Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Lemahnya Yogyakarta di Era Sultan HB III

Sultan Hamengkubuwana III dua periode naik takhta berkat campur-tangan penjajah.

Lemahnya Yogyakarta di Era Sultan HB III
Sultan Hamengkubuwana III. FOTO/Istimewa

tirto.id - Pangeran Suraja dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta pada 28 Juni 1812 dengan gelar Sultan Hamengkubuwana III. Tapi, ada harga yang dibayar mahal untuk itu. Sultan HB III harus kehilangan sejumlah wilayahnya, meliputi Kedu, Jipang (Blora), Japan (Mojokerto), Grobogan, dan sebagian Pacitan (Herman Pratikto, Mencari Bende Mataram, 2004:174).

Sebagai ganti atas penyerahan beberapa wilayah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta itu, Inggris memberikan uang sebesar 100.000 real saban tahunnya kepada Sultan HB III.

Itulah salah satu kesepakatan yang wajib dipenuhi oleh Pangeran Suraja kepada Thomas Stamford Raffles, Kepala Pemerintahan Inggris di Jawa. Saat itu, Inggris memang telah mengambil-alih daerah jajahan Belanda, termasuk Yogyakarta. Jika ingin naik takhta, Pangeran Suraja harus mengiyakan kehendak Raffles.

Tunduk Kepada Inggris

Selain berkewajiban melepaskan sejumlah wilayah Kesultanan Yogyakarta kepada Inggris, Sultan HB III juga masih dipaksa memenuhi dua poin lainnya. Pertama, angkatan perang milik Kesultanan Yogyakarta harus diperkecil dan hanya menyisakan beberapa prajurit keamanan kraton saja.

Dan yang kedua, Sultan HB III mesti merelakan sebagian tanah yang terletak tidak jauh dari istana kepada pamannya, Pangeran Natakusuma, yang oleh Raffles dianggap berjasa. Di area itu kemudian berdiri pemerintahan baru Yogyakarta, yakni Kadipaten Pakualaman. Pangeran Natakusuma menjadi pemimpin pertamanya dengan gelar Paku Alam I.

Baca Juga:

Infografik Sultan Hamengkubuwana III

Pangeran Natakusuma memang bekerjasama dengan Raffles (Purwadi, Perjuangan Kraton Yogyakarta: Jasa Sri Sultan Hamengku Buwono I-X dalam Memakmurkan Rakyat, 2003). Ia diminta Raffles mengawasi dan memata-matai gerak-gerik kakaknya, yakni Sultan HB II, yang tidak lain adalah ayah Pangeran Suraja.

Atas laporan Pangeran Natakusuma itulah Raffles menilai Sultan HB II telah membangkang dan tidak mau mematuhi keinginan Inggris. Maka, Sultan HB II diasingkan ke pangkalan Inggris di Pulau Penang –kini wilayah Malaysia (Djoko Marihandono & Harto Juwono, Sultan Hamengku Buwono 2, 2008:164).

Sang ayah dibuang, Pangeran Suraja justru naik takhta dengan harga yang tidak bisa lagi ditarik kembali: kedaulatan Kesultanan Yogyakarta.

Raja Boneka Belanda

Bukan sekali itu saja Pangeran Suraja alias Sultan HB III tunduk. Sebelumnya, pada Desember 1810, Pangeran Suraja juga ditunjuk menjadi Raja Yogyakarta atas campur tangan Belanda, dalam perkara yang nyaris mirip.

Pangeran Suraja pertama kali “melengserkan” ayahnya setelah terjadi polemik dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels. Belanda menuding HB II menyokong pemberontakan Raden Rangga Prawiradirja, menantu sekaligus penasihat politik sultan yang juga Bupati Madiun (Robert van Niel, Java's Northeast Coast 1740-1840, 2005:214).

Baca Juga:

Namun, sama seperti ketika berurusan dengan Raffles, bantuan Daendels menaikkan Pangeran Suraja ke kursi tertinggi Kesultanan Yogyakarta tidaklah gratis. Sultan HB III diharuskan menetapkan batas-batas wilayah kerajaan yang baru, yang antara lain menyebabkan sebagian wilayah Kedu jatuh ke tangan Belanda.

Selain itu, Daendels juga meminta kepada Sultan HB III untuk menyelenggarakan berbagai upacara, juga membiayai sejumlah agenda Belanda, termasuk mengongkosi beberapa ekspedisi yang menelan dana sebesar 196.320 gulden (Sutrisno Kutoyo, Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, 1997:118).

Demikianlah, Pangeran Suraja atau yang kemudian bergelar Sultan HB III sudah dua kali duduk nyaman di singgasana istana Yogyakarta berkat politisasi yang dilakukan bangsa asing, yakni Belanda lalu Inggris.

Masa pemerintahan Sultan HB III yang berlangsung dalam dua periode terpisah, yakni 1810-1811 dan 1812-1814, ternyata tidak berlangsung lama. Ia meninggal dunia pada 3 November 1814 dalam usia 45 tahun. Apa sebenarnya penyebab Sultan HB III wafat belum pernah terkuak secara pasti.

Baca Juga:

Sultan HB III adalah ayah Raden Mas Antawirya atau yang kelak dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro. Bahkan, Diponegoro merupakan anak sulung Sultan HB III. Namun, ia tidak dijadikan putra mahkota karena lahir dari istri selir, R.A. Mangkarawati.

Penerus HB III adalah Raden Mas Ibnu Jarot yang naik takhta saat usianya masih belia, 10 tahun, dengan gelar Sultan HB IV. Sayangnya, hidup sang raja muda terlalu singkat, hanya sampai 19 tahun. Ia tewas secara misterius ketika sedang berpesiar. Penyebab kematiannya pun masih menjadi misteri, nyaris persis dengan teka-teki akhir hidup sang ayah, Sultan HB III.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS