaikan sepanjang musim gugur Oktober-November, sehingga lockdown kembali diberlakukan.

Dua minggu sebelum jatuh sakit, Macron mengumumkan bahwa ia tidak akan mewajibkan vaksinasi, meskipun pemerintah sudah mulai mempromosikan vaksin yang akan didistribusikan secara luas pada awal pertengahan tahun depan. Skeptisme terhadap vaksin memang cukup kuat di Perancis karena anggapan populer bahwa vaksin tidak aman. Poling terbaru menunjukkan sekiranya 59 persen warga Perancis enggan divaksinasi. Setelah dirinya terinfeksi COVID-19, belum jelas apakah Macron akan lebih gencar mengkampanyekan vaksinasi.

Boris Johnson: Insyaf dan Hati-Hati

Baru-baru ini, seperti dikutip dari Reuters, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menyatakan “sangat mendorong” warganya untuk melakukan vaksin, walau tidak mewajibkan. Ada indikasi pula, meskipun belum pasti, bahwa Johnson mungkin berkenan divaksinasi secara live di TV.

Perlu diingat bahwa akhir Maret silam, Johnson terinfeksi COVID-19 sampai harus menjalani perawatan intensif. Johnson bukan satu-satunya pejabat tinggi yang sakit. Menteri Kesehatan Matt Hancock juga dilaporkan terinfeksi.

Keduanya dinyatakan positif COVID-19 kala Inggris tengah menuju puncak gelombang krisis, tepatnya sepanjang April, ketika kematian akibat COVID-19 akumulasinya sudah di atas 30 ribuan kasus.

Pemerintahan Johnson dinilai lamban merespons pandemi. Seperti disampaikan ahli-ahli kesehatan Inggris kepada Time, ketidaksigapan tersebut salah satunya ditunjukkan dengan absennya Johnson dalam rapat ketika kasus positif COVID-19 pertama terdeteksi di Inggris pada akhir Januari. Ia baru mulai bertindak pada awal Maret, ketika stok alat tes, tabung oksigen, APD, dan kebutuhan esensial lainnya sudah mulai langka.

Johnson sempat meremehkan bahaya COVID-19. Awal Maret, ia sesumbar telah berjabat tangan dengan pasien COVID-19 di rumah sakit. Sampai pertengahan Maret, arahan darinya masih berupa advice atau anjuran agar masyarakat sebisa mungkin bekerja dari rumah dan menahan diri tidak pergi ke tempat ramai. Nada Johnson mulai berubah pada penghujung bulan (23 Maret), ketika lockdown diberlakukan dan ia berseru bahwa masyarakat “harus tinggal di rumah”.

Tak lama kemudian, Johnson terinfeksi COVID-19. Kurang lebih satu bulan lamanya ia berjuang untuk pulih. Dalam pernyataan resmi tak lama setelah dinyatakan sembuh, tampak betapa Johnson sangat mengapresiasi kerja keras layanan kesehatan nasional Inggris NHS (National Health Service), yang anggarannya akan ia sunat. Ketika aturan lockdown akan dilonggarkan menjelang pertengahan Mei, Johnson juga menunjukkan sikap lebih hati-hati, menyatakan bahwa negara akan maju dengan “kewaspadaan maksimal” demi melindungi NHS dan nyawa masyarakat, serta untuk menghindari gelombang krisis kedua.

Setelah sembuh, Johnson juga aktif terlibat dalam kampanye anti-obesitas. Ia mengaku “terlalu gemuk” sebelum jatuh sakit, dan kesembuhan dari COVID-19 membuatnya semakin semangat untuk menjaga berat badan. Infeksi COVID-19 jauh lebih berisiko bagi orang yang obesitas. Tahun 2018, sedikitnya 63 persen orang dewasa di Inggris mempunyai berat badan berlebih.

Jelang perayaan Natal, Johnson mendorong rakyat Inggris untuk “ekstra hati-hati”. Angka kematian akibat COVID-19 di sana masih menunjukkan kecenderungan naik sejak akhir Oktober. Sampai hari ini, negara berpopulasi 66 juta jiwa tersebut mencatat 67 ribu kematian akibat COVID-19 dan 2 jutaan kasus positif, tertinggi keenam di dunia.

Bolsonaro: Ngeyel dan Goblok

Presiden Brasil Jair Bolsonaro dikenal sebagai pemimpin negara besar yang suka terang-terangan mengecilkan risiko COVID-19.

AP News mengutip sejumlah komentar Bolsonaro, seperti anggapannya bahwa isu COVID-19 adalah “fantasi” dan “histeria”. Sebagai mantan atlet, COVID-19 dinilai sebagai “flu ringan” yang tidak akan mampu menyakitinya. “Saya bukan penggali kubur, oke?” jawabnya ketika ditanya tentang angka kematian yang tinggi. Ia mengaku berduka atas kematian pasien COVID-19, namun ia menegaskan bahwa suatu hari nanti “semua orang di sini bakal mati”.

Ketika terdeteksi sedikitnya 40 ribu kasus infeksi dan 2.500 orang meninggal pada bulan April, Bolsonaro melenggang santai tanpa masker di kerumunan massa pendukungnya untuk bergabung dalam demo anti-lockdown. Satu bulan kemudian, saat kasus COVID-19 belum mencapai puncaknya, Bolsonaro sudah mendorong agar bisnis-bisnis kembali beroperasi. Pernyataan ini ditentang oleh para pemimpin daerah.

Akhirnya, pada bulan Juli, Bolsonaro dinyatakan positif COVID-19. Dua minggu kemudian, ia mengumumkan kesembuhannya di Twitter dengan unggahan foto bersama sekotak obat hidroksiklorokuin, dan merayakan kesehatannya dengan touring sepeda motor keliling Brasilia sembari mengunjungi sejumlah pertokoan.

Sejak sembuh dari COVID-19, belum jelas sejauh mana Bolsonaro mendorong kebijakan kesehatan, karena fokusnya selama ini adalah pemulihan ekonomi. Sejak April misalnya, pemerintah Brasil mulai menyalurkan dana bantuan masyarakat. Pada akhir September, bantuan tersebut rencananya dilanjutkan dalam program bernama Renda Cidada (Pendapatan Warga Negara).

Meskipun Bolsonaro menunjukkan keseriusan dalam bidang ekonomi, perilakunya terhadap usaha pencegahan virus masih memprihatinkan, terutama terkait pemakaian masker. Pada bulan Oktober, ia diberitakan mengobrol dengan Menteri Kesehatan Eduardo Pazuello yang sedang positif COVID-19. Keduanya dilaporkan tidak memakai masker. Ia masih terus menganggap “tabu” pemakaian masker.

Dilansir dari AP News akhir November silam, Bolsonaro menyampaikan bahwa dirinya tidak akan mau vaksinasi. Baginya, pemaksaan vaksin COVID-19 merupakan bentuk kediktatoran pemerintah. Mengingat tingginya popularitas Bolsonaro, sikapnya tersebut dikhawatirkan akan mempengaruhi pandangan banyak warga Brasil terhadap vaksinasi. Baru saja, ia sempat melontarkan pernyataan aneh bahwa vaksinasi bisa mengubah orang jadi buaya.

Berdasarkan data WHO, sampai hari ini Brasil yang populasinya mencapai 211 juta jiwa tersebut mencatat 185 ribu kematian akibat COVID-19. Terdapat 7 juta angka pasien positif di sana, tertinggi ketiga setelah AS dan India.

Infografik Setelah Terinfeksi Covid 19

Infografik Setelah Terinfeksi Covid 19. tirto.id/Fuad

Trump: Ngeyel dan Nekat

Sudah bukan hal yang mengejutkan untuk mendengar sikap remeh Presiden AS Donald Trump terhadap COVID-19. Selain kerap dikritik karena tak punya strategi nasional untuk mengontrol penyebaran virus, komentar-komentarnya tentang COVID-19 juga terdengar menyakitkan. Pada bulan Mei, misalnya, Trump menilai tingginya kasus positif COVID-19 layaknya “lencana kehormatan” cerminan keberhasilan pengadaan tes, terlepas kala itu angka kematian tengah merangkak menuju 100 ribu kasus.

Selain itu, Trump juga sinis terhadap gerakan pakai masker, termasuk pernah mengejek Joe Biden yang selalu memakainya. BBC mengamati, Trump baru pertama kali terlihat pakai masker pada bulan bulan Juli. Kala itu, akumulasi angka kematian akibat COVID-19 di AS sudah mencapai 154 ribu, dengan kasus infeksi sebanyak 4,5 juta.

Akhirnya Trump terinfeksi juga pada awal Oktober, tepat di tengah kesibukan kampanye pilpres. Kesembuhan Trump tergolong cepat. Pada hari kelima setelah diumumkan terinfeksi, Trump sudah kembali ke Gedung Putih. Tak lama kemudian ia mengunggah video untuk meminta masyarakat Amerika agar “jangan membiarkan [COVID-19] mendominasi kehidupan” mereka, serta menyarankan mereka untuk “pergi keluar” dan “berhati-hati”, sambil meyakinkan bahwa vaksin akan segera datang.

Setelah merasa sembuh, Trump langsung tancap gas melanjutkan kampanye ke Florida pada pertengahan Oktober. Meskipun kampanye dilakukan di area terbuka, tampak orang berdesak-desakan dan mayoritas tidak mengenakan masker. Trump, yang juga tidak bermasker, berpidato bahwa dirinya sudah “imun” dan merasa “berdaya”.

Terlepas dirinya pernah jatuh sakit karena COVID-19, cara pandang Trump terhadap virus tersebut tetap tak jauh berbeda dengan masa sebelum ia terinfeksi. Sebagai penyintas, ia malah mendorong publik agar tak perlu risau karena COVID-19.

Menurut majalah Time, “Abaikan COVID-19 ” menjadi pesan yang bisa dipetik dari kampanye-kampanye terakhir Trump. Sepanjang akhir Oktober, Time mengamati betapa Trump masih bersikap remeh dengan COVID-19. “Kalau terkena [COVID-19], kalian akan merasa lebih baik,” Trump pernah berkata kepada pendukungnya dalam kampanye di Michigan. Di North Carolina, Trump mengeluhkan siaran TV yang terus-menerus memberitakan COVID-19, padahal ia yakin bahwa virus tersebut akan lenyap setelah hari pemilu.

Sejak Trump sembuh Oktober kemarin, jumlah kematian akibat COVID-19 di Amerika masih menunjukkan tren kenaikan, Kini, AS tetap memimpin di dunia dengan 17, 5 juta kasus infeksi dan sedikitnya 313 ribu kematian.

Baca juga artikel terkait COVID-19 atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf