Menuju konten utama

Listrik & BBM Subsidi akan Naik di Tengah Impitan Ekonomi Warga

Rencana menaikkan tarif listrik, BBM subsidi hingga LPG 3 kg akan membuat daya beli masyarakat makin lemah dan berdampak pada laju inflasi.

Listrik & BBM Subsidi akan Naik di Tengah Impitan Ekonomi Warga
Warga memasukkan pulsa token listrik di tempat tinggalnya, di Jakarta, Selasa (1/4/2020). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.

tirto.id - Pemerintah memberi sinyal melakukan penyesuaian tarif listrik tahun ini. Penyesuaian dilakukan imbas dari tingginya harga minyak dunia dan dalam negeri. Saat ini, harga minyak mentah Indonesia (ICP/Indonesia Crude Price) per Maret 2022 sebesar 98,4 dolar AS per barel. Jauh lebih tinggi dari asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 hanya 63 dolar AS per barel.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif mengatakan, penyesuaian tarif listrik merupakan bagian dari strategi jangka pendek dalam menghadapi dampak kenaikan harga minyak dunia. Melalui penyesuaian ini, maka pemerintah bisa menghemat biaya kompensasi dibayarkan ke PLN sebesar Rp7-16 triliun.

"Dalam jangka pendek penerapan tariff adjustment 2022 ini untuk bisa dilakukan," ujar Arifin dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Rabu (13/4/2022).

Arifin mengatakan, penyesuaian tarif akan diterapkan pada 13 golongan pelanggan listrik non-subsidi PT PLN (Persero). Dengan kembali penyesuaian, maka tarif listrik pelanggan nonsubsidi berpotensi mengalami kenaikan. Apalagi tarif listrik pelanggan nonsubsidi tidak pernah mengalami penyesuaian sejak 2017.

Sebagai pemegang izin usaha, PLN dalam posisi siap melalukan penyesuaian tarif. Namun untuk penetapan tarif sendiri merupakan kewenangan dari pemerintah. Dalam posisi ini, PLN hanya akan menjalankan keputusan pemerintah.

“Kami sebagai pemegang izin usaha, [siap] menjalankan semua kebijakan dari pemerintah,” kata Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, Bob Saril saat dikonfirmasi reporter Tirto.

Tak hanya listrik, pemerintah juga mempertimbangkan melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis pertalite dan solar hingga LPG 3 kg atau gas melon. Penyesuaian ini menjadi langkah jangka menengah panjang pemerintah dalam menghadapi harga minyak dunia yang kini mencapai 100 dolar AS per barel.

“Untuk jangka menengah dan panjang, akan dilakukan penyesuaian harga pertalite, minyak solar, dan mempercepat bahan bakar pengganti seperti KBLBB, bahan bakar gas (BBG), bioethanol, bioCNG, dan lainnya," ujar Arifin.

Harga BBM jenis pertalite dan solar tidak mengalami kenaikan sejak lama. Harga pertalite saat ini masih dibanderol Rp7.650 per liter, sementara solar masih dijual seharga Rp5.150 per liter.

Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menyarankan, kenaikan berbagai komoditas tersebut tidak dilakukan dalam waktu dekat ini. Sebab, masyarakat baru saja mengalami kenaikan komoditas lain seperti; Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pertamax, hingga kebutuhan pangan.

Jika kenaikan komoditas secara bertubi-tubi ini terealisasi, maka masyarakat sama saja tak diberi kesempatan untuk bangkit. "Beri ruang terlebih dahulu kepada masyarakat untuk meningkatkan perekonomian mereka agar bisa lebih baik lagi," kata Mamit saat dihubungi reporter Tirto.

Mamit mengatakan, masyarakat baru saja memulai kembali roda perekonomian setelah hampir dua tahun dilanda pandemi COVID-19. Sementara, dalam waktu dekat mereka akan menghadapi momentum Idulfitri, di mana pengeluaran diperkirakan lebih besar bila dibandingkan bulan lainnya.

"Setelah itu, Juni akan memasuki tahun ajaran baru di mana akan ada pengeluaran untuk biaya anak sekolah. Jadi bisa dibayangkan beban yang harus ditanggung jika dilakukan kenaikan dalam waktu dekat ini," jelasnya.

Mamit khawatir, ketika seluruh komoditas tersebut naik secara bersamaan akan menimbulkan gejolak di masyarakat. Ini karena biaya dikeluarkan masyarakat akan jauh lebih besar. “Jadi, meskipun saya memahami kondisi pemerintah, tapi tidak dilakukan dalam waktu dekat ini kenaikan tersebut," imbuhnya.

Pada prinsipnya, ia memahami beratnya beban keuangan negara karena kenaikan harga minyak dunia dibarengi dengan kenaikan ICP. Di mana setiap kenaikan 1 dolar AS ICP akan berdampak terhadap beban subsidi maupun beban kompensasi harus dibayarkan kepada Pertamina maupun PLN.

"Di mana kenaikan subsidi LPG sekitar Rp1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari R 2,65 triliun, serta tambahan subsidi dan kompensasi listrik sebesar Rp295 miliar," jelasnya.

Meningkatnya Laju Inflasi

Pengamat Ekonomi IndiGo Network, Ajib Hamdani menilai, rencana kenaikan berbagai komoditas di atas tidak tepat momentumnya. Karena hal ini akan memberikan tekanan luar biasa terhadap daya beli masyarakat, sehingga berdampak kepada inflasi.

Ajib memperkirakan, jika pemerintah menaikkan dalam waktu dekat atau pada kuartal II-2022 ini, maka inflasi terdongkrak menjadi 3,5 persen secara agregat di akhir 2022. Sementara, dalam proyeksi awal pemerintah dan Bank Indonesia inflasi ditetapkan sebesar 3 persen di tahun ini.

"Karena di saat yang bersamaan, pada 1 April dinaikkan tarif PPN, yang secara signifikan juga akan mendorong peningkatan inflasi," kata Ajib dihubungi terpisah.

Untuk itu, Ajib menyarankan agar pemerintah sebaiknya tidak menaikan komoditas tersebut dalam waktu dekat. Misalkan ada kenaikan, lebih baik dilakukan di 2023, di mana pertumbuhan ekonomi diperkirakan sudah kembali normal di angka 5 persen.

"Sepertinya lebih baik dibuat kebijakan di 2023," ujar Ajib yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi).

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, sebaiknya wacana kenaikan harga LPG 3 kg, pertalite dan tarif listrik tidak perlu disampaikan pemerintah. Karena kenaikan satu jenis energi diatur pemerintah seperti LPG 3 kg, risikonya terhadap daya beli 40 persen kelompok pengeluaran terbawah sangat besar.

"Inflasi diperkirakan menembus 5 persen di 2022 apabila pemerintah bersikeras naikkan harga pertalite dan LPG 3 kg secara bersamaan," kata Bhima.

Kenaikan inflasi tersebut, akhirnya berimbas ke mana-mana, termasuk naiknya angka kemiskinan di Indonesia. Di samping itu, dampak ke gejolak sosial juga harus diwaspadai adanya konflik horizontal antar masyarakat karena ketimpangan semakin lebar.

Di sisi lain, Bhima khawatir jika kenaikan harga terus terjadi dan beruntun, pada akhirnya masyarakat akan mengurangi konsumsi barang lain seperti menunda pembelian peralatan rumah tangga, barang elektronik, otomotif, pakaian jadi dan kebutuhan lain.

Bahkan efek terburuknya adalah penutupan pelaku usaha UMKM di sektor makanan minuman karena tidak kuat menanggung naiknya biaya produksi.

“Kalau UMKM gulung tikar, kita bisa perkirakan sendiri berapa banyak yang jadi pengangguran baru apalagi 97 persen serapan tenaga kerja ada di UMKM," jelasnya.

Efek lain dari naikknya LPG 3 kg, kalau tidak hati-hati bisa sebabkan panic buying, karena masyarakat antisipasi dengan membeli dalam jumlah besar sebelum kebijakan kenaikan LPG dilakukan. Di sisi lain, mekanisme penjualan LPG 3 kg cenderung terbuka, sehingga risiko kelangkaan sebagai konsekuensinya.

“Harusnya pemerintah bisa menahan selisih harga keekonomian LPG 3 kg melalui mekanisme subsidi silang hasil windfall penerimaan negara dari ekspor minerba dan perkebunan," jelasnya.

Berdasarkan simulasi kenaikan harga minyak mentah, ia memproyeksikan pemerintah sedang alami lonjakan pendapatan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar Rp100 triliun. Jika defisit kembali bengkak karena subsidi energi, maka efisiensi belanja pemerintah dan penundaan mega proyek seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara juga wajib dilakukan.

Sebagai catatan, IKN menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) butuh setidaknya Rp468 triliun dan 53,3 persen akan diambil dari APBN hingga 2024. Sehingga tidak ada jalan lain karena urgensi saat ini, menurutnya adalah stabilitas harga pangan dan energi, bukan pemindahan gedung pemerintahan.

“Ini masalahnya pemerintah itu sadar atau tidak ya, bahwa jurang bahaya ekonomi didepan mata?" kata Bhima mempertanyakan.

Respons YLKI dan Masyarakat

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menolak keras rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik, BBM subsidi, hingga LPG 3 tahun ini. Kenaikan ini mengindikasikan adanya tindakan kekerasan ekonomi (violence of economy) yang dilakukan oleh negara, kepada warganya.

“Wacana menaikkan tarif dasar listrik dan gas elpiji 3 kg, harus ditolak," kata Tulus kepada reporter Tirto.

Tulus mengatakan, jika kenaikan tersebut tetap dilakukan akan mengakibatkan jebolnya benteng pertahanan ekonomi rumah tangga masyarakat. Apalagi saat ini masyarakat sedang dihantam oleh berbagai kenaikan, khususnya kenaikan bahan pangan, gas LPG non PSO, pertamax, PPN, dan lain-lain.

“Pemerintah harus mencari jalan keluar yang lebih cerdas, jangan hanya harga pasar sebagai jargon untuk menaikkan tarif/harga. Kalau bisanya hanya menaikkan dan tunduk pada tekanan pasar, lalu apa gunanya negara?" kata Tulus mempertanyakan.

Penolakan kenaikan harga beberapa komoditas tersebut juga disuarakan oleh pedagang kaki lima (PKL). Pedagang mengaku, adanya kenaikan seperti gas melon akan membuat ongkos belanja hingga bahan baku dagangan naik.

“Kita sudah pusing, bahan baku dagangan naik semua. Untung makin tipis kebutuhan makin mahal," keluh salah satu PKL, Firli Zikrillah.

Di sisi lain, kenaikan berbagai komoditas sektor energi itu juga disayangkan oleh salah satu pegawai swasta, Yohana Artha. Menurutnya kenaikan harga pertamax dan PPN saja sudah membebani, apalagi ditambah dengan kenaikan-kenaikan lainnya.

“Walaupun perekonomian mulai pulih, tapi kan gak semua masyarakat keuangannya sudah membaik, jadi kalau semua-semuanya naik, ya semakin gak pulih keuangan masyarakat," ujarnya.

Baca juga artikel terkait TARIF LISTRIK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz