Menuju konten utama
Hartono

Hartono

Wakil Komandan Batalyon Corps Marinier I di Tegal (1945 - 1949)

Tempat & Tanggal Lahir

Solo, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, 1 Oktober 1927

Karir

  • Duta Besar Departemen Luar Negeri KBRI di Korea Utara (1968 - 1971)
  • Pelatih Badan Keamanan Rakyat (Laut)/ Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Tegal (1945 - 1945)
  • Panglima KKO Korps Komando (KKO) (1961 - 1968)
  • Perwira Pasukan Korps Komando (KKO) (1949 - 1961)
  • Wakil Komandan Batalyon Corps Marinier I di Tegal (1945 - 1949)

Pendidikan

  • Sekolah Pelayaran (1943 - 1945)
  • MULO (SMP) (1940 - 1942)
  • HIS (SD 7 tahun) (1933 - 1940)

Detail Tokoh

Hartono adalah salah satu pendiri dari Korps Komando (KKO) atau Korps Marinir Angkatan Laut. Dia adalah Panglima KKO (1961-1968). Di masa Hartono menjadi Panglima, KKO tumbuh sebagai kesatuan yang kuat dan ditakuti di masa pemerintah Presiden Soekarno. Hartono dikenal loyal kepada Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Ir Soekarno. Ucapan terkenalnya adalah “Hitam kata Bung Karno, Hitam kata KKO; Putih Kata Bung Karno, putih kata KKO.”

Ketika Revolusi Indonesia berkecamuk, Hartono lulus dari Sekolah Pelayaran di Tegal—yang diangkat sebagai instruktur. Hartono hampir berusia 18 tahun ketika Indonesia Merdeka.  Sebelum masuk sekolah Pelayaran Tegal, Hartono lulus SD berbahasa Belanda Hollandsche Inlandsche School (HIS), setelah itu dia pernah belajar di MULO sebentar, lalu ke Sekolah Pelayaran jaman pendudukan Jepang. Sekitar September 1945, bersama kawan-kawannya di Sekolah Pelayaran Tegal, Hartono ikut mendirikan Badan Keamanan Rakjat Laoet (BKR Laut). Tak lama BKR laut berubah nama menjadi ALRI. Dan Tegal adalah Pangkalan IV ALRI. Bersama kawan-kawan di sekolah pelayaran: Mukijat; Chrismoy; Imam Sjafei, Jatidjan; Suwadji; Sudiarso; Suroto; Moch. Junus, Hartono ikut terlibat dalam menduduki gedung sekolah pelayaran dan galangan kapal di Tegal.Seperti pemuda lain, Hartono pun terseret arus revolusi Indonesia. Kebanyakan pemuda Indonesia akan pilih angkat senjata membela RI di tahun 1945. Nama Hartono tercatat sebagai Letnan ALRI dalam Corps Marinier (CM) di Pangkalan IV ALRI Tegal pada tanggal 15 November 1945. Jabatannya adalah wakil komandan Batalyon CM I Tegal.
Hartono pernah juga menjadi komandan Batalyon 2 dengan pangkat Letnan Satu yang berkedudukan di Pasar Sore, Tegal. Selain bertugas di daerah Tegal, Hartono juga pernah bertugas di Pekalongan sebagai komandan Grup B yang kemudian digantikan Kapten Mukijat. Kepangkatan sering berubah. Sering turun naik mengikuti peraturan pemerintah yang tak mampu menggaji tentara yang jumlahnya banyak.
Suatu pagi Hartono ikut terjebak di Kalibakung. Dia sedang berada di rumah sakit darurat yang dibangun dr. Murad Kalibakung ketika Belanda sedang menyerang tempat itu. Bersama Letnan Purnomo, Letnan Hartono disuruh Dokter Murod berbaring dan diselimuti hingga mirip pasien. Senjata mereka berdua disembunyikan dibawah tempat tidur.
Atas keterlibatan dalam revolusi Indonesia: Perang Kemerdekaan I dan II, Hartono mendapatkan Satyalencana Kemerdekaan I dan II. Selain terlibat dalam perang kemerdekaan, Hartono juga ikut diterjunkan dalam pembersihan sisa-sisa gerakan Madiun 1948. Atas jasa itu pemerintah memberinya Satyalencana GOM I. Konon, pengaruh peristiwa Madiun pun sampai Jawa Tengah. Ada pengikut gerakan kiri di kalangan milisi bersenjata. Hartono ikut serta juga melawan pasukan DI/TII Jawa Barat yang dipimpin Kartosuwiryo. Dia mendapat Satyalencana GOM V untuk itu. Sebagai penerima satyalencana GOM VII, Hartono pernah dikirim melawan DI/TII di Aceh. Atas pengabdiannya di KKO dia pernah mendapat Satyalencana Yudhatama KKO AL kelas I.
Akhir tahun 1950an, tak lama setelah operasi penumpasan PRRI/Permesta yang melibatkan banyak angkatan, Hartono ditempatkan di Surabaya. Surabaya salah satu pangkalan Marinir terbesar di Indonesia, selain Jakarta. Tak hanya Marinir, melainkan juga Angkatan Laut. Banyak instalasi dan satuan-satuan Angkatan laut di Surabaya.
Ketika itu pangkat Hartono masih Kapten. Pangkat ini biasanya memimpin sebuah kompi. Di masa lalu, seorang Kapten senior ada juga yang memimpin Batalyon. Jumlah Marinir tak sebanyak setelah tahun 1960an atau sebelum operasi Trikora. KKO lebih banyak dikerahkan dalam operasi Amphibi atau raid untuk menghalau pemberontakan yang marak di tahun 1950an.
Hartono ditempatkan di Surabaya dengan pangkat Kapten pada 1958. Kemungkinan besar, dia bukan Kapten yang baru diangkat, namun sudah beberapa tahun dengan pangkat itu. Setelah 1958 pangkatnya naik lagi. Mulai dari Mayor ke Letnan Kolonel, dari Letnan Kolonel ke Kolonel. Tak banyak catatan tentang kiprah Hartono sebelum dia menjadi Panglima tertinggi KKO.
Setelah kisruh di Angkatan Laut, Ali Sadikin dan Yos Sudarso diskors sementara. KKO akhirnya mengalami pergantian pimpinan. Saat Hari Ulang Tahun KKO ke-16, pada 15 November 1961. Usia Hartono ketika dilantik baru 34 tahun. Sebelum 1965, kebanyakan posisi tinggi diisi oleh orang-orang muda karena tidak ada lagi orang yang lebih senior di zaman itu.
Hartono diangkat menjadi Panglima KKO. Masa-masa itu bukan masa tenang bagi Hartono. Selain pergolakan daerah yang masih tersisa, ada masalah besar yang mengharuskan KKO menjadi besar: perebutan Irian Barat. Butuh banyak pasukan pendarat (KKO) untuk merebut Papua. Jumlah pasukan diperbesar dan peralatan tempur juga ditambah. Hingga akhirnya KKO menjadi kuat di zamannya. Masa-masa Hartono menjadi panglima KKO adalah masa-masa genting dan penting dalam sejarah Indonesia. Konfrontasi Trikora ke Papua, Konfrontasi Dwikora menentang Malaysia dan G 30 S.
Tanggal 28 Desember 1963, Hartono berangkat ke Uni Sovyet dalam rangka tugas belajar selama 10 bulan. Sementara itu, tugas harian panglima dimandatkan kepada pejabat panglima KKO sementara ditunjuk Kolonel Herman Budoyo. Keberangkatan Hartono diantar oleh Laksamana Martadinata dan Ali Sadikin. Sebelum ditunjuk sebagai panglima, posisi Herman Budoyo adalah Kepala Staf KKO.50 Hartono baru kembali ke Indonesia pada Desember 1964. Namun serah terima atau pengembalian posisi panglima dari Herman Budiyo kepada Hartono terjadi pada 5 Januari 1965.
Di masa-masa genting selama konfrontasi Dwikora, Hartono waspada pada bahaya pasukan asing yang sudah berada di sekitar Malaysia dan Singapura. Selaku panglima KKO yang setia pada Presiden Republik Indonesia, dalam perintahnya pada prajurit-prajurit KKO, Hartono berucap: “apapun yang terjadi KKO akan tetap berdiri di belakang Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, dan tetap loyal terhadap segala keputusan-keputusan yang telah diambil beliau.”
Masa-masa Hartono menjadi Panglima itu adalah masa-masa dimana Sukarno “memanjakan” Angkatan Laut dan Udara dengan memberikan peralatan-peralatan militer. KKO mendapat banyak kendaraan pendarat lapis baja buatan Negara-negara Blok Timur. Senjata KKO adalah AK-47 yang dirancang Uni Sovyet dan diproduksi oleh beberapa negara komunis.
Tanggal 2 Oktober 1965, Angkatan Laut mengeluarkan pernyataan resmi bahwa Angkatan Laut tidak menyetujui dan tidak membenarkan Gerakan 30 September, juga Menteri/Panglima Angkatan Laut beserta Panglima KKO tidak tahu menahu, apalagi terlibat, dalam G 30 S.61
Pada 3 Oktober, ketika akan mengangkat Jenazah korban G 30 S, Hartono yang sedang di rumahnya di Menteng didatangi Kapten Zeni Sukendar dan Letnan Mispam Sutanto, yang ingin meminjam alat selam. Selaku Panglima KKO dengan pangkat Brigjen, Hartono mengizinkan alat selam KKO dipinjam oleh Kostrad, padahal surat peminjaman resmi dari Kostrad belum ada. Dengan izin Hartono, alat selam yang ada di KRI Multatuli bisa dibawa.
Dalam perintahnya kepada prajurit KKO pada Hari Ulang Tahun KKO ke XXII, Hartono memerintahkan untuk meningkatkan kewaspadaan di setiap sleg orde KKO AL di seluruh Indonesia untuk tidak terjebak pada intrik-intrik dan adu domba yang dilancarkan sisa G 30 S.
KKO adalah salah satu pendukung Sukarno melalui panglimanya, Hartono belum G 30 S—bukan berarti kedekatan ini adalah indikasi keterlibatan Hartono dan KKO dalam G 30 S. Ucapan Hartono yang paling diingat Suharto dan cukup menakutkan adalah “Hitam kata Bung Karno, Hitam kata KKO; Putih Kata Bung Karno, putih kata KKO.”
Hartono terus menjadi panglima tertinggi KKO. Pada 27 November 1966, Hartono ditunjuk sebagai Menteri/Deputi Panglima Angkatan Laut, namun masih merangkap Panglima KKO. Sebagai deputi Menteri Angkatan Laut, Hartono menerima Bintang Jalasena kelas II.
Pada 8 November 1968, Hartono diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Korea Utara. Pangkatnya naik menjadi Letnan Jenderal. Hartono meninggal pada 7 Januari 1971 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Mengenai kematiannya, yang menurut pemerintah karena bunuh diri, masih penuhi dengan pertanyaan.

Tokoh Lainnya

Sandiaga Salahuddin Uno

Sandiaga Salahuddin Uno

Menteri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Prabowo Subianto Djojohadikusumo

Prabowo Subianto Djojohadikusumo

Menteri Kementerian Pertahanan
Joko Widodo

Joko Widodo

Presiden RI
Erick Thohir

Erick Thohir

Menteri Kementrian BUMN
Bambang Soesatyo

Bambang Soesatyo

Anggota Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar
Zulkifli Hasan

Zulkifli Hasan

Ketua MPR RI
Ganjar Pranowo

Ganjar Pranowo

Gubernur Provinsi Jawa Tengah
Budi Karya Sumadi

Budi Karya Sumadi

Menteri Perhubungan
Hidayat Nur Wahid

Hidayat Nur Wahid

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
Agus Harimurti Yudhoyono

Agus Harimurti Yudhoyono

Staff TNI Angkatan Darat