Menuju konten utama

Ledakan PHK Buruh Tak Terhindari jika Tembakau Setara Narkotika

Penyetaraan tembakau dengan narkotika dinilai bakal mengebiri ekosistem pertembakauan nasional, sekaligus mematikan hajat hidup tenaga kerja yang terkait.

Ledakan PHK Buruh Tak Terhindari jika Tembakau Setara Narkotika
Sejumlah buruh mengerjakan pelintingan rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (20/4/2018). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

tirto.id - Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menolak pasal zat adiktif pada RUU Kesehatan yang tengah digodok oleh pemerintah dan DPR. Beleid kesehatan ini dinilai bakal mengebiri ekosistem pertembakauan nasional, sekaligus mematikan hajat hidup para tenaga kerja yang terkait dengan usaha tembakau terutama para petani.

Juru Bicara KNPK, Moddie Alvianto Wicaksono menyatakan, ada beberapa ketentuan dalam draf RUU Kesehatan yang akan merugikan ekosistem pertembakauan. Misalnya soal pasal penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika.

Ketentuan ini menurut Moddie tentu tak layak, mengingat tembakau merupakan produk yang legal dikonsumsi, sementara narkotika dan psikotropika merupakan produk ilegal dikonsumsi.

“Salah satunya ini akan berdampak dari Pasal 154 yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika. Petani tidak akan bisa menanam tembakau karena akan dianggap tanaman ilegal padahal nilai ekonominya sangat tinggi. Buruh pabrik kretek dapat terkena PHK secara menyeluruh. Para perokok akan mendapatkan stigma jahat karena mengonsumsi barang ilegal,” paparnya dalam keterangannya Jakarta, Jumat (26/5/2023).

Tak hanya secara substansial, Moddie juga menilai sejatinya pengaturan soal tembakau yang ada dalam draf RUU Kesehatan bukan hanya berlebihan, melainkan juga tumpang tindih dengan beberapa regulasi yang ada saat ini. Pertama soal standardisasi kemasan produk tembakau yang termaktub pada pasal 156, termasuk di dalamnya soal peringatan kesehatan.

Moddie bilang, ketentuan soal peringatan kesehatan sudah diatur pada PP 109/2012. Sementara soal standardisasi kemasan dan jumlah batang dalam kemasan sudah diatur dalam PMK 217/2021 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU 39/2007 tentang Cukai. Tumpang tindih antar regulasi ini tidak hanya kontraproduktif dengan tujuan pemerintah dalam upaya pemangkasan regulasi, melainkan juga dapat mengganggu iklim berusaha di tanah air.

“Ada lagi, Pasal 157 pada RUU Kesehatan yang akan menghilangkan kewajiban dalam menyediakan tempat khusus merokok. Ini tentu sama saja dengan menghilangkan hak konstitusi perokok yang dijamin dalam UU 36/2009 atau UU Kesehatan sebelumnya. Jika sampai disahkan, maka ini akan merugikan bagi perokok dewasa. Karena bagaimanapun rokok merupakan barang legal, sehingga wajib disediakan ruang merokok,” sambung Moddie.

Moddie menambahkan agar pemerintah dan DPR yang tengah menggodok RUU Kesehatan ini mengeluarkan pasal-pasal terkait tembakau dari RUU tersebut. Sebab menurut Moddie imbas dari matinya Industri Hasil Tembakau bukan hanya akan dirasakan oleh pelakunya, melainkan juga bagi pemerintah sendiri.

Maklum saja, Industri Hasil Tembakau berkontribusi hingga 10 persen dari penerimaan negara melalui pajak dan cukai atau setara Rp 260 triliun. Ini belum menghitung dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja dan rantai industrinya yang imbasnya akan dirasakan oleh jutaan tenaga kerja.

“KNPK menolak RUU Kesehatan karena akan mengancam sekaligus mematikan hajat hidup pelaku industri hasil tembakau. Kami juga mendorong agar pasal terkait pengaturan produk tembakau dalam RUU Kesehatan ini bisa dicabut agar tidak menimbulkan polemik bagi Industri Hasil Tembakau,” ucap Moddie.

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan bahwa Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan tidak menyetarakan tembakau sama dengan narkotika. Pernyataan ini merespons anggapan dari berbagau pihak menyebut bahwa Pasal 154 Draf RUU Kesehatan soal zat adiktif menjadikan tembakau sejajar dengan narkotika.

"Perlu diluruskan lagi jadi tidak rokok itu masuk narkotika, jangan. Itu membuat dilema bagi perusahaan dan masyarakat," ujar Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril saat dihubungi Tirto, Sabtu (20/5/2023).

Syahril mengatakan masih banyak pemahaman keliru terhadap pasal 154 dalam draf RUU Kesehatan soal zat adiktif dalam rokok. Zat adiktif sendiri adalah suatu zat yang terkandung dalam obat-obatan dan bahan-bahan aktif yang bila dikonsumsi akan menyebabkan ketergantungan.

"Jadi sebetulnya itu kan pemahamannya belum selesai sehingga menimbulkan presepsi," terangnya.

Dia menjelaskan zat adiktif sendiri terbagi tiga golongan. Diantaranya adalah: zat adiktif bukan narkotika dan psikotropika, zat adiktif narkotika, dan zat adiktif psikotropika.

Rokok sendiri termasuk ke dalam zat adiktif pertama karena memgandung nikotin. Akibat nikotin yang merupakan zat adiktif, tidak heran sebagian besar perokok sangat sulit untuk menghentikan kebiasaannya.

"Adiktif itu berarti membuat ketergantungan. Rokok adalah zat adiktif betul tetapi tergantung terhadap pemakainya. Jadi tidak serta merta rokok ini tidak masuk ke dalam zat psikotropika dan tidak masuk dalam narkotika," tegasnya.

Dia lantas menduga narasi yang dibangun beberapa pihak mengenai penyerataan rokok sama dengan narkotika erat berkaitan dengan tahun politik. Sehingga wajar banyak pihak yang termakan dengan narasi tersebut.

"Narasinya saja, karena kan lagi tahun politik menjadi tidak sehat. Jadi sebenarnya kita tidak memasukan rokok dalam narkotika," tegasnya.

Baca juga artikel terkait RUU KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang