Menuju konten utama

Letusan Kelud 2014: Rekam Jejak Keberhasilan Literasi Kebencanaan

Warga berhasil meminimalisasi korban jiwa kala Gunung Kelud Melatus pada 2014. Buah dari kesadaran mitigasi bencana.

Letusan Kelud 2014: Rekam Jejak Keberhasilan Literasi Kebencanaan
Ilustrasi Mozaik Gunung Kelud Meletus. tirto.id/Tino

tirto.id - “Saudara-saudaraku di manapun berada... Saya ‘Ngancar Satu’, Ngaseri... menyampaikan kepada saudara-saudaraku di manapun berada, baik yang berada di lereng Gunung Kelud, Kota Kediri, Malang maupun Blitar. Bahwa status Gunung Kelud pukul 21.15 dinyatakan AWAS, untuk itu kami mengimbau untuk turun dan mengosongkan dan segera menuju ke titik-titik evakuasi yang sudah ditentukan. Kosongkan radius 10 km, kosongkan radius 10 km. Kami menghimbau untuk mengosongkan radius 10 km... segera menuju ke titik pengungsian.”

Demikian instruksi Camat Ngancar Ngaseri melalui radio komunikasi kepada seluruh warga di lereng Gunung Kelud di tiga kabupaten, yaitu Kediri, Malang, dan Blitar. Kamis itu, 13 Februari 2014—tepat hari ini 8 tahun lalu, Gunung Kelud mengalami erupsi.

Instruksi evakuasi itu mengudara dua jam sebelum Gunung Kelud meletus pada pukul 22.50. Sebanyak 87.000 warga harus diungsikan dalam waktu sependek itu.

Sejak dini hari sebelumnya, berdasarkan catatan Pos Pantau Kelud yang disebarluaskan melalui radio komunikasi dan ditempel di pendopo kecamatan, status Gunung Kelud adalah Siaga. Hingga pukul 18.00, suhu air di kawah Gunung Kelud tercatat mencapai 57 derajat Celsius.

Di hari itu, catatan pantauan aktivitas vulkanik Gunung Kelud tidak hanya dimiliki pihak kecamatan saja. Masing-masing warga juga memiliki catatan sendiri. Pihak kecamatan secara rutin mengumumkan kondisi Kelud melalui radio komunikasi pada jam-jam tertentu. Warga lantas mencatat ulang pengumuman itu di media yang ada di sekitarnya, seperti di buku tulis atau di sebalik kalender bekas.

Pengumuman itu juga direlai radio-radio gelombang FM yang mengudara di tiga kabupaten tempat Kelud gagah berdiri.

Keaktifan warga, terutama warga Ngancar, dalam mitigasi letusan Kelud merupakan budaya dan sikap diri yang tidak diperoleh secara serta-merta. Pada 2007 ketika aktivitas vulkanik Kelud menunjukkan peningkatan, warga menolak meninggalkan kampung meski sudah diperingatkan dan statusnya sudah naik menjadi Awas. Untungnya, Kelud urung meletus kala itu. Aktivitas vulkanik Kelud hanya memunculkan kubah lava selebar 100 meter di danau kawahnya.

Sebelum itu, Gunung Kelud meletus pada 1990 dan menimbulkan 34 korban jiwa.

“Pada tahun 1990, kondisinya sama. Kita mengungsikan penduduk kalau tidak ditimpuk batu tidak mau mengungsi. Dan harus ditodong senjata. Kalau sudah mencium bau aparat, dia lari ngumpet. Bagi saya, ini ironis banget,” kenang Khoirul Huda, Kepala Pos Pengamatan Gunung Api (PGA) Kelud, dalam buku rilisan BNPB Kelud Tanpa Kemelut: Rekam Jejak Inisiatif dan Kiprah Warga Dalam Tanggap Darurat Erupsi Gunung Kelud (2019, hlm. 65).

Jika Kelud benar-benar erupsi pada 2007, jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak boleh jadi tidak akan bisa terelakkan. Kesadaran warga terhadap ancaman bencana relatif masih sama seperti pada 1990.

Hal itu tercermin dalam proses evakuasi yang tunggang-langgang. Tanpa informasi yang memadai, warga berlarian dalam kebingungan dan berupaya menyelamatkan diri masing-masing. Orang tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Dalam situasi semacam itu, alih-alih terbebas dari bencana, mereka justru menghadapi tingkat risiko bencana yang semakin tinggi.

Belajar dari kekacauan informasi dan proses evakuasi pada erupsi 1990, sebuah posko radio komunikasi pun didirikan di Desa Sempu, Kecamatan Ngancar, ketika aktivitas vulkanik Kelud meningkat pada 2007.

Tumbuhnya Kesadaran Warga

Posko ini mulanya adalah paguyuban penghobi radio komunikasi yang kemudian bertransformasi menjadi sumber informasi kebencanaan terpercaya. Mereka aktif memantau informasi resmi dari pemerintah lalu menyebarluaskannya kepada masyarakat.

Salah seorang pegiat radio komunikasi menuturkan, “Saya tahun 1990 juga tahu letusan itu dulu belum ada informasi, belum ada RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia). Tahu-tahu material sudah jatuh di rumah. Dulu, mengungsi itu pascaletusan, bukan praletusan.”

Seiring waktu, kesadaran masyarakat pun tumbuh. Mereka juga turut melakukan pengamatan terhadap Kelud secara sukarela. Mulanya, pos PGA “merekrut” beberapa warga untuk membantu pemantauan. Beberapa pemuda juga sering mengunjungi pos dan mengawasi peralatan lalu perlahan-lahan belajar membaca data seismograf.

Dari rasa ingin tahu itu, mereka terus terlibat memantau situasi Kelud. Menjelang letusan 2014, keberadaan para “pengamat lokal” itu sangat membantu proses komunikasi dengan warga maupun pihak berwenang. Salah seorang pengamat lokal kemudian ditugaskan untuk terus mendampingi Ngaseri yang ditunjuk sebagai juru bicara untuk pengumuman-pengumuman berkala di radio komunikasi.

Pesan-pesan yang disampaikan kepada masyarakat selalu dibuat lugas dan sederhana. Dengan begitu, warga lebih cepat tanggap dan tahu apa yang harus dilakukan ketika status gunung Waspada, Siaga, atau Awas. Masyarakat yang waspada dan tanggap akan dapat mengungsi secara mandiri ketika status Awas diumumkan.

Dengan pendekatan ini, masyarakat diberi peran dan kepercayaan untuk menentukan nasibnya sendiri serta bertanggung jawab atas lingkungan sekitarnya. Kepada mereka juga ditanamkan bahwa mengungsi bukanlah penyangkalan diri atas kehendak alam, melainkan sikap hormat kepada alam yang tengah melakukan aktivitas (BNPB, hlm. 80-81).

Mitigasi pun kian intensif menjadi wacana sehari-hari warga. Baru pada 2011 muncul kesepakatan baru antara pemerintah dan warga. Pengungsian dapat dilakukan jika ternak warga juga diikutsertakan. Lain itu, warga diberi aktivitas di lokasi pengungsian. Warga tidak mau hanya tidur dan makan di pengungsian seperti ternak atau diperlakukan laiknya ndoro (majikan). Warga meminta bahan pangan mentah untuk mereka masak sendiri di dapur umum dan satu bidang lapangan untuk evakuasi ternak.

Infografik Mozaik Gunung Kelud Meletus

Infografik Mozaik Gunung Kelud Meletus. tirto.id/Tino

Ketika Kelud benar-benar meletus pada 13 Februari 2014, pemerintah memenuhi kesepakatan tersebut. Kunci dari keberhasilan proses evakuasi adalah sikap saling percaya yang tumbuh di antara pemerintah dan warga.

Hingga dini hari 14 Februari 2014, erupsi belum berhenti. “Erupsi Gunung Kelud masih berlangsung hingga saat ini. Erupsi pertama terjadi 22.50 WIB. Puncak gunung terlihat kilat terus-menerus yang mengindikasikan erupsi terus berlangsung. Visual kondisi gelap,” ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho sebagaimana dikutip Detik.

Letusan tersebut menimbulkan korban jiwa sebanyak tiga lansia dari Kabupaten Malang. Sebagai catatan, ketiga korban jiwa itu bukanlah akibat langsung dari letusan. Menurut Surono, ahli vulkanologi yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kelud masuk dalam daftar gunung api paling berbahaya di dunia. Ia bahkan disebut lebih berbahaya ketimbang Gunung Merapi di Yogyakarta.

“Jika kita melihat data sejarah, Gunung Kelud mengeluarkan 200 juta meter kubik abu hanya dalam dua hari, sedangkan Merapi [pada 2010] mengeluarkan abu sebanyak 150 juta meter kubik dalam satu bulan,” ujar Surono seperti dikutip The Jakarta Post.

Dahsyatnya letusan Gunung Kelud sewindu lalu telah melumpuhkan transportasi udara di seluruh Pulau Jawa. Abu dan debunya mencapai Sukabumi, Jawa Barat. Tapi di tahun itu, warga yang hidup di sekitar lereng Gunung Kelud telah berhasil memitigasi bencana. Itu adalah hasil dari proses terus-menerus mencari cara meminimalkan korban dan tak henti belajar berdamai dengan alam. Pasalnya, kita hidup di negeri cincin api yang tak bisa mengelak dari aktivitas vulkanik.

Baca juga artikel terkait ERUPSI atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Uswatul Chabibah
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi