Menuju konten utama
Pilpres Brasil

Lula dan Kegagalan Political Comeback Politikus Amerika Latin

Dalam sejarah Amerika Latin, banyak orang lama yang gagal ketika memulai pemerintahan baru. Apakah Lula da Silva akan menambah panjang daftarnya?

Lula dan Kegagalan Political Comeback Politikus Amerika Latin
Mantan presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva mengangkat tangannya saat ia menghadiri sebuah protes terhadap keputusan bersalah atas tuduhan korupsi di Sao Paulo, Brazil, Kamis (20/7). ANTARA FOTO/REUTERS/Paulo Whitaker

tirto.id - Artikel sebelumnya di tautan berikut: Lula Vs Bolsonaro, Kiri Vs Kanan, Siapa Bakal Menang?

Pilpres putaran kedua Brasil yang akan diselenggarakan pada 30 Oktober nanti akan mempertemukan dua kandidat dari spektrum politik yang berlawanan. Luiz Inácio Lula da Silva—atau populer dipanggil Lula—dari spektrum kiri, dan Jair Bolsonaro, petahana berideologi kanan.

Di Indonesia, umumnya petahana punya kans menang lebih besar, tapi tidak di Brasil. Survei menunjukkan dukungan untuk Lula lebih tinggi. Kandidat yang gugur di putaran pertama pun menyatakan mendukungnya.

Ada anggapan bahwa mengapa orang mendukung Lula karena publik sudah gerah dengan situasi krisis berlarut sekaligus masih terkenang atau bernostalgia tentang kejayaan masa lampau. Lula jelas mewakili masa itu. Dia adalah mantan presiden (periode 2003-2010) yang membawa banyak perubahan.

Salah satu keberhasilan Lula adalah kemajuan ekonomi pesat. Sekitar 30 juta warga diangkat dari jurang kemiskinan. Layanan kesehatan dan akses pendidikan anak juga meningkat.

Atas dasar ini semua, tidak heran jika ia mengakhiri masa jabatan dengan apik. Survei menyebut 80 persen responden puas terhadap kinerja administrasi pemerintah. Sementara popularitas Lula sendiri menembus 87 persen.

Ini adalah gejala “Nekrofilia ideologis”, kata intelektual asal Venezuela, Moisés Naím. Publik lebih tertarik pada ide-ide atau visi kemakmuran yang cenderung sudah usang dari wajah-wajah familier, alih-alih figur baru dan kebijakan lebih segar atau berorientasi ke masa depan.

Selain itu, masalah lain adalah tidak semua political comeback berakhir baik. Di Amerika Latin justru banyak contoh sebaliknya. Menurut Brian Winter dalam artikel di Foreign Affairs, contohnya adalah Juan Perón, presiden tiga periode Argentina.

Selama berkuasa dua periode berturut-turut pada 1946-1955, Perón berhasil memajukan ekonomi dengan menggenjot ekspor ke pasar dunia yang baru saja pulih dari kemelut perang. Industrialisasi di dalam negeri—dari proyek pembangkit listrik tenaga air sampai pembuatan mobil dan konstruksi kapal—turut digencarkan.

Seiring itu kesejahteraan kelas pekerja kian terjamin. Asuransi kesehatan dan cuti liburnya layak. Perempuan juga memiliki hak pilih sampai cuti melahirkan.

Perón kelak dilengserkan lewat kudeta militer dan jadi eksil di Spanyol. Nyaris dua dekade kemudian, pada 1973, ia dipanggil pulang untuk nyapres lagi. Hasilnya, bisa diduga, ia menang telak.

Kala itu, Argentina tengah digoyang krisis di tengah situasi ekonomi global yang bergejolak, dari embargo minyak Arab sampai inflasi global.

Kewalahan mengikuti dinamika ekonomi dan politik yang begitu cepat, Perón hanya sanggup berkuasa selama sembilan bulan sampai serangan jantung merenggut nyawanya di usia 78.

Tak berapa lama kemudian, Argentina terjerembap dalam drama kekerasan politik dan kediktatoran militer, diikuti dengan serangkaian krisis ekonomi, gagal bayar utang, dan inflasi tinggi yang berlangsung sampai sekarang.

Contoh lain politikus populer yang kembali berkuasa adalah Presiden Venezuela Carlos Andrés Pérez. Di bawah pemerintahannya selama 1974-1979, rakyat hidup makmur berkat pendapatan besar dari ekspor minyak mentah. Saking populernya era Pérez, Venezuela sampai dapat julukan “Venezuela Saudi”.

Ketika Pérez kembali menjabat pada 1989-1993, tantangan ekonomi yang dihadapinya jauh lebih kompleks. Setelah sekian tahun menghadapi protes massa dan lolos dari dua kali percobaan kudeta, Pérez akhirnya dimakzulkan karena kasus penggelapan uang—lalu dipenjara.

Kasus-kasus yang mirip, meskipun tidak sedramatis Perón dan Pérez, juga bisa ditemui baru-baru ini, misalnya di Cile. Presiden yang berasal dari kubu politik kiri Michelle Bachelet (2006-2010) dan dari kubu kanan Sebastián Piñera (2010-2014) sempat menjabat lagi untuk kedua kali namun gagal mendulang kesuksesan yang sama seperti pada periode pertama.

Ada pula contoh yang sedikit berbeda dari Álvaro Uribe. Seperti Lula, Presiden Kolombia era 2002-2010 ini menyelesaikan masa jabatannya dengan tingkat kepuasan publik yang sangat tinggi. Bedanya dari Lula, Uribe tidak mencalonkan diri lagi dalam pilpres untuk periode ketiga, melainkan mendidik politikus-politikus lain agar jadi penerusnya.

Sayangnya upaya Uribe tidak berbuah manis. Salah satu anak didiknya yang jadi presiden 2018-2022, Iván Duque, jadi bulan-bulanan massa: dikenang sebagai presiden paling tidak disukai dan paling tidak populer dalam sejarah Kolombia.

Infografik Mozaik Politik Amerika Latin

Infografik Mozaik Politik Amerika Latin. tirto.id/Tino

Mungkinkah Lula mengalami nasib yang mirip dengan sederet politikus pendahulu yang berusaha kembali ke panggung politik setelah “berpuasa” sekian lama?

Tentu saja hal ini hanya dapat terjawab seiring waktu, itu pun kalau Lula benar-benar kembali ke singgasana.

Tidak ada hal yang benar-benar pasti dalam politik, bahkan pendukung Lula menyadari itu.

“Ada risiko tinggi rakyat Brasil akan memenangkan lagi pemerintahan fasis Bolsonaro. Bersatunya kekuatan progresif untuk melawan kejahatan memang suatu momen yang historis, tapi segalanya bisa terjadi,” ujar Douglas Belchior dari Black Rights Coalition, salah satu pendukung Lula, kepada Al Jazeera awal Mei lalu.

(Bersambung...)

Baca juga artikel terkait LULA DA SILVA atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino