Menuju konten utama
Misbar

Lockwood & Co, Ngerinya Hantu dan Orang Dewasa

Lockwood & Co. berkisar pada aksi trio remaja penyelidik kasus supernatural. Ancaman bukan hanya datang dari hantu, tapi juga orang dewasa.

Lockwood & Co, Ngerinya Hantu dan Orang Dewasa
Poster Film Lockwood and Co. (FOTO/Netfix via IMDb)

tirto.id - Lebih dari setengah abad wabah hantu menjalar di Dataran Britania. Tak banyak yang bisa dilakukan orang-orang dewasa terhadapnya. Maka anak-anak mudalah, dengan sensitivitas mereka terhadap makhluk gaib, yang menjadi ujung tombak penumpas kengerian.

Dunia yang demikian menjadi latar serial novel Lockwood & Co. karya Jonathan Stroud. Kini, ia hadir dalam bentuk serial televisi live-action sepanjang 8 episode. Serial yang dikembangkan Joe Cornish ini ditayangkan di Netlix sejak Januari lalu.

Season pertamanya merangkum plot dari dua buku pertama novelnya, The Screaming Staircase dan The Whispering Skull. Bila berlanjut—semoga demikian, masih ada tiga judul lagi dalam seri ini yang menanti sekaligus mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di Britania modern alternatif yang ditinggali Anthony Lockwood dkk.

Untuk saat ini, yang sudah pasti disajikan ke hadapan kita ialah sederet hantu dengan bahayanya masing-masing. Para hantu (juga disebut Pengunjung) di dunia ini bisa menembakkan ektoplasma dan mampu menimbulkan dampak fisik. Mereka mematikan pastinya.

Namun, jangan lupakan makhluk yang tak kalah berbahaya: manusia dewasa.

Tajam Menyigi Perbedaan Generasi

Sebagaimana materi sumbernya, Lockwood & Co. memberi porsi utama kepada Lucy Carlyle (Ruby Stokes), remaja perempuan berbakat dengan daya sentuh dan pendengaran psikis tajam. Dia bisa mendengar gema dari masa lalu dan seiring berjalannya cerita bakal menemukan keistimewaannya lebih lanjut.

Lucy bergabung dengan agensi investigasi psikis independen Lockwood & Co. pimpinan Anthony Lockwood (diperankan Cameron Chapman dalam debut aktingnya), pemburu hantu yang antusias yang ahli memainkan pedang dengan penglihatan psikis yang tajam. Bakat besar dan gairah membuktikan diri keduanya kerap diiringi dengan polah sembrono di garis depan pemberantasan hantu. Kerap luput akan riset dan persiapan, maka hadirlah George Karim (Ali Hadji-Heshmati), periset ulung dengan kerja-kerja balik layarnya yang krusial.

Di dunia alternatif ini, peralatan berbahan besi, perak, dan garam adalah pertahanan terbaik terhadap hantu. Berbagai peranti pengusir hantu hadir dalam wujud jaring perak, rantai besi, bom garam, suar magnesium, hingga rapier—pedang tipis bermata ganda. Betul, para hantu bisa ditebas dengan serangan fisik.

Lockwood & Co. bukan semata kisah horor yang membuat kau mewaspadai setiap sudut rumah kala gelap tiba. Ia malah lebih menyerupai cerita thriller detective dengan elemen supranatural pekat. Alih-alih terus menghajar para hantu gentayangan, Anthony, Lucy, dan George sering kali justru lebih fokus memecahkan kasus penuh intrik.

Kasus-kasus itu pada akhirnya berhulu pada ketidakcakapan dan kemaruknya generasi tua.

Ini ditunjukkan sejak mula, pada kisah latar hidup Lucy. Eksistensi si anak perempuan tak begitu berarti bagi keluarganya, selain fungsinya sebagai penghasil uang. Sejak kecil, Lucy telah “dijual” ke agensi investigasi psikis di daerah asalnya.

Lucy dan rekan-rekan agen remajanya dianggap tak ubahnya alat. Mereka dipekerjakan, diatur-atur, dan direndahkan sepanjang waktu. Di samping eksploitasi anak, inkompetensi orang dewasa pun lantas menyebabkan tewas dan lumpuhnya rekan-rekan Lucy akibat terkena sentuhan hantu.

Di London yang lebih maju pun sama saja. Agensi bikinan Lockwood senantiasa diremehkan. Baru tiga bulan resmi terdaftar, agensi Lockwood kerap bermasalah dengan DEPRAC (departemen khusus untuk menangani wabah hantu). Mereka juga merekrut Lucy, yang notabene terhitung tenaga kerja ilegal.

Lockwood & Co. juga dianggap tak normal lantaran tak melibatkan penyelia dewasa di dalamnya. Namun, menjadi tak normal memang pilihan ketiga remaja ini sejak awal.

"Dunia ini gila, dan menjadi normal tak pernah memperbaiki apa pun," ujar Lockwood.

Meski begitu, inilah daya tarik agensi Lockwood: grup nyeleneh yang berisikan anggota berbakat. Tambahkan dengan memosisikannya sebagai underdog yang tengah beradu dengan regu pimpinan Quill Kipps (Jack Bandeira) di bawah agensi nomor satu di Britania, Fittes.

Lalu, pertemukan mereka dengan karakter-karakter seperti Winkman dan Fairfax, orang-orang dewasa yang tega melakukan hal-hal kejam terhadap sesama. Pasangkan pula George dengan Pamela Joplin, orang dewasa yang manipulatif.

Saga Lockwood dkk. makin mendebarkan lantaran misi-misi nyaris mustahil yang mereka ambil, seperti menghadapi gugus hantu akibat rentetan kematian tragis di suatu lokasi. Dengungan energi dan suara-suara chant para hantu biarawan sudah cukup mengerikan, begitu pula plasma berbentuk darah yang membanjiri ruangan.

Namun di belakangnya, orang-orang dewasalah yang sebenarnya lebih mengerikan. Lockwood dkk. hanyalah remaja minor dihadapan mereka yang punya kuasa, pun tak sungkan mengirim anak-anak ke ambang kematian. Seringkali gambaran itu bisa dibaca sebagai proyeksi, atas ketakbergunaan orang-orang generasi lama dalam masalah yang mereka timbulkan sendiri.

Ketika sang antagonis berhasil ditaklukkan pun, masalah tak berhenti. Pemerintah melalui DEPRAC menutup-nutupi kejahatan masa lampau si antagonis hanya karena dia adalah salah satu orang paling berpengaruh di negara itu—demi nama baik.

Itu dunia yang gila, korup, dalam krisis tanpa solusi. Ucapan si pemburu relik Flo Bones memberikan perspektif getir: bahwa semua orang mencari nafkah dari orang-orang mati.

Entah itu dengan menjadi agen, pemburu, pencuri, atau pelelang relik. Ketamakan manusia terus mengambil berbagai wajah, termasuk dalam menjadikan relik-relik (benda mistis) sebagai aset dan investasi, atau sekadar mengunci berbagai hantu ke dalam sebuah benda demi membuatnya kian bernilai.

Tentu saja tetap masih ada orang dewasa yang waras. Karakter Inspektur Barnes adalah contohnya, meski tak banyak yang bisa dilakukannya dari dalam sistem. Salah satu agen DEPRAC bahkan rela mengorbankan nyawanya demi meloloskan Lucy dan Lockwood pada sebuah misi infiltrasi.

Mereka semua berasal dari kelas pekerja. Lantas, bagaimana dengan mereka yang datang dari kalangan atas? Kita telah menyaksikan apa yang dilakukan Fairfax. Dan kita dibuat menanti atas dasar motif apa Penelope Fittes, pemimping agensi investigasi psikis terbesar, justru memburu Lockwood dkk.

Itu bukan satu-satunya pertanyaan pada akhir season pertama Lockwood & Co. Kita masih harus menanti alasan Lockwood merahasiakan identitas orang yang memburu mereka. Juga, menunggu kelanjutan penyibakan pintu rahasia di 35 Portland Row.

Kita pun bisa berekspektasi pada penyingkapan kerapuhan diri Lockwood di balik fasadnya yang penuh percaya diri dan secara perlahan memecahkan aneka situasi pelik di dunianya.

FIlm LOCKWOOD & CO

FIlm LOCKWOOD & CO. FOTO/IMDB

Potensi yang Belum Terjamah Sepenuhnya

Adalah Bartimaeus Sequence yang membuka jalan saya pada karya-karya Jonathan Stroud. Trilogi plus prekuel seputar sosok jin kuno bukan main konyol itu pulalah yang mengantarkan saya pada seri Lockwood & Co. yang ditulis Stroud di kemudian hari. Tak sekonyol Bartimaeus memang (yang bagi saya adalah magnum opus-nya Stroud), tapi serial Lockwood & Co. bisa dibilang kisah yang lebih matang.

Dua judul itu sama-sama membenturkan dunia gaib dan dunia fisik, menggambarkan keberpihakan sang penulis pada generasi muda, sekalian perspektifnya akan kerakusan dan oportunistisnya manusia.

Alih wahana menjadi serial televisi tentu membutuhkan adaptasi, salah satunya adalah memilah elemen-elemen yang bakal diangkut dari bukunya. Jelas tak memungkinkan untuk mengangkut segalanya.

Beberapa perubahan pun mesti dilakukan. Misalnya, soal penyelidikan yang direduksi poin-poinnya (teka-teki dan referensi pada Shakespeare) atau perubahan pada salah satu karakter utamanya (George Cubbins menjadi George Karim).

Ia seringkali meringkas pula berbagai elemen, yang kebanyakan dijelaskan sambil jalan. Porsi untuk eksposisi yang begitu mendetail di novel tampaknya dialihkan untuk memperdalam pengenalan pada ketiga karakter utama. Pilihan yang sebetulnya tak buruk, andai itu tak berarti mengurangi banyak kesempatan menerangkan worldbuilding serta lore rekaan Stroud.

Terlebih soal dunia yang ditinggali Lockwood dkk. London dalam novel Stroud adalah kota yang telah terbiasa dengan masalah wabah hantu. Berbagai perangkat penolak hantu (bermuatan garam dan lavendel) bertebaran di jalanan. Rumah dan bangunan dirancang melibatkan besi dan di kawasan elite, runnel dibangun karena hantu benci air mengalir.

Sementara di pinggiran kota, warga kelas sosial bawah dibiarkan bertahan seadanya dengan sekadar lentera-hantu, mengesankan bahwa pihak berwajib telah melakukan sesuatu untuk mereka.

Tak ubahnya wabah penyakit, moral dan produktivitas menurun drastis. Jam malam diterapkan dan bila malam tiba sesungguhnya hanya anak-anak yang berkeliaran di kota. Mereka bekerja, sementara orang-orang dewasa mendekam di rumah.

Golongan kaya raya bisa menyewa hotel dan menyelenggarakan pesta privat. Suatu gambaran bahwa orang-orang itu tak betul-betul belajar dari kesalahan—atau malah tak peduli. Alih-alih waspada, mereka malah menjaga kefanaan seraya menikmati sensasi seram yang mengancam di luar.

Infografik Misbar Lockwood dan CO

Infografik Misbar Lockwood dan CO. tirto.id/Quita

Dalam serial televisinya, elemen-elemen worldbuilding itu nyaris tak tampak atau disinggung sambil lalu. Yang paling kentara disuguhkan kepada penonton hanyalah London yang gelap dan muram—citra yang sudah sering kita saksikan di berbagai medium.

Belum lagi soal hantu di dunia rekaan Stroud. Serial televisinya melewatkan banyak hal tentang entitas kunci dalam cerita ini. Ada kesan kurangnya penekanan ihwal sulitnya menghadapi hantu. Seolah hantunya bisa langsung "dilukai" dengan tebasan rapier dan luruh dengan ledakan bom garam selayaknya melawan makhluk fisik biasa.

Padahal dalam bukunya, Stroud bisa memaksimalkan tujuh halaman khusus untuk mendeskripsikan apa yang dirasakan Lucy tatkala didatangi Pengunjung. Sayang sekali, ketegangan intens macam itu terasa dilewatkan begitu saja dalam live-action-nya.

Namun, harus diakui juga bahwa menerjemahkan beberapa elemen dalam bukunya menjadi visual bukanlah perkara mudah. Misalnya, tentang malaise “kuncian-hantu” yang menerpa para agen remaja. Atau soal memvisualkan sensasi miasma yang timbul saban makhluk-makhluk itu mendekat—yang sebagian besar terjadi dalam kepala para karakter.

Nyaris absennya deretan sensasi itu juga tak ditambah baik dengan deskripsi para hantu. Baik itu perbedaan tipe-tipe dan karakteristik mereka, efek yang dihadirkan, hingga perbedaan manifestasi yang beragam.

Jalan terbaik untuk menampung detail-detail itu tentunya dengan tidak memampatkan plot dua buku ke dalam satu season berisi 8 episode dengan durasi masing-masing 40-an menit. Namun, tentu saja hitung-hitungan finansial produksinya bakal memusingkan.

Kita bisa berharap serial ini cukup sukses dan dilanjutkan oleh Netflix. Dengan begitu, setidaknya ada kans para sineas di season berikutnya bakal mengeksplorasi keunikan dunia rekaan Stroud secara lebih maksimal.

Dengan berbagai timbangan positif dan negatifnya, adaptasi Lockwood & Co. Ini menurut saya tetap patut disyukuri. Lockwood & Co. paling tidak tetap mempertahankan intisari dan fragmen-fragmen terpenting dari sumbernya. Secara keseluruhan, ia tetap mampu tampil beda ketimbang serial detektif atau petualangan remaja kebanyakan.

Ia pun bisa jadi pembuka jalan bagi banyak penonton untuk mendekati seri bukunya dengan fantasi yang lebih terang. Sebagai serial, Lockwood & Co. cukup pantas mendapat kelanjutan aksi dalam memberi pelajaran pada hantu dan terutama orang-orang dewasa.

Para aktor utamanya tampil memuaskan. Mereka cukup berhasil menampilkan dinamika serta chemistry di depan kamera. Ruby Stokes dan Ali Hadji-Heshmati cukup memenuhi ekspektasi para pembaca, bahkan memberikan hal baru terhadap karakter-karakternya.

Begitu pun Cameron Chapman sebagai Lockwood. Meski rasanya tak cukup akurat, tapi dia tampil cukup meyakinkan, terutama setiap seringai penuh keyakinannya tergurat.

Kendati London dalam serial televisi ini nyaris terlihat normal, Joe Cornish setidaknya tetap mengkreasikan suasananya dengan unik. Hantu-hantunya yang imajinatif ditampilkan dengan special effect yang layak.

Pilihan rumah kediaman sekaligus markas Lockwood dkk. di 35 Portland Row jelas layak diberikan kredit. Dan yang paling krusial tentunya mempertahankan linimasa alternatif Lockwood & Co. yang terasa berada di belasan atau puluhan tahun silam, tanpa gadget terkini, di mana riset berarti membaca setumpuk buku dan koran dari perpustakaan.

Elemen lainnya, tentu dari bebunyian yang diperdengarkan. Sederet komposer berhasil menggubah score yang mampu menerbitkan kengerian melalui deruan, derapan, atau teriakan baik saat aksi berlangsung maupun suara tersembunyi yang bergaung di telinga Lucy.

Lagu tema Can't Leave The Night dari BADBADNOTGOOD dengan cepat memberikan kesan ikonik laiknya serial penyelidikan. Demikian halnya dengan lagu-lagu yang mengiringi berbagai momen juga menunjukkan selera yang khas. Sanggup mengesankan Inggris era post-punk/deathrock (meski juga tidak post-punk-post-punk amat) berkat jajaran nada dari Bauhaus, Siouxsie and The Banshees, The Cure, dan This Mortal Coil atau para grup musik yang lebih modern seperti Phantogram dan English Teacher.

Sejauh ini, Lockwood & Co. bisa dikategorikan salah satu serial dengan pilihan musik atau playlist paling menarik.

==========

Redaktur melakukan penyuntingan ulang dan penambahan materi untuk artikel ini pada 7 Maret 2023. Ini dilakukan untuk memberi informasi yang lebih lengkap.

Baca juga artikel terkait SERIAL TV atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi