Menuju konten utama

LGBT dalam Tayangan untuk Anak

Ada yang mengapresiasi, ada pula yang mengecam karena dianggap mengajarkan hal keliru bagi anak-anak.

LGBT dalam Tayangan untuk Anak
Wanda Sykes, aktris yang mengisi suara ibu lesbian di film animasi "Doc McStuffins" produksi Disney. FOTO/Pinknews

tirto.id - Seorang perempuan kulit hitam mendapati guncangan dalam rumahnya. Dipikirnya, anak-anak yang tengah bermain di lantai dualah yang menciptakan guncangan tersebut hingga terasa sampai tempatnya, di dapur. Namun ternyata, guncangan tersebut bukan disebabkan anak-anaknya. Pasangannya, perempuan berkulit putih, dan anak mereka berhamburan menghampirinya, mengatakan bahwa guncangan disebabkan sesuatu dari luar.

Mereka pun berupaya menyelamatkan diri dan pasangan sesama jenis ini memberi instruksi supaya anaknya tidak cedera tertimpa barang-barang di dalam rumah. Baru sesaat kemudian, mereka mengetahui guncangan tersebut datang dari robot dinosaurus raksasa yang tengah melintas. Sesegera mungkin mereka mencari titik yang aman untuk berlindung bersama-sama tetangga lainnya.

Kisah ini merupakan cuplikan singkat salah satu episode Doc Mcstuffins, animasi untuk anak yang ditayangkan di saluran Disney Junior. Pengisi suara kedua karakter lesbian di sini adalah Wanda Sykes dan Portia de Rossi yang dalam kehidupan nyata merupakan penyuka sesama jenis.

Dalam wawancara dengan GLAAD, lembaga yang mengadvokasi orang-orang LGBT, Sykes mengatakan sangat senang dapat terlibat dalam tayangan ini. “Dengan adanya episode [yang menampilkan pasangan lesbian] ini, anak-anak saya dapat melihat keluarga yang serupa dengan yang dimilikinya. Keluarga inti kami terdiri dari dua ibu, satu anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Akan menyenangkan sekali bagi mereka untuk dapat menyaksikan keluarga kami direpresentasikan,” aku Sykes.

Episode Doc Mcstuffins yang menampilkan lesbian ini tidak serta merta mengekspose relasi romantis atau orientasi seksual kedua ibu. Pesan utama episode ini adalah bagaimana mempersiapkan dan menyelamatkan diri ketika menghadapi gempa atau situasi darurat.

“Episode ini mengajari keluarga untuk membuat rencana, misalnya dalam situasi darurat, tahu ke mana seseorang harus pergi. Keberagaman yang ditampilkan dalam Doc Mcstuffins serta pemilihan seorang African-American sebagai bintang utama yang berprofesi sebagai dokter mengirimkan pesan luar biasa bagi penonton,” imbuh Sykes.

Doc Mcstuffins bukan satu-satunya tayangan untuk anak yang menampilkan LGBT. Pada 2005 silam, PBS sempat akan mengudarakan episode “Sugartime!” dari serial Postcards From Buster. Episode ini menampilkan dua orang lesbian yang menyambut kedatangan tokoh animasi Buster di Vermont. Namun, episode ini urung ditayangkan ke 349 stasiun lantaran perwakilan PBS menganggapnya mengandung isu sangat sensitif.

Kemudian pada 2014 silam, untuk pertama kalinya Cartoon Network menampilkan dua karakter gay, yaitu dalam program Clarence. Kedua laki-laki gay yang dimunculkan di sana tampak mencium pipi satu sama lain saat bertukar sapa. Hal ini berbeda dengan ide awal si pembuat cerita, Spencer Rothbell yang mengatakan bahwa ia berencana menggambarkan kedua laki-laki tersebut berciuman di bibir. Sensor dilakukan guna mendapat izin tayang dari Cartoon Network.

Serupa dengan Cartoon Network, Nickelodeon pun mengangkat isu gay dalam salah satu programnya. Pada 2016, dalam film kartun Loud House, terdapat satu episode yang menampilkan orangtua gay berbeda ras.

Isu gay dalam film pendek animasi muncul tahun 2017 ini. Kisah asmara antara dua bocah laki-laki digambarkan dalam film In a Heartbeat karya Beth David dan Esteban Bravo. Sejak dipublikasikan di Youtube pada 31 Juli 2017, In a Heartbeat telah disaksikan 27.769.515 kali dan akun yang memublikasikannya dilanggan oleh 379.000 orang.

Dibilang Ciamik sekaligus Menuai Kritik

Representasi LGBT dalam tayangan animasi atau kartun untuk anak semacam ini tak pelak menuai kontroversi di berbagai tempat. Sebagian pihak mendukung para pembuat film di balik tayangan-tayangan tersebut lantaran dianggap telah berupaya melakukan inklusi gender. Kaum minoritas (orientasi) seksual ini dirangkul oleh para pembuat film lewat simbol-simbol dalam karya visual.

Apresiasi terlihat dalam berbagai bentuk. Lewat Twitter misalnya, orang-orang memberikan reaksi positif terhadap pemunculan karakter gay oleh Nickelodeon. Atau saat David dan Bravo menggalang dana melalui Kickstarter untuk pembuatan In a Heartbeat, mereka berhasil mengumpulkan lebih dari $14.000.

Tentu saja representasi sexual orientation, gender identity, and expression (SOGIE) dalam tayangan anak tidak terlepas dari konteks sosial saat ini. Perjalanan panjang kampanye penerimaan LGBT di macam-macam masyarakat membuahkan dampak-dampak hukum yang berupaya menjamin hak mereka agar sama seperti orang-orang heteroseksual.

Produk budaya populer macam film, program TV, atau majalah pun merasakan imbas dari angin segar untuk kaum LGBT ini. Tengok pula bagaimana National Geographic pada awal 2017 lalu menampilkan Alex Bryson dan Eli, transgender laki-laki usia 11 dan 12, atau Avery Jackson, bocah 9 tahun yang menjadi transpuan. Tidak lagi media-media seterkekang dulu dalam merepresentasikan LGBT, tetapi jangan kira hal ini tak diiringi kecaman dari pihak dari pemikiran berseberangan.

Baca juga: Menyikapi Ekspresi Gender Anak Milenial

“Sugartime!” sempat mendapat reaksi keras dari Departemen Pendidikan AS karena mempertimbangkan para orangtua yang berkeberatan anak-anak mereka terpapar ‘gaya hidup’ LGBT. Musim terakhir serial Good Luck Charlie yang ditayangkan Disney Channel pun pernah mendatangkan protes dari kelompok konservatif, One Million Moms, karena menampilkan orangtua lesbian.

Kembali dari Disney, Beauty and The Beast (2017) dihujat oleh sebagian orang karena karakter LeFou disebut-sebut seorang gay. Anggapan LeFou penyuka sesama jenis pun bukan sekadar interpretasi penonton. Sang sutradara sendiri, Bill Condon menyatakan bahwa di satu sisi, LeFou ingin menjadi seperti Gaston, atasannya, sementara di lain sisi, ia ingin mencium Gaston.

Penggambaran LeFou sebagai gay ini pada akhirnya mendorong pihak regulator di beberapa negara menyensor Beauty and The Beast. Di Malaysia, adegan LeFou sebagai gay diminta dihapus, sementara di Rusia, film Disney ini dilabeli 16+. Contoh tindakan ekstrem ditemukan di Alabama, AS, yang melarang penayangan film tersebut di bioskop.

Bagaimana dengan tanggapan di Indonesia?

Bukan rahasia bila kelompok LGBT masih terpinggirkan di negara ini. Salah satu ekspresi kontra terhadap penampilan lesbian dalam Doc Mcstuffins tergambar dalam screenshot yang disebarkan di akun FB Jakarta Feminist Discussion Group. Dalam screenshot tersebut dinyatakan imbauan untuk orangtua yang berlangganan TV berbayar untuk mengawasi anak saat menyetel Disney Junior—yang katanya menampilkan keluarga lesbian.

Terantuk Norma dan Regulasi

Keberadaan TV berbayar di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, bukanlah hal anyar. Dari tahun ke tahun, statistik menunjukkan pertumbuhan jumlah pelanggan. Berdasarkan data dari Media Partners Asia, penetrasi TV berbayar di Indonesia tahun 2016 mencapai 10,4 persen. Persentase ini memang jauh lebih rendah dibanding negara-negara Asia Pasifik lainnya, yaitu sekitar 55 persen. Namun jika bicara soal angka real, di Indonesia pada tahun yang sama telah ada 4.372.000 pelanggan TV berbayar dan diprediksi, pada 2020 pelanggan melonjak sampai 5.674.000.

Baca juga: MNC Sky Vision: Juara yang Selalu Merugi

Hadirnya TV berbayar ini memungkinkan konten-konten luar masuk ke dalam negeri, baik yang dianggap masih bisa ditoleransi pesan implisitnya maupun yang dirasa bertentangan dengan nilai-nilai “ketimuran”. Menyadari macam-macam efek yang bisa ditimbulkan dari siaran asing, KPI pun membuat regulasi untuk konten TV berbayar: tidak boleh ada konten yang melanggar norma yang berlaku di Indonesia. Perlindungan anak dari ‘hal-hal tidak pantas’ pun menjadi agenda mereka. Seperti apa persisnya aturan KPI?

Tahun 2012 silam KPI menerbitkan P3SPS. Macam-macam aturan yang dibuat dengan tujuan melindungi kepentingan khalayak dicantumkan mulai dari penampilan adegan seksual, kekerasan, regulasi seputar iklan, penghormatan terhadap nilai agama, budaya, nilai kesopanan dan kesusilaan, hingga perlindungan terhadap kelompok masyarakat tertentu.

Dalam Bab XI pasal 15 ayat 1 huruf b P3 dicantumkan kewajiban lembaga penyiaran untuk memperhatikan dan melindungi hak dan kepentingan orang dan/atau kelompok dengan orientasi seks dan identitas gender tertentu. Lantas dalam SPS pasal 36 terkait Klasifikasi A atau tayangan untuk anak, huruf g, dicantumkan larangan penampilan hubungan asmara antara lawan jenis dan sesama jenis.

Sekalipun ada pasal yang menyatakan perlindungan hak dan kepentingan kelompok dengan orientasi seks dan identitas tertentu, KPI masih mengambil posisi kontra terhadap siaran bermuatan isu LGBT di TV maupun radio. Sikap meminggirkan kaum minoritas gender dalam tayangan di Indonesia kian terlihat dalam draf uji publik P3SPS tahun 2015. Tidak lagi ditemukan ayat serupa dalam pasal 15 P3 yang menyebutkan perlindungan terhadap kelompok berorientasi seks atau identitas gender tertentu.

Dilansir Tempo, Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad, menyatakan pada 2016 silam bahwa aturan dalam P3SPS sudah jelas, baik tentang penghormatan terhadap nilai dan norma kesusilaan dan kesopanan ataupun tentang perlindungan anak dan remaja.

KPI menilai tayangan yang mengampanyekan LGBT justru melanggar P3SPS. Bagi Idy, tayangan bermuatan isu LGBT rentan membuat anak dan remaja menduplikasi serta membenarkan perilaku menyimpang LGBT. Ia juga menambahkan,sikap KPI sejalan dengan sikap MUI, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah yang menolak promosi dan legalisasi terhadap LGBT.

Baca juga: MUI Dorong Pemidanaan LGBT

Infografik lgbt

Dimasukkannya LGBT ke dalam kategori perilaku seks menyimpang tidak terlepas dari bermacam faktor. Dalam DSM, kitab pegangan pakar psikologi American Psychiatric Association (APA), LGBT boleh saja tak lagi dianggap sebagai kelainan atau gangguan jiwa.

Namun Indonesian Psychiatric Association (IPA) belum mengakui bahwa LGBT sama normalnya dengan orang heteroseksual. Ditambah lagi interpretasi ajaran agama yang dipegang mayoritas masyarakat Indonesia yang masih menilai orang-orang LGBT adalah orang-orang yang salah, sakit, berdosa, dan lain sebagainya. Anak-anak pun mengimitasi ajaran orang dewasa yang berlandaskan interpretasi agama dan pelanggengan heteronormativitas—pandangan bahwa yang normal adalah yang heteroseksual—dalam macam-macam budaya.

Jika banyak masyarakat, termasuk pihak regulator, yang memberi batasan ekspresi kaum LGBT, lain halnya dengan pendapat Yenny Wahid dalam National Geographic Indonesia edisi ekspresi gender. Terkait isu keberagaman gender di Indonesia, Yenny menyatakan bahwa sisi kemanusiaan harus dikedepankan.

Saat ditanya sarannya untuk anak-anak Indonesia sehubungan isu gender, Yenny mengatakan, “Saya mendidik anak saya untuk berpikiran terbuka. Menerima orang lain sebagaimana adanya, dan mengajarkan mereka untuk tidak menghakimi orang lain dengan merasa paling benar. Anak-anak memiliki kepolosannya sendiri. Mengutip kata-kata Gus Dur, ‘Kalau mencintai Tuhan, kita juga harus mencintai dan menerima semua ciptaanNya.'”

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Film
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani