Menuju konten utama

Lonjakan Harga Minyak Dunia Bisa Picu Inflasi sampai Defisit APBN

Ada bahaya di balik ancaman naiknya harga minyak dunia yaitu adanya kenaikan inflasi cukup tinggi di dalam negeri imbas harga BBM naik cukup tinggi.

Lonjakan Harga Minyak Dunia Bisa Picu Inflasi sampai Defisit APBN
Petugas mengisi BBM ke kendaraan konsumen di SPBU 24.361.77 Mayang Mangurai, Kota Baru, Jambi, Kamis (14/4/2022). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/YU

tirto.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan ada skenario terburuk jika harga minyak dunia tembus 200 dolar AS per barel. Ia mengatakan jika skenario terburuk harga minyak dunia itu terjadi, anggaran subsidi untuk energi bakal akan membengkak dua kali lipat dibandingkan saat ini yang sudah mencapai Rp520 triliun.

Artinya, subsidi energi bisa kian membesar hingga tembus Rp1.040 triliun. Adapun subsidi energi saat ini menggunakan asumsi harga minyak mentah dunia kisaran 100 dolar AS per barel.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjelaskan, ada bahaya di balik ancaman naiknya harga minyak dunia yaitu adanya kenaikan inflasi yang cukup tinggi di dalam negeri imbas harga BBM yang akan naik cukup tinggi.

“Itu akan mempengaruhi inflasi apalagi yang tadinya disubsidi di tahap awal itu pasti sangat berpengaruh. Kemudian produk impor juga akan berpengaruh ya. Saya kira memang mau tidak mau akan ada penyesuaian harga,” jelas dia kepada Tirto, Kamis (28/7/2022).

Ia menjelaskan, jika harga minyak dunia akan menembus angka 200 dolar AS per barel APBN nantinya tidak mampu untuk menutup lonjakan tersebut. Langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan penyesuaian harga secara bertahap. Selain itu pemerintah perlu mencari peluang lain dari eksplorasi sumber BBM baru.

“Apakah bisa memperbaiki sumur tua kemudian ada juga untuk eksplorasi di sektor hulu. Ini yang masih kurang arena ini investasi di hulu, paling rendah dibandingkan sektor hilir ya. Kemudian membuat BBM subsidi tepat sasaran, kalau gak diantisipasi keuangan Pertamina akan semakin negatif ya. Ke depan takutnya Pertamina tidak bisa memberikan keutungan kepada negara, malah menjadi persoalan serius karena keuangannya negatif,” kata dia.

Ia mengingatkan agar pemerintah harus memberikan ketegasan dan lebih transparan agar tidak menanggung gejolak harga demi alasan politis dan mengorbankan APBN.

“Intinya masyarakat jangan dibuai dengan subsidi besar tapi riilnya jauh dari itu, karena harganya kan jadi tidak keekonomian. Nanti pada saat mulai penyesuaian kenaikan harga mayarakat bisa kaget ya kenapa kenaikannya bisa besar ya. Makanya harus bertahap,” jelas dia.

Hal senada juga dikatakan Direktur Center Of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, jika fluktuasi harga minyak dunia ditahan guncangannya oleh negara hal tersebut akan membahayakan Pertamina, konsumen sampai PLN.

“Ini akan membahayakan Pertamina, konsumen, PLN. Sebaikya ada antisipasi lain misalnya ada realokasi anggaran yang harus dilakukan secara ekstrim kemarin sudah ada beberapa anggaran dari kementerian yang disisihkan. Pengadaan barang yang kemudian harus ditunda, pemangkasan gaji ASN, perjalanan dinas kembali dipangkas ya. Belanja belanja rutin dipangkas, infrastrutur harus dikorbankan. Megaproyek ini harus dikorbankan,” jelas dia kepada Tirto, Kamis (28/7/2022).

Ia menyarankan, proyek-proyek infrastruktur harus dihentikan sementara untuk mengantisipasi adanya gejolak harga minyak dunia dan antisipasi krisis lain.

“Saya paling setuju kalau yang dihentikan dulu itu infrastruktur sih,” kata dia.

Sebagai informasi, pemerintah menaikkan anggaran subsidi energi mencapai Rp 520 triliun pada 2022. Sementara itu, realisasi belanja subsidi dan kompensasi energi hingga Mei 2022 sudah mencapai Rp 75,41 triliun. Realisasi Rp 75,41 triliun itu terdiri dari subsidi reguler pada bulan Mei mencapai Rp 65,24 triliun dan kurang bayar tahun sebelumnya Rp 10,17 triliun.

Subsidi dan kompensasi energi mendominasi belanja nonkementerian/lembaga dengan realisasi Rp 334,7 triliun sampai Mei 2022. Tingginya realisasi subsidi pada bulan Mei 2022 juga dipengaruhi oleh volume barang-barang bersubsidi yang meningkat. Volume BBM yang meliputi solar dan minyak tanah meningkat menjadi 5,6 juta kiloliter dari 5 juta kiloliter di tahun 2021.

Lalu, elpiji 3 kilogram meningkat menjadi 2,5 juta MT dari sekitar 2,4 juta MT. Begitu juga dengan listrik bersubsidi yang naik menjadi 38,4 juta pelanggan dari 37,4 juta pelanggan pada 2021.

Baca juga artikel terkait HARGA MINYAK DUNIA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Anggun P Situmorang