Menuju konten utama

Litium & Tungsten Myanmar: Kisah yang Hilang dari Kudeta Militer?

Tungsten digadang-gadang akan menjadi kekuatan utama masa depan mobil listrik. Mineral ini, bersama litium, ada di Myanmar.

Litium & Tungsten Myanmar: Kisah yang Hilang dari Kudeta Militer?
Ilustrasi Lithium. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada Juli 2020 lalu, tak kurang dari 160 penambang giok di Hpakant, Provinsi Kachin, Myanmar tewas tertimpa longsoran tambang, yang dipicu peningkatan curah hujan. Cape Diamond, dalam laporannya untuk Deutsche Welle, menyebut longsor di area pertambangan tersebut telah berulang kali terjadi. Setahun sebelumnya, misalnya, 50 penambang tewas tertimpa longsor. Pada 2015 di lokasi yang sama, longsor membunuh 120 penambang.

Tidak ada pedoman keselamatan di area pertambangan tersebut. Sebagaimana dilaporkan Diamond, Myanmar tidak memiliki aturan yang jelas soal pertambangan. Para penambang harus mengusahakan keselamatan mereka sendiri. Sialnya, ketidakjelasan ini didukung fakta bahwa Hpakant merupakan tambang utama giok dunia senilai USD 30 miliar.

Ketiadaan aturan plus berbondong-bondongnya masyarakat menjadi penambang giok di Hpakant akhirnya menjadi bencana yang tak terelakkan. Bencana yang sangat mungkin kian sering terjadi karena Myanmar kaya sumber mineral.

Myanmar, tulis N.J. Gardiner dalam studinya berjudul "The Metallogenic Province of Myanmar" (2014), "selain berstatus sebagai salah satu negara terbesar di Asia Tenggara, juga dikenal merupakan salah satu negara yang kaya mineral, kaya metal, yang timbul karena negara ini memiliki posisi geografis yang 'pas'." Bumi Myanmar, tutur Gardiner, muncul berkat subduksi Mesozoikum-Kenozoikum (Mesozoic–Cenozoic) dan lempeng terranes (island-arc terranes) dari Gondwana--superbenua yang pernah ada selama era Neoproterozoikum, serta kaya gunung berapi. Kondisi inilah yang melahirkan tiga wilayah kaya mineral di Myanmar, yakni Wuntho-Popa Arc, Shan Plateau, dan MMM Belt.

Wuntho-Popa Arc memiliki banyak gunung berapi dan dikenal sebagai tempat berkumpulnya tembaga (Cu) dan emas (Au), yang diperkirakan mencapai 2 miliar ton. Jumlah ini, tulis Gardiner, "hanya kalah dari tambang Grasberg di Indonesia".

Shan Plateau merupakan wilayah di Myanmar yang sebagian besar terdiri dari batuan karbonat Ordovisum-Trias hingga menyebabkan wilayah ini memiliki timbunan perak (Ag), juga timbal (Pb) dan besi (Zn). Dalam survei yang dilakukan pada 1960, Shan Plateau diperkirakan memiliki cadangan Ag, Pb, dan Zn sebesar 6 juta ton.

MMM Belt, wilayah yang membentang dari Mandalai menuju Myeik (Mergui) di Myanmar, merupakan wilayah sumber utama tungsten (W) dunia. Dalam catatan sejarah, sebelum Perang Dunia II berkecamuk dan sampai ke negeri yang dulu disebut Burma ini, Myanmar menyumbang sekitar 17 persen produksi tungsten alias wolfram dunia.

Tak ketinggalan, meskipun belum diketahui secara pasti, AsiaBaseMetals mengklaim Myanmar menyimpan litium di sebuah kawasan seluas 74 kilometer persegi. Perusahaan asal Kanada ini dikabarkan tengah bersiap melakukan survei dan eksplorasi mineral litium di sana.

Masa Depan Baterai (Mungkin) Berada di Myanmar

"Baterai litium-ion didaulat menjadi pilihan utama sebagai media penyimpanan energi elektrokimia karena memiliki kepadatan energi (energy density) yang tinggi serta memiliki siklus kinerja yang sangat baik," tulis Mingbo Zheng, dalam studinya berjudul "Tungsten-Based Materials for Lithium-Ion Batteries" (terbit dalam jurnal Advanced Functional Materials, 2018).

Secara teknis, baterai litium-ion terdiri dari bahan katoda, anoda, dan elektrolit, yang bahu-membahu melakukan konversi energi kimia menjadi energi listrik melalui proses difusi elektrolit antara dua elektroda (konduktor yang digunakan untuk melakukan kontak dengan bagian non logam dari suatu rangkaian, dapat berupa katoda atau anoda). Dua elektroda ini menghasilkan elektron bermuatan negatif bergerak di sekitar sirkuit untuk menciptakan listrik. Umumnya, litium bertindak sebagai kadota dan granit merupakan material bagi anoda dalam sebuah baterai litium-ion. Sayangnya, menurut Zheng, "kapasitas kekuatan granit sebagai anoda terlalu rendah untuk menghasilkan kepadatan energi yang maksimal". Granit, secara teoritis, hanya menghasilkan kekuatan sebesar 372 mA h g-1, atau dalam bahasa awam, "terlalu lemah".

Sementara itu, merujuk studi berjudul "Niobium Tungsten Oxides for High-Rate Lithium-Ion Energy Storage" (terbit dalam jurnal Nature Vol. 559, 2018) yang ditulis Kent J. Griffith, granit tidak dapat dipacu untuk bekerja--siklus mengisi/memakai serta kapasitas--dalam intensitas tinggi karena rawan tercipta fraktur (keretakan) dan pembentukan dendrit (cabang sel) pada litium, yang menggiring terjadinya korsleting dan kebakaran. Granit dipilih sebagai anode karena konduktivitas elektronik dan stabilitas kimianya yang baik.

Tidak ada yang salah dengan penggunaan granit sebagai anode dalam baterai lithium-ion, khususnya jika hanya digunakan untuk mengisi daya remote televisi, tamiya, senter, atau feature phone ala Nokia 3310. Namun, granit tak dapat dipertahankan seiring makin intimnya manusia dengan smartphone dan kian kuatnya kehendak Elon Musk menyingkirkan mobil berbahan bakar bensin dari jalanan dengan mobil listrik. Baik Zheng maupun Griffith menyebut masa depan baterai litium-ion yang jauh lebih handal ada pada pada tungsten, mineral dengan kepadatan intrinsik tinggi (high intrinsic density), yakni secara teoritis, lebih dari 7 g cm-3. Kepadatan ini bersumber dari sifat oksidasi elektrokimia yang mumpuni. Tak ketinggalan, dalam studi berjudul "All Solid State Tungsten-Air Battery: A New Metal-Air Chemistry" (terbit dalam jurnal The Electrochemical Society, 2013), Xuan Zhao melaporkan tungsten sedang diteliti dalam proses penciptaan baterai r, semacam versi kering dari baterai litium-ion, yang digadang-gadang akan menjadi kekuatan utama masa depan mobil listrik.

Infografik Tambang di Myanmar

Infografik Tambang di Myanmar. tirto.id/Fuad

Tungsten dan litium ada di Myanmar--dan semestinya itu jadi berkah. Sayangnya, berkaca pada kasus pertambangan giok, musibah lebih mungkin terjadi. Myanmar, tulis Monique Skidmore dalam Dictatorship, Disorder and Decline in Myanmar (2008), adalah negeri yang tak pernah tidak dilanda gejolak politik terkait "dinamiki internal dalam tubuh militer".

Semenjak militer mengambilalih kekuasaan pada 1962, Myanmar dibangun atas kepentingan para jenderal. Tak hanya itu, tiap pemimpin militer Myanmar memiliki gagasan dan faksi. Pada 1962, Jenderal Ne Win menjadi penguasa melalui kudeta. Ia menciptakan sebuah doktrin di mana, mengutip Skidmore, "hanya kekuatan militer yang pada akhirnya dapat menyelamatkan negara yang terdiri dari beragam etnis dari disintegrasi dan perpecahan". Ne Win pun aktif melakukan nasionalisasi di bidang ekonomi. Nahas, Brigadir Jenderal Aung Gyi tak sepaham dengan ide Jenderal Ne Win, dan ia akhirnya "mengkudeta" atasannya tersebut untuk menentukan jalan hidup Myanmar.

Atas dinamika internal militer Myanmar pada dekade 1960-an ini, muncullah manajemen negara yang buruk. Di ranah pertambangan, meskipun Myanmar memiliki begitu banyak mineral, terjadi "kekurangan investasi dan gagalnya pembangunan pabrik-pabrik pengelolaan" plus ketiadaan pengawasan hingga bertahun-tahun. Tak ketinggalan, mayoritas izin konsesi pertembangan di Myanmar diberikan pada perusahaan milik atau yang berhubungan dengan militer.

Pada 2016 lalu, militer akhirnya legowo menyerahkan kekuasaan pada sipil dan menempatkan Aung San Suu Kyi sebagai Penasihat Negara Myanmar (setara perdana Menteri). Pemerintahan Suu Kyi memutuskan menghentikan pemberian lisensi tambang agar dapat direformasi. Hingga sekarang, janji reformasi itu tak sempat terwujud karena, lagi-lagi, militer melakukan kudeta.

Dengan kembalinya militer ke tampuk kekuasaan, sukar untuk memprediksi ke mana kebijakan tambang di Myanmar. Terlebih lagi, ada banyak pihak mengincar bahan baku untuk produksi baterai yang lebih bertenaga.

Baca juga artikel terkait KUDETA MYANMAR atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf