Menuju konten utama
Abdul Latief

Abdul Latief

Komandan Brigadie Infantri I Jaya Sakti Jakarta

Tempat & Tanggal Lahir

Surabaya, Kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia, 27 Juli 1926

Karir

  • Komandan Brigadie Infantri I Jaya Sakti Jakarta

Detail Tokoh

Kolonel Abdul Latief adalah salah satu tokoh kunci Gerakan 30 September (G30S) 1965. Komandan Brigadie Infantri I Jaya Sakti Jakarta ini bersama Letkol Untung, Sjam Kamaruzaman, Pono, dan Mayor Udara Soejono yang melakukan perencanaan sebelum G30S meletus. Latief pula yang melapor kepada Soeharto sebagai Panglima Kostrad pada malam 30 September tentang rencana penculikan tujuh jenderal Angkatan Darat itu.


Dalam wawancara dengan Dr. Greg Poulgrain, peneliti sejarah Indonesia dari Australia, pada 23 Mei 1998, Latief mengakui dirinya memang menemui Soeharto di RSPAD. Saat itu Soeharto sedang menunggui anaknya yang sakit. Latief memberitahukan Kepada Soeharto bahwa para jenderal besok pagi (1 Oktober 1965) akan dihadapkan kepada Presiden oleh resimen Cakrabirawa.


Namun Soeharto menyanggah pertemuan itu. Menurut Soeharto, sebagaimana disampaikan dalam otobiografi Soeharto—Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), dirinya melihat Latief mondar-mandir di koridor rumah sakit. Soeharto menduga Latief sedang memata-matainya. Setelah Latief pergi, Soeharto mengaku pulang ke rumahnya untuk istirahat sekitar jam 24:00—hanya sekitar 4 jam sebelum G30S terjadi.


Subuh 1 Oktober, sebagaimana diketahui, 3 jenderal dan 1 perwira dibawa ke Lubang Buaya dalam keadaan hidup, 3 lainnya sudah jadi mayat. Latief mengaku terkejut saat mendapat laporan Lettu Doel Arief bahwa ada jenderal-jenderal yang mati karena hal ini tidak sesuai dengan rencana awal. Rencana awal, jenderal-jenderal itu dibawa dan akan dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Namun pada akhirnya semua jenderal yang ditangkap dibunuh.


Pagi hari 1 Oktober melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI), Latief dan kawan-kawan mengumumkan adanya upaya kup dari Dewan Jenderal. Pada siang hari RRI mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi yang menjadi sumber dari segala sumber kekuasaan. Dalam susunan Dewan Revolusi itu Kolonel Latief disebut sebagai Wakil Komandan. Sementara Letkol Untung—yang pangkatnya lebih rendah—disebut sebagai Komandan Dewan Revolusi Nasional.


Pada 1 Oktober 1965 siang kabar buruk bertambah untuk kelompok Latief. Brigjen Soepardjo yang ditunjuk sebagai duta Dewan Revolusi membawa kabar bahwa presiden meminta untuk menghentikan gerakan. Kabar bertambah buruk lagi saat pemimpin gerakan mengetahui RRI berhasil dikuasai oleh Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD).


Sampai dengan 2 Oktober kondisi tidak bertambah menguntungkan bagi Latief dan kawan-kawan. Belakang hari ketika gerakan ini gagal Soepardjo menganalisa bahwa ketika pasukan RPKAD semakin mendekat ke pusat koordinasi G30S di Halim Perdanakusuma, para pemimpin gerakan justru berdebat tanpa ujung pangkal. Debat itu, menurut Soepardjo, tak menghasilkan keputusan apapun.


Menurut Soepardjo, tindakan Latief tidak sesuai dengan apa yang dikatakan. Rencana semula Brigif I Kodam Jaya yang dipimpin Kolonel Latief akan mendatangkan satu batalion, sekitar 600-700 personel untuk membantu gerakan. Namun faktanya jauh berbeda, Brigif hanya mengirim 60 orang.


Latief sungguh-sungguh mendukung G30S?

Sebagian personel Brigif, anak buah Latief, dalam malam penculikan itu ditugaskan menculik Letjen TNI A.Yani. Pasukan penculik Yani ini dipimpin oleh Peltu Mukidjan dari Brigif. Kekuatan pasukan penculik Jenderal Yani lebih kurang satu kompi pasukan bersenjata terdiri dari gabungan personel Brigif, Cakrabirawa dan dua regu sukwan PKI. Penculikan ini terbukti tak sesuai rencana awal, Jenderal Yani dibawa ke Lubang Buaya dalam kondisi tanpa nyawa.


“Penentuan dari peleton-peleton yang diharuskan untuk tiap-tiap sasaran, tidak dilakukan dengan teliti. Misalnya, terjadi bahwa sasaran utama mula-mula diserahkan pelaksanaannya kepada peleton dari pemuda-pemuda yang baru saja memegang bedil, kemudian diganti dengan peleton lain dari tentara, tetapi ini pun bukan pasukan yang secara mental telah dipersiapkan untuk tugas-tugas khusus,” terang Soepardjo sebagaimana ditulis oleh Jhon Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal.


Menurut Latief dirinya tidak mengetahui ada perubahan rencana soal penculikan. Mulanya mereka bersepakat bahwa jendral-jendral dibawa dalam kondisi hidup untuk dihadapkan ke Presiden. Tanpa sepengetahuan Latief, Sjam Kamaruzaman, biro khusus PKI, memerintahkan kepada Letnan Satu Doel Arief sebagai komandan pelaksana penculikan untuk membawa jenderal dalam keadaan hidup atau mati.


Setelah gerakan gagal di tengah jalan pada 2 Oktober para pemimpin gerakan menyelamatkan diri. Latief ditangkap pada hari itu juga di di rumah saudara sepupu istrinya di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Kaki Latief ditusuk dengan bayonet oleh prajurit Siliwangi yang menangkapnya. Ia kemudian dijebloskan ke dalam penjara dengan kaki luka sampai berbelatung sejak 11 Oktober 1965. Namun ia baru disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 1978, 13 tahun semenjak dirinya ditangkap. Mahmilub memvonis hukuman mati kepada Latief, tapi Soeharto memberikan grasi penjara seumur hidup.


Di penjara itulah Latief membuat pledoi dengan judul Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S. Buku ini diterbitkan pada tahun 2000, 2 tahun sejak dirinya dibebaskan oleh pemerintahan BJ Habibier pada 6 Desember 1998. Buku ini terbit berkat jasa Wilson, aktifis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dijebloskan ke penjara Salemba. Ia sering berdiskusi dengan Latief. Latief juga pernah mengaku kepada Wilson, bahwa dirinya pernah mengajukan Soeharto dan Tien Soeharto untuk menjadi saksi atas kasusnya di Mahmilub. Menurut Wilson, dalam Dunia Di Balik Jeruji: Catatan Perlawanan, pengajuan Latief itu ditolak.


Latief mengakui bahwa dua hari sebelum peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, dirinya bersama keluarga mengunjungi rumah Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Di samping acara kekeluargaan Latief juga bermaksud menanyakan kejelasan informasi tentang Dewan Jendral, sekaligus malapor kepada Soeharto.


Victor M. Fic penulis Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi menilai, Latief tidak memberikan bukti-bukti baru yang lebih terperinci soal pertemuannya dengan Soeharto sebelum G30S meletus. Bahkan sampai dengan Kolonel Abdul Latief meninggal pada Rabu 6 April 2005, misteri pertemuan dan pembicaraan di antara keduanya belum jelas.

Tokoh Lainnya

Agus Harimurti Yudhoyono

Agus Harimurti Yudhoyono

Staff TNI Angkatan Darat
Erick Thohir

Erick Thohir

Menteri Kementrian BUMN
Bambang Soesatyo

Bambang Soesatyo

Anggota Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar
Budi Karya Sumadi

Budi Karya Sumadi

Menteri Perhubungan
Hidayat Nur Wahid

Hidayat Nur Wahid

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
Zulkifli Hasan

Zulkifli Hasan

Ketua MPR RI
Joko Widodo

Joko Widodo

Presiden RI
Ganjar Pranowo

Ganjar Pranowo

Gubernur Provinsi Jawa Tengah
Prabowo Subianto Djojohadikusumo

Prabowo Subianto Djojohadikusumo

Menteri Kementerian Pertahanan
Sandiaga Salahuddin Uno

Sandiaga Salahuddin Uno

Menteri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif