Menuju konten utama

LPDP Veronica Koman: Ditebus Bangsa Papua, Diiringi Represi Negara

Rakyat Papua mengumpulkan uang sukarela (ebamukai) untuk menebus hukuman finansial Veronica Koman senilai Rp773 juta.

Veronica Koman. facebook/Veronica koman

tirto.id - Rakyat Papua berhasil mengumpulkan uang untuk menebus sanksi finansial yang dijatuhkan oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) kepada Veronica Koman, aktivitas pembela kasus hak asasi manusia (HAM). Rencananya, uang itu dikembalikan hari ini (16/9/2020) oleh Tim Solidaritas Ebamukai ke Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta.

Mereka memastikan kedatangan ke Kemenkeu bukanlah demonstrasi. Yang datang hanya sedikit, mengenakan pakaian adat, juga mematuhi protokol COVID-19.

Perwakilan Tim Solidaritas Ebamukai untuk Veronica Koman, Ambrosius Mulait, mengatakan mereka melakukan ini karena selama ini Vero telah membela rakyat Papua. Vero membela baik lewat advokasi langsung atau di media sosial.

Ebamukai adalah cara mengumpulkan uang secara kolektif. Solidaritas ini meluas sejak Agustus lewat seruan koalisi PapuaItuKita. Posko-posko penggalangan dana didirikan. Relawan membentangkan spanduk bertuliskan 'Veronica Koman, malaikat penyelamat bangsa Papua' hingga 'Rakyat Papua bersama Veronica Koman'.

Warga bebas memberi berapa saja. Yang terkumpul juga beragam. Salah satu posko di Nabire, misalnya, mengumpulkan Rp4,2 juta.

Tak jarang relawan direpresi saat mengumpulkan dana. Pada 19 Agustus lalu, misalnya, polisi membubarkan penggalangan dana di Abepura, Jayapura. Ketika itu tak ada yang dilanggar. Mereka juga hanya bawa spanduk dan kardus.

Vero mengaku “sangat terharu” dengan aksi ini. “Awalnya sempat down akibat persekusi tanpa henti yang mengganggu kerja advokasi. Tapi persekusi yang ini (disanksi mengembalikan uang beasiswa) justru jadi kesempatan saya melihat ternyata kerja saya selama ini dihargai,” katanya kepada reporter Tirto, Selasa (15/9/2020) kemarin.

“Ini menjadi petunjuk jalan bagi saya, di tengah lautan cercaan sebagai pengkhianat, ternyata jalan saya sudah benar di mata kebanyakan rakyat Papua.”

Sanksi Finansial LPDP

Masalah bertubi-tubi menjeratnya setelah peristiwa penyerangan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya Jawa Timur pada Agustus 2019. Ketika itu ia bersuara lantang di media sosial. Penyerangan ini sendiri jadi pemicu demonstrasi besar-besaran di Papua dan daerah lain.

Polda Jawa Timur menetapkannya sebagai tersangka hoaks. Cuitannya dinilai bermuatan hasutan dan provokasi. Polisi menggunakan UU ITE, KUHP pasal 160 KUHP, UU Nomor 1 Tahun 1946, dan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Vero mendapat dukungan dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights). PBB meminta pemerintah Indonesia membebaskan Vero dari segala tuduhan pada 16 September 2019.

Kendati demikian, proses hukum tetap berjalan dan kini Vero masuk daftar pencarian orang (DPO).

Ia juga disanksi secara 'sosial'. Menkopolhukam Mahfud MD menyebut Vero anti-Indoenesia dan terus menjelek-jelekkan pemerintah.

Mahfud adalah pejabat negara yang kali pertama mengungkit beasiswa LPDP Vero. Kata Mahfud, “dia bersekolah, mendapat beasiswa dari Indonesia, dan tidak kembali. Artinya dia secara hukum dia punya utang terhadap Indonesia meskipun bentuknya beasiswa. Dia punya kontrak di sini.”

Vero menerima beasiswa LPDP untuk kuliah di​ Master of Laws ​di ​Australian National University​ pada 2016 dan lulus pada Oktober 2018.

Setelah itulah sanksi finansial dijatuhkan. LPDP menerbitkan surat sanksi pengembalian beasiswa pada 22 Oktober 2019, diikuti surat penagihan sebulan kemudian. LPDP mengatakan Vero menyalahi kontrak, yaitu sudah lulus tapi tak pulang ke Indonesia. Ia juga dianggap tidak mengabdi selama lima tahun.

Sanksinya mengembalikan seluruh duit beasiswa, yang jumlahnya Rp773.876.918. Disepakati pengembalian sebanyak 12 kali. Vero telah membayar sebagian pada April 2020 sebesar Rp64,5 juta.

Vero sempat membantah tudingan mengabaikan kewajiban mengabdi. Dalam pernyataan tertulisnya, ia mengatakan kembali ke Indonesia pada September 2018 setelah menyelesaikan studi. Pada Oktober, ia mengabdi di Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia untuk Papua (PAHAM Papua) yang berbasis di Jayapura.

Ia kemudian ke Swiss untuk melakukan advokasi Papua di PBB pada Maret 2019 dan kembali ke Indonesia setelahnya.

Keengganan Vero balik Indonesia saat ini karena keselamatannya terancam. Kini ia menetap di Australia.

-->