Menuju konten utama
Danarsih Hadi Santoso

Danarsih Hadi Santoso

Pendiri / Direktrur Perusahaan Batik Danar Hadi Santoso, Solo (1950 - 2020)

Tempat & Tanggal Lahir

Solo, Kauman, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, 26 September 1946

Karir

  • Pendiri / Direktrur Perusahaan Batik Danar Hadi Santoso, Solo (1950 - 2020)

Pendidikan

  • SMP Surakarta (1959 - 1962)
  • SMA Negeri 1 Margoyudan, Solo (1962 - 1965)
  • SD Surakarta (1953 - 1959)
  • Fakultas Teknik Kimia Universitas Gajah Mada (Tidak Tamat) (1965 - 1966)
  • Fakultas Hukum Universitas Saraswati Surakarta (Tidak Tamat) (1966 - 1968)

Detail Tokoh

Di Jalan Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta, ada sebuah rumah batik berdiri sejak tahun 1983. Rumah batik ini memiliki dua lantai. Lantai satu dipergunakan untuk menjual hasil produksi sementara lantai dua disewakan kepada orang yang membutuhkan. Misalnya untuk peragaan busana atau untuk acara arisan biasa. "Untuk ibu-ibu yang mau arisan, ruangan ini boleh dipinjam, gratis lho," ujar Hadi Santoso, pemilik dan direktur Rumah Batik Danarhadi.

Ia menggratiskan ruangan itu dikarenakan komoditas penjualannya yang utama merupakan batik bukan ruangan. Di dalam ruangan lantai dua itu terdapat cermin dilapisi karet dan dilengkapi pula dengan pendingin. Di tiap pojok ruangan terdapat lampu antik yang didominasi oleh warna cokelat.

Danarhadi menerima International Award for Quality, dan International Award for Tradition and Pestige, di Madrid, Spanyol pada awal tahun 1985. Pada tahun yang sama, Danarhadi memperkenalkan lebih dari 50 corak batik koleksi terbarunya yang diproduksi massal dengan teknik sablon, cap, dan tulis.

Danarsih juga membuka pameran dan peragaan busana di gedung khusus di Solo. batik menjadi perhatian utamanya. "Saya tetap ingin mengembangkan batik halus," ujar Danarsih, yang sejak awal karir sudah mempertahankan corak batik semi-klasik. 

Bisnis batik digeluti Danarsih bersama suami sejak tahun 1967. "Sejak kecil saya sudah bergaul dengan batik," tutur Mas Tos, suami Danarsih.

Sosok ini sendiri merupakan anak yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga pengusaha batik, Hadipriyono. Danarsih sempat kuliah di fakultas kedokteran UGM, Yogyakarta. Kuliah kedokteran itu tidak diselesaikannya karena Danarsih malah lebih banyak terlibat dengan urusan bisnis keluarga.

Sekarang, produk Danarhadi, milik Danarsih dan suami sudah memiliki tiga pabrik dan sebuah toko berpusat di Solo. Danarhadi sendiri sudah memiliki pabrik mori sendiri di Karanganyar.

Dengan adanya produksi kain mori sendiri, maka stok bahan dasar pembuatan batik tidak perlu menunggu stok dari orang lain. Danarhadi sudah memiliki cabang hampir di tiap kota di Indonesia. Karyawannya sudah mencapai lebih dari 1.000 orang. Hasil produksinya diekspor ke berbagai negara pada lima benua. Keseluruhan manajemen ekspornya ditangani oleh Danarsih sendiri.

Penggemar nasi liwet, wedang kacang dan gudeg ini dianggap sebagai Kartini modern..

Dia mengaku tak mengira bisnisnya akan sebesar ini hingga memiliki ribuan karyawan. Dan pabrik pengolahan batik dari hulu hingga hilir.

"Danarhadi berdiri tahun 1967. Saya bersama dengan setia dan penuh cinta menekuni batik. Meski kami berada pada kondisi di ‘bawah’, tapi saya yakin ini jalan hidup saya. Saya begitu mencintai batik," ucapnya.

Untuk membangun usaha batik sampai sebesar ini tentu saja Danarsih melewati banyak rintangan. Ketika mulai membuka toko di Jakarta tahun 1975, Danarsih menggandeng Fashion Consultant. Orang-orang yang dihubunginya itu ialah Harry Darsono dan Prayudi.

Selanjutnya, keberhasilan membuka toko di Jakarta membuatnya percaya diri untuk membuka gerai-gerai batik Danarhadi di Bandung, Medan, Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang.

Perluasan bisnisnya sampai ke arah hulu dilengkapi pula dengan pemintalan benang sendiri. Ia mendirikan PT Kusuma Putra Santosa pada tahun 1988 dan menyusul kemudian PT Kusuma Putri tahun 1989 untuk mengurusi usaha di bagian hilir, yakni khusus garmen. "Usaha perluasan industri ini sebenarnya atas dorongan dari Aburizal Bakrie yang saat itu menjabat sebagai Ketua HIPMI," ujar Danarsih.

Sebelum memiliki pabrik dari hulu hingga hilir, Danarsih dulunya bekerja dengan membantu orang tuanya menawarkan produk batik dari rumah ke rumah. Dia mengenang, kurang lebih kala itu hanya membawa sepuluh helai batik untuk ditawarkan, sedihnya hanya satu atau dua saja yang laku.

Danarsih kecil sempat patah semangat merasakan hal tersebut. Akan tetapi, kemudian ia menganggap menjual batik menjadi hobi sehingga ia menikmati kesibukannya itu. Danarsih mulai belajar mendesain batik saat masuk ke bangku sekolah menengah pertama.

Danarsih belajar mendesain bersama orang tuanya di pabrik orang tuanya sendiri. Selain mendesain sendiri, ia juga diajari cara mengemas produk dan belajar administrasi serta manajemen penjualan. “Masa kanak-kanak hingga remaja habis di ruang pembuatan batik. Saya hampir tidak mempunya waktu bermain seperti anak-anak sebaya lain. Pokoknya urusannya batik, batik, dan batik,” kenang Danarsih.

“Banyak teman kuliah yang meledek saya sebagai bakul, saya cuek saja. Lama-lama mereka malah ikut membeli. Dosen-dosen juga banyak yang pesan,” tambah Danarsih.

Danarsih terpaksa tidak menyelesaikan kuliahnya di UGM karena adanya peristiwa Gerakan 30S/PKI. Ia dipaksa pulang oleh orang tuanya karena tidak sampai hati membiarkan anaknya tinggal di Yogya sementara negara sedang dalam kondisi kacau. Akhirnya, Danarsih kembali ke Surakarta dan membantu orang tua di saat kondisi politik sedang tidak menentu.

Setelah kondisi cukup membaik, Danarsih melanjutkan kembali kuliah. Kali ini tidak kembali ke UGM, tapi di Fakultas Hukum Universitas Saraswati Surakarta. Kuliah yang kedua ini juga tak diselesaikannya.

Akhirnya dia bertemu dengan Santosa Doellah. Mereka menikah kemudian memutuskan serius memproduksi batik. Produk rintisannya di awal karir bersama suami ialah batik kreasi atas motif klasik dari keraton (Pura Mangkunagaran).

Tantangan utamanya dalam berbisnis batik ialah kemunculan batik printing sejak tahun 1980-an. Batik printing dapat diproduksi secara massal dengan proses pembuatan lebih singkat dan bahan produksi yang juga jauh lebih murah.

Hal ini menyilaukan konsumen Indonesia yang kebanyakan suka barang murah namun terlihat bagus. Tak hanya batik Danarhadi yang merasakan kerugian, pengusaha batik di seantero Surakarta seperti dari Kampung Batik Kauman dan Kampung Batik Laweyan menjadi goncang. Beberapa pengusaha sampai gulung tikar karena tak sanggung mengimbangi produksi massal batik printing teresebut, tak terkecuali Danarsih.

Ia sempat kelimpungan juga, “Saya sempat memulangakan beberapa karyawan, karena pasaran batik lokal seperti terbunuh. Tapi kami berpikir bagaimana menemukan trik mendobrak pasaran,” aku direktur Danarhadi, Danarsih.

Ia menambahkan, “Periode tahun 1980 sampai tahun 2000 adalah masa-masa sulit untuk  batik, terutama untuk usaha kelas menengah (UKM).”

Akan tetapi, Danarsih tetap bisa bertahan dengan konsekuensi memecat beberapa karyawan demi menyelamatkan biaya produksi. Di samping itu, konsumen semakin cerdas, sehingga batik tulis perlahan-lahan mulai bangkit.

Setelah lebih dari 40 tahun Danarhadi berdiri, perusahaan yang dikelola Danarsih itu menjadi salah satu perusahaan batik terbesar di Indonesia. Batik kini semakin mendunia, apalagi sejak United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO) pada bulan Oktober tahun 2009 lalu mengukuhkan batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia.

Dengan demikian, bisnis kain batik dan produksi batik lainnya semakin diperhatikan oleh dunia. “Batik itu mimpi masa kecil saya. Tidak boleh hanya dilestarikan, tetapi harus dikembangkan. Batik adalah salah satu identitas budaya bangsa ini,” kata Danarsih mengungkapkan kebahagiaannya pasca mendengar batik sudah menjadi warisan dunia oleh UNESCO.

Akan tetapi, mulai tahun 2010 ada persaingan ketat dari negara Cina. Berkat perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Cina, Cina dapat mengekspor produk batik mereka dengan bebas di Indonesia dan negara ASEAN lainnya. Melihat hal itu, Danarsih masih menanggapi dengan santai. “Yang dibawa Cina ke sini itu bukan batik, tapi tekstil. Jadi kita tidak perlu khawatir. Masyarakat kita sudah pintar, tahu membedakan mana yang batik dan mana yang sablonan,” ujar Danarsih. “Akar batik tetap dari Indonesia,” tandas Danarsih.

Tokoh Lainnya

Zulkifli Hasan

Zulkifli Hasan

Ketua MPR RI
Agus Harimurti Yudhoyono

Agus Harimurti Yudhoyono

Staff TNI Angkatan Darat
Erick Thohir

Erick Thohir

Menteri Kementrian BUMN
Budi Karya Sumadi

Budi Karya Sumadi

Menteri Perhubungan
Joko Widodo

Joko Widodo

Presiden RI
Sandiaga Salahuddin Uno

Sandiaga Salahuddin Uno

Menteri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Hidayat Nur Wahid

Hidayat Nur Wahid

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
Ganjar Pranowo

Ganjar Pranowo

Gubernur Provinsi Jawa Tengah
Prabowo Subianto Djojohadikusumo

Prabowo Subianto Djojohadikusumo

Menteri Kementerian Pertahanan
Bambang Soesatyo

Bambang Soesatyo

Anggota Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar