Menuju konten utama

Lima Sekawan: Kami Ingin Tetap Begini, Selamanya Begini

Julian, Dick, Anne, Georgina, dan Timothy adalah The Famous Five alias Lima Sekawan. Mereka diciptakan oleh Enid Blyton pada 1942 sebagai tokoh-tokoh utama seri novel petualangan anak-anak berjudul sama. Enam tahun lalu, penerbitnya bersiasat agar buku-buku itu tetap dicintai di masa kini. Berhasilkah siasat itu?

Sampul buku karya Enid Blyton, "Lima Sekawan", yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1942. [Foto/theguardian.com]

tirto.id - Mereka adalah Julian, Dick, Anne, Georgina, dan Timothy.

Julian berusia paling tua dan selalu bisa diandalkan. Dick, dengan kejenakaannya, adalah sumber keriangan. Anne si belia. Georgina, gadis kecil yang tak kalah gesit dibandingkan anak laki-laki dan senang dipanggil George. Dan Timothy alias Timmy, seekor anjing penurut namun penuh kewaspadaan.

Mereka adalah The Famous Five, kelompok detektif pemberani yang mencebur ke dalam petualangan saban masa libur sekolah tiba.

Di Indonesia, anak-anak dan remaja era 80-90an mengenal kelompok itu dengan nama Lima Sekawan, kelompok rekaan pengarang perempuan Inggris Enid Blyton dalam seri novel berjudul sama.

Seri Lima Sekawan terbit di Inggris dalam rentang 1942-1963. Ia terdiri dari 21 buku. Satu buku untuk satu petualangan, mulai dari Di Pulau Harta hingga Sirkus Misterius.

src="//mmc.tirto.id/image/2016/09/19/limasekawan.jpg" width="850" /

Salah satu tema utama dalam buku-buku cerita yang tokoh utamanya anak-anak atau remaja adalah "dunia khas yang terpisah dari dan tak dipahami oleh orang dewasa." Tema itu adalah kesamaan yang menjembatani pembaca dengan karakter dalam cerita.

"Tak ada yang lebih asyik daripada berkumpul dengan saudara-saudaraku seperti ini, bersenang-senang bersama mereka," ujar Anne dalam Ke Bukit Billicock (1957). "Tidak--aku tidak mau jadi dewasa. Lebih enak jadi anak-anak terus."

Setiap anak-anak yang beranjak remaja berpikir demikian, bukan?

Dan demi hal itu, Blyton menimpakan bermacam-macam soal kepada orangtua anggota-anggota Lima Sekawan, agar mereka enyah dari keasyikan yang tidak dapat mereka pahami.

Dalam buku Beraksi Kembali (1945), si pengarang bahkan membikin orangtua kakak-beradik Julian, Dick, dan Anne terkena penyakit jengkering agar Lima Sekawan punya alasan untuk tak pulang dan menghabiskan liburan di rumah.

Saat plot memerlukan keterlibatan orang dewasa, dalam Memburu Kereta Api Hantu (1948), misalnya, Blyton enteng saja memasang Pak Luffi yang "penggemar serangga, setengah baya, dan agak linglung." Yang penting, orang dewasa tidak ambil bagian.

Namun, terlepas dari penggunaan mekanisme plot yang kerap mengada-ada dan hal-hal lain yang menjadikan Lima Sekawan sebagai bacaan kurang bermutu, suara pasar merdu belaka. Enid Blyton menjadi salah satu penulis buku anak-anak terlaris sepanjang masa.

Hingga kini Lima Sekawan ajek terjual sekitar setengah juta eksemplar per tahun. Angka penjualan sepanjang masanya diperkirakan lebih dari 500 juta eksemplar.

Pada pertengahan 2010, Hodder & Stoughton, penerbit Lima Sekawan, menanggapi minat yang tak kunjung surut itu dengan sebuah proyek besar: menyeret bahasa Blyton keluar dari era 1940an dan mengganti kosakata usang di dalamnya dengan yang baru, supaya anak-anak masa kini lebih nyaman mencerna bacaan populer tersebut.

Sebab lainnya: mereka mengkhawatirkan hasil riset pasar yang menyatakan bahwa semakin lama anak-anak akan semakin tidak tertarik dengan cerita detektif bocah seperti Lima Sekawan karena bahasanya sudah kuno.

Penceritaan dalam novel-novel itu tentu dipertahankan, namun sejumlah ungkapan, mercy me! misalnya, akan diubah menjadi oh no!, lalu housemistress menjadi teacher, awful swotter menjadi bookworm, dan sebagainya.

Menurut penulis buku anak-anak Andy Briggs, perubahan itu memang diperlukan. "Bahasa berkembang, berevolusi, dan masalah justru timbul jika kita tidak ikut berubah," ujarnya kepada The Guardian. "Sewaktu buku-buku itu terbit, jeepers dan golly gosh adalah bahasa prokem. Masuk akal bila mereka disesuaikan kembali.

"Andai bacaan tidak diperbarui," kata Briggs, "anak-anak tidak akan membacanya dan buku-buku itu akan tersingkir."

Namun Tony Summerfield dari Enid Blyton Society tidak sependapat. "Aku setuju-setuju saja jika yang hendak diganti adalah kata-kata yang kini maknanya telah berubah jadi ofensif," katanya. Tapi, bagi dia, pembaruan kosakata hanya demi memudahkan adalah tindakan orang dewasa yang meremehkan kecerdasan anak-anak.

Enam tahun kemudian, 16 September lalu, waktu membuktikan pendapat mana yang benar.

Anne McNeil, direktur penerbitan Hodder Children's Book, melapor kepada The Guardian bahwa perubahan atas Lima Sekawan, sekalipun telah dikerjakan secara serius dan hati-hati, tidak diterima dengan baik oleh para pembaca.

"Tanggapan-tanggapan yang kami terima dalam enam tahun ini menunjukkan bahwa kecintaan terhadap Lima Sekawan tetap bertahan, serta pengubahan mother menjadi mommy, pullover menjadi jumper, sesungguhnya tidak diperlukan."

Untung bagi penerbit Hodder, meski melepas edisi revisi Lima Sekawan ke pasaran, mereka tidak seketika berhenti memproduksi versi klasik.

Summerfield pun kembali berkomentar. Menurut dia, yang sibuk mengurusi dan menginginkan revisi atas Lima Sekawan cuma orang dewasa. "Anak-anak tidak peduli edisi mana yang mereka baca," katanya.

Waktu barangkali memang tak punya tempat di hati anak-anak. Dan lewat situasi penjualan Lima Sekawan, mereka seolah berkata: Kami ingin tetap begini, selamanya begini.

Baca juga artikel terkait ENID BLYTON atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Hobi
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Maulida Sri Handayani