Menuju konten utama
Seri Kandidat Presiden Korsel

Lee Jae-myung, Capres Populis Korsel yang Tersandung Banyak Kasus

Lee Jae-myung adalah kandidat kuat presiden Korsel dengan janji-janji populis. Banyak orang suka sebanyak yang tak suka karena beragam kontroversinya.

Lee Jae-myung, Capres Populis Korsel yang Tersandung Banyak Kasus
Lee Jae-myung (57), kandidat dari partai berkuasa Democratic Party of Korea (DPK) untuk pemillihan presiden Maret mendatang, berbicara dalam konferensi pers di pabrik Kia Motors di Gyeonggi-do, Korea Selatan pada Selasa, 4 Januari 2022. (Chung Sung- Foto Jun/Kolam renang melalui AP)

tirto.id - Rakyat Korea Selatan akan memilih presiden baru pada 9 Maret mendatang. Kampanyenya telah dimulai Selasa 15 Februari lalu. Ini akan menjadi pemilihan kedelapan sejak Korsel mengalami masa demokratisasi sekaligus diprediksi menjadi kompetisi terketat dalam 20 tahun terakhir.

Meski terdapat 14 kandidat yang terdaftar di penyelenggara pemilu, hanya ada dua yang paling dijagokan, yaitu Lee Jae-myung (57) dan Yoon Suk-yeol (61). Lee berasal dari partai berhaluan sentris dan relatif liberal, Democratic Party of Korea (DPK), yang sekarang berkuasa di parlemen sekaligus pengusung presiden sejak 2017, Moon Jae-in. Sementara Yoon disokong oleh partai berhaluan konservatif yang duduk di bangku oposisi, People Power Party (PPP).

Perolehan suara keduanya dalam jajak pendapat selalu terpaut tipis. Mereka juga gemar menyerang satu sama lain dengan tuduhan yang bersifat personal, alih-alih memperdebatkan kebijakan. Lee diduga terjerat kasus korupsi, lalu Yoon diberitakan punya dukun sebagai penasihat kampanye, sementara istri-istri mereka dilaporkan pernah berperilaku tidak etis.

Tak mengherankan apabila pilpres kali ini juga disebut-sebut sebagai yang “paling tidak menyenangkan” dalam sejarah negara tersebut.

Keluarga Petani yang Jadi Pengacara

Lee Jae-myung terpilih jadi kandidat presiden dari DPK pada Oktober 2021, persisnya setelah melepas jabatan Gubernur Gyeonggi, sebuah provinsi paling padat, yang dipegang sejak 2018.

Sebelum itu, selama delapan tahun ia adalah wali kota Seongnam, kota satelit yang berjarak 20 km dari ibu kota negara, Seoul. Lee juga sempat diperhitungkan dalam bursa calon presiden pada pemilu terakhir yang berlangsung setelah pemakzulan Presiden Park Geun-hye (2013-2017).

Selama jadi kepala daerah, Lee dikenal sebagai politikus yang kebijakannya prokesejahteraan sosial, terutama untuk kalangan muda dan perempuan. Bahkan, pada 2016 lalu ia pernah mengatakan ingin jadi “Bernie Sanders yang sukses.” Sanders adalah politikus Amerika Serikat berideologi sosial demokrat.

Semua perjalanan tersebut dimulai di kota Andong, provinsi Gyeongsang Utara. Di sanalah ia lahir pada 1964. Lee datang dari latar keluarga petani yang serba kekurangan, berstatus anak kelima dari tujuh bersaudara. Karena itu pula ia terpaksa bekerja di pabrik setelah lulus SD. Lee sempat mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan lengan kiri bengkok. Itu membuatnya terbebas dari wajib militer.

Meski sulit secara ekonomi, Lee tetap memandang serius pendidikan. Ia pun berhasil lulus ujian kesetaraan SMP dan SMA. Saat berusia 18, Lee mendapatkan beasiswa untuk kuliah hukum di Chung-Ang University Law School di Seoul.

Melansir profil Lee dari laman berita Hankyoreh, motivasinya kala itu tak lain ingin jadi kaya raya supaya bisa membahagiakan ibu yang selama ini hidup susah.

Cara pandang banyak orang kerap ditentukan oleh pengalaman di bangku kuliah. Pun dengan Lee. Ia tak lagi menganggap kuliah sekadar untuk kaya. Hal ini terjadi setelah mempelajari kebenaran menyakitkan di balik Pembantaian Gwangju pada 1980. Ketika itu tuntutan demokratisasi oleh mahasiswa dan sipil dibalas dengan kekejaman oleh rezim militer di bawah pemimpin de facto Korsel, Chun Doo-hwan.

Dalam buku yang terbit pada 2017, Lee menulis, “Gwangju adalah penyelamat, guru, sekaligus akar dari kesadaran sosial saya.”

Setelah resmi jadi pengacara pada 1986, Lee memutuskan berkecimpung dalam advokasi hak asasi manusia dan hak-hak kaum buruh. Masih melansir artikel Hankyoreh, di firma hukumnya di Seongnam, Lee dikabarkan memasang pigura bertuliskan “Membela kehidupan rakyat”. Lee juga aktif dalam gerakan masyarakat sipil yang lebih luas, termasuk ikut mengungkap skandal proyek pemukiman di salah satu distrik.

Kiprah dan Kebijakan Politik

Dorongan untuk terjun ke dunia politik mulai muncul pada 2004, ketika advokasi Lee untuk pembangunan rumah sakit daerah ditolak oleh pemerintah Seongnam yang kala itu dikuasai oleh kubu konservatif. Ia sadar bahwa menjadi kelompok penekan saja tak cukup. Yang dibutuhkan adalah meraih kekuasaan.

Beberapa kali Lee mencoba peruntungan di politik lokal, namun baru pada 2010 terpilih jadi wali kota Seongnam.

Langkah pertamanya waktu itu adalah menyelamatkan anggaran daerah. Seiring itu, ia juga menggencarkan program kesejahteraan sosial bagi kelompok rentan, seperti memberikan upah atau pendapatan dasar (basic income) untuk kaum muda, layanan kesehatan gratis untuk ibu-ibu melahirkan, sampai seragam sekolah gratis.

Salah satu proyek besarnya sebagai wali kota adalah mendirikan rumah sakit baru dengan fasilitas kamar yang banyak—kelak jadi rumah sakit rujukan nasional saat pandemi Covid-19. “Menjaga masyarakat dari bencana dan penyakit menular dengan menyediakan layanan kesehatan publik adalah salah satu kewajiban dasar pemerintah, dan dari situlah karier politik saya dimulai,” ucap Lee, yang kembali terpilih sebagai wali kota pada 2014.

Tak berapa lama setelah Lee terpilih kembali, gelombang protes menggoyang pemerintahan pusat yang konservatif milik Presiden Park Geun-hye. Menjelang pemakzulan pada awal 2017, nama Lee masuk dalam daftar kandidat presiden yang dijagokan oleh kubu liberal, DPK.

Dalam konteks itulah Lee mengatakan bahwa ia berambisi mengurangi jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. Cita-cita lainnya adalah merombak korporat-korporat raksasa chaebol seperti Samsung atau Hyundai yang ia pandang sudah mendominasi ekonomi dan kerap terjerat masalah suap dan korupsi.

Pandangan antikemapanan Lee sempat disambut baik oleh sejumlah masyarakat yang merasa gerah dengan kelakuan para elite politik, terutama setelah terbongkarnya penyalahgunaan wewenang, nepotisme, sampai korupsi di bawah pemerintahan Park Geun-hye.

Tapi Lee gagal jadi presiden. Ia harus puas duduk di peringkat ketiga. Moon Jae-in keluar sebagai kandidat pilihan dan berhasil menjabat presiden sampai hari ini (masa jabatan presiden lima tahun dan dibatasi satu periode).

Satu tahun setelah gagal maju pilpres, Lee terpilih jadi gubernur Gyeonggi, provinsi dengan 13 juta populasi jiwa. Lee masih meneruskan kebijakan andalannya sejak jadi wali kota, misalnya menggelontorkan bantuan tunai langsung untuk kaum muda. Lee juga dipuji berkat kesigapannya menangangani pandemi Covid-19, seperti menginisiasi aturan pembatasan berkumpul, menegur komunitas gereja karena infeksi merebak dari sana, dan memerintahkan tes Covid-19 untuk warga asing.

Lee juga gencar mengadvokasikan pendapatan dasar untuk menyokong warga selama pandemi. Di provinsinya, warga mendapatkan bantuan 100 ribu won (sekitar Rp 1,2 juta) yang harus dihabiskan dalam tiga bulan untuk mempercepat pemulihan ekonomi lokal. Pada 2020 pula Lee mengajukan proposal ke pemerintah pusat agar warganya bisa menerima 500 ribu won (sekitar Rp6 juta) per tahun—yang diharapkan suatu hari nanti bisa diberikan setiap bulan.

Saat itu Lee yakin bahwa upah dasar universal akan jadi “topik utama” untuk pemilu presiden mendatang.

Target-target tersebut memang bombastis, dan Lee sadar tentang itu. “Tapi,” ucap Lee, “kami harap hal itu bisa tercapai dalam 15-20 tahun dengan cara memperkuat pajak tanah, yang merupakan aset publik, emisi karbon dioksida dari pembakaran bahan bakar fosil, dan layanan digital yang dikembangkan menggunakan data yang telah kami hasilkan.”

Pertengahan 2021 lalu, Lee sempat dikritik “populis” karena berniat memberikan dana bantuan universal Covid-19 kepada seluruh penduduk provinsi, alih-alih warga dalam kelompok pendapatan 88 persen terbawah yang rencananya sudah disetujui parlemen. Pada akhirnya Lee berhenti mempromosikan proposal tersebut dan lebih fokus mempersiapkan diri sebagai kandidat presiden.

Pendapatan dasar universal ternyata memang jadi program andalan Lee sebagai kandidat presiden. Kebijakan ini rencananya akan diterapkan bertahap, dimulai untuk kaum muda, petani, dan nelayan. Ia berjanji akan mengusahakan upah dasar sampai satu juta won atau sekitar Rp12 juta per tahun untuk setiap warga negara—dan dua kali lipat untuk kalangan usia 19-29.

Terkait layanan kesehatan, Lee berwacana memperluas asuransi kesehatan nasional agar bisa mengover penanganan implan gigi dan penanganan rambut rontok bagi warga yang mengalami kebotakan.

Untuk mengatasi problem harga rumah mahal karena liarnya spekulasi pasar, Lee memperkenalkan sistem sewa unit rumah di lahan negara. Menurutnya, tanah publik, sebagai aset negara, perlu diberdayakan dengan cara disewakan dengan harga terjangkau. Hal itu lebih baik daripada mendorong kepemilikan properti pribadi.

Lee juga ingin melindungi masyarakat dari jeratan pinjaman ilegal atau lintah darat dengan memperbolehkan setiap orang untuk mengajukan kredit sampai 10 juta won (Rp120 juta) yang bunganya bisa dibilang rendah, sekitar 3 persen.

Kritik dan Skandal

Kritik terhadap kebijakan menggiurkan Lee lekas bermunculan. Sejumlah pengamat memperkirakan Lee bakal kesulitan membiayai proyek-proyek mahalnya itu. Ia juga dipandang kurang berpengalaman karena belum pernah menjadi anggota dewan atau pengambil kebijakan di National Assembly, padahal riwayat bernegosiasi langsung di parlemen dipandang penting sebagai bekal menjadi presiden sukses.

Situasi bertambah runyam seiring terungkapnya skandal keluarga Lee. Anak laki-lakinya suka bermain judi ilegal. Istri Lee, Kim Hye-kyung, sudah menyalahgunakan jabatan suaminya saat jadi gubernur. Kim diketahui pernah memerintahkan pegawai yang bekerja untuk kantor suaminya agar jadi pesuruh pribadi. Kim juga menggunakan kartu kredit yang diterbitkan kepada pemerintah provinsi untuk memenuhi keperluan pribadi.

Lee sendiri kerap disorot karena cara bicaranya yang blak-blakan dan terkesan sembrono. Dua tahun silam, misalnya, ia pernah bersilat lidah dengan politikus konservatif Kim Moo-sung yang mengkritisi kebijakan ekonomi Presiden Moon sebagai “monster yang tak seharusnya dilahirkan.” Lee meresponsnya dengan jawaban, “monster sesungguhnya adalah Anda [Kim] yang memanipulasi urusan negara.” Lee bermaksud menyinggung Kim karena kasus korupsi Presiden Park Geun-hye, yang sama-sama berasal dari partai konservatif.

Lee juga tidak bisa menahan mulut ketika berada di layar kaca. Tahun lalu, dalam sebuah acara debat, ia berkata, “Haruskah saya copot celana saya lagi?” ketika ditanya tentang kasus dugaan perselingkuhannya dengan artis Kim Bu-seon. Kim mengklaim Lee punya semacam tahi lalat di bagian tubuh tertentu.

Tak hanya di forum publik, Lee diketahui pernah mengeluarkan makian-makian kasar terhadap mendiang kakak ipar perempuannya melalui telepon.

Infografik Lee Jae Myung

Infografik Lee Jae Myung. tirto.id/FUad

Lee juga bukan kandidat yang digemari oleh kalangan pemilih perempuan. Desember silam, sekelompok organisasi perempuan melancarkan protes karena Lee pernah membela keponakannya di pengadilan atas kasus pembunuhan dua perempuan pada 2006. Mereka juga kecewa karena kedekatan Lee dengan komunitas daring misoginis yang didominasi laki-laki berusia 20-30 tahun, misalnya FM Korea.

Dalam beberapa tahun belakangan, gelombang antifeminis yang dipelopori laki-laki muda menyapu Korsel. Lee, dalam rangka memperluas basis pemilih, berusaha menarik simpati mereka. November silam, Lee menulis di laman Facebook, “Sama seperti Anda yang tidak boleh didiskriminasi karena menjadi seorang wanita, tidak benar juga apabila seorang didiskriminasi karena menjadi laki-laki.” Masih di platform yang sama, Lee menyebarluaskan surat anonim dari komunitas daring yang berpendapat bahwa “kegilaan” akibat feminisme harus diakhiri.

Pandangan Lee terkait isu gender sangat berlawanan dengan Presiden Moon, yang menang pemilu salah satunya karena agenda pemberdayaan perempuan.

Dari sekian banyak kontroversi tentang Lee, yang cukup ramai disorot adalah dugaan korupsi dan suap saat menjabat sebagai wali kota Seongnam. Skandal berpusar pada dugaan bahwa pemerintah kota memberikan perlakuan istimewa terhadap segelintir investor dari sektor swasta agar mereka dapat profit lebih besar.

Lebih dari itu, muncul tudingan bahwa Lee berhubungan dengan pihak-pihak dari kejahatan terorganisasi. Seorang mantan anggota gangster mengaku bahwa Lee menerima suap 2 miliar won (sekitar Rp24 miliar) dari grup yang sudah dibantu dalam proyek pembangunan pemkot tersebut.

Seiring investigasi terhadap kasus ini berlangsung, sedikitnya tiga orang saksi sudah meninggal dunia karena bunuh diri.

Baca juga artikel terkait KOREA SELATAN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Mild report
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino