Menuju konten utama
Antropologi

Macam Dimensi yang Mengganggu Proses Integrasi Masyarakat Indonesia

Macam dimensi yang mengganggu proses integrasi masyarakat Indonesia: dimensi horizontal dan dimensi vertikal.

Macam Dimensi yang Mengganggu Proses Integrasi Masyarakat Indonesia
Sejumlah paguyuban yang tergabung dalam Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) mengikuti pawai keberagaman budaya dan deklarasi damai di Taman Tugu Soekarno, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (14/10/2020). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/foc.

tirto.id - Di dalam struktural sosial masyarakat Indonesia, terdapat dua dimensi sosial yang umum yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal.

Sayangnya, selain memperkaya khazanah kehidupan keberagaman, dua dimensi ini juga berpotensi mengganggu proses integrasi atau persatuan masyarakat Indonesia.

Berikut penjelasan tentang struktur sosial masyarakat di Indonesia yang merupakan negara terbesar keempat di dunia dengan kondisi masyarakat paling plural.

Dari sisi geografis, Indonesia memiliki sekira 17 ribu pulau dari 3.000 mil wilayah yang terbentang dari timur ke barat, serta 1.000 mil utara ke selatan.

Struktur sosial masyarakat

Indonesia dengan kemajemukan suku bangsa, yang masing-masing suku bangsa punya sifat, bahasa, kepribadian, perilaku dan budaya berbeda adalah hal yang patut disyukuri sekaligus diwaspadai.

Adanya rasa solidaritas dan kebanggaan (primordialisme) kelompok yang kuat, mungkin sekali memicu konflik saat ada gesekan antarsuku yang berbeda.

Mengutip dari Khazanah Antropologi untuk SMA dan MA terbitan Depdiknas, perbedaan lain yang bisa menghalangi terjadinya integrasi atau persatuan antar masyarakat Indonesia yang majemuk adalah jenis dimensi sosial yang terdapat di Indonesia.

Dimensi sosial itu ada dua yakni dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Berikut penjelasannya:

1. Dimensi Horizontal Masyarakat Indonesia

Keterkaitan etnik, keluarga, bahasa, agama, dan rasial adalah dimensi horizontal yang dimaksud. Namun, masalah ini di Indonesia tidak seberat yang dialami oleh Malaysia.

Di Malaysia, etnik yang ada sangat tajam perbedaannya karena banyak etnik Cina, India, Arab yang membentuk kelompok dalam jumlah besar dan membawa budaya dan bahasanya sementara suku melayu sendiri tidak mempermasalahkan.

Di Indonesia, etnik negara lain juga ada namun jumlahnya masih minoritas. Perbedaan antar etnik di Indonesia pun tak terlalu menojol sebab ada bahasa persatuan yang menyatukan yakni bahasa Indonesia.

Sisa-sisa warisan penjajah Belanda yang membuat masyarakat Indonesia masih sering terpecah belah adalah adanya batas-batas provinsi dan kabupaten. Batasan ini kerap diidentikkan oleh masyarakat sebagai batas kesukuan.

Misalnya Bali dan Lombok, dengan perbedaan agama mayoritas dan adat budaya. Demikian pula Aceh dan Sumatera Utara, yakni Aceh dengan mayoritas Islam dan Sumatera Utara dengan mayoritas Kristen.

Sedikit konflik saja maka muncul sentimen primordial kedaerahan atau solidaritas kesukuan yang tinggi. Hal itu disengaja oleh penjajah agar integrasi atau persatuan menjadi lebih sulit.

2. Dimensi Vertikal Masyarakat Indonesia

Perbedaan kesenjangan politik, ekonomi, budaya antara perkotaan dan pedesaan, pendidikan dan tidak berpendidikan, elite nasional dan kaum tradisional, kaya miskin adalah perbedaan dimensi vertikal masyarakat Indonesia.

Gaya hidup di kota, kaum elite politik, kaum berpendidikan dan kaya biasanya lebih modern dan menganut budaya metropolitan.

Di sisi lain penduduk desa dan bertani, menganut budaya tradisional dan menjalankan praktik hidup tradisi turun temurun dari daerah masing-masing.

Dari sisi dimensi vertikal, potensi timbulnya perbedaan sosial yang tajam tidak terlalu mengkhawatirkan untuk proses integrasi.

Faktor penghambat integrasi nasional masyarakat Indonesia

Potensi penghambat integrasi masyarakat sebenarnya bisa muncul di negara mana saja, namun dengan kondisi Indonesia yang sangat majemuk, maka kemungkinan terjadi di Indonesia besar.

David Lockwood menyebutkan, konsensus (kesepakatan) dan konflik adalah seperti dua sisi mata uang. Keduanya melekat secara bersama-sama di dalam masyarakat.

Sejarah mencatat sejak kemerdekaan Indonesia, telah beberapa kali terjadi gerakan separatis yang merongrong persatuan bangsa.

Berbagai gerakan separatis tersebut masih membayangi ketahanan nasional Indonesia dan mengancam integrasi.

Clifford Geertz memaparkan hal senada, bahwa apabila bangsa Indonesia tidak mampu mengelola keanekaragaman etnik, budaya, dan solidaritas etnik maka Indonesia akan terpecah menjadi negara-negara kecil.

Namun, sikap dan pernyataan dari Koentjaraningrat lebih menyejukkan dengan mengatakan bahwa Indonesia bersama 656 suku bangsa di berbagai daerah adalah keanekaragaman.

Juga suku bangsa, bahasa, adat istiadat, sistem kepercayaan, organisasi sosial, dan perilaku budaya yang berbeda-beda itu merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dilestarikan.

Baca juga artikel terkait PROSES INTEGRASI atau tulisan lainnya dari Cicik Novita

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Cicik Novita
Penulis: Cicik Novita
Editor: Dhita Koesno