Menuju konten utama

Lebih Kecil dari Inflasi, Kenaikan Upah 2022 Dinilai Tak Layak

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, kenaikan upah yang diberikan pemerintah untuk pekerja tidak layak.

Lebih Kecil dari Inflasi, Kenaikan Upah 2022 Dinilai Tak Layak
Ilustrasi Uang Rupiah Kertas. foto/istockphoto

tirto.id - Pemerintah memproyeksikan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 dengan rata-rata sebesar 1,09%.

Angka ini jauh di bawah tuntutan kenaikan upah dari buruh yaitu sebesar 10 persen. Menanggapi tipisnya angka kenaikan upah yang ditetapkan pemerintah di 2022, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, kenaikan upah yang diberikan pemerintah untuk pekerja tidak layak.

"Jadi upah ini mencerminkan keberpihakan pemerintah kepada buruh sangat kecil, kemudian inflasi di tahun depan diperkirakan bisa lebih dari 4 persen, artinya ada tekanan inflasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan upahnya," jelas dia kepada Tirto, Kamis (18/11/2021).

Bhima menjelaskan, ada beberapa resiko yang akan terjadi jika kenaikan upah hanya 1,09 persen di tahun depan. Hal pertama yang akan terjadi adalah turunnya daya beli masyarakat, kemiskinan yang meningkat sampai melambatnya pemulihan ekonomi.

"Kenaikan upah minimum justru memperluas kesempatan kerja dan itu positif terhadap multiplayer pada perekonomian. Adapun saya juga coba hitung, misalkan upah pekerja di Yogyakarta Rp1,7 jutaan misalnya harus menanggung 4 orang anggota keluarga, ya enggak cukup. Garis kemiskinannya aja sekitar Rp380 ribu. Artinya saat satu orang ini menanggung 4 orang lainnya dalam satu keluarga. Maka UMP tidak akan mencukupi," jelas dia.

Bhima menjelaskan, seharusnya kenaikan upah di tahun depan menjadi stimulus untuk mempertebal jaring pengaman sosial selain bansos. Seharusnya Kementerian Ketenagakerjaan lebih mengkaji dampak dari kenaikan upah dengan nilai yang lebih layak.

Hal itu akan memberikan multiplayer efek lain berupa meningkatnya konsumsi, ketahanan ekonomi masyarakat sampai membantu perekonomian secara nasional pulih.

"Ini [kenaikan upah layak] juga kan sebagai stimulus ekonomi kalau upah minimum ini naik otomatis daya belinya jauh lebih baik maka yang diuntungkan adalah para pengusaha. Khususnya para pengusaha di sektor retail. Nah ini logika berfikirnya saya kira agak menyesatkan bahwa klaim pemerintah soal upah pekerja Indonesia saat ini sudah ketinggian itu dasarnya tidak relevan," jelas dia.

Bhima mengatakan, ada pemahaman keliru yang digunakan pemerintah dalam melihat kondisi perekonomian nasional dalam rangka menetapkan besaran upah minimum 2022. Argumen pemerintah yang menyebut kenaikan upah yang terlalu tinggi bisa membebani kalangan usaha dan menghambat pemulihan ekononomi, adalah salah.

Ia mengacu pada kajian yang dilakukan David Card, ekonom dan pengamat perburuhan dari Universitas California yang berhasil meraih penghargaan Nobel pada 2021.

“Yang menarik itu, dari David Card, menunjukkan bahwa justru kenaikan upah minimum itu tak membuat pengangguran mengalami kenaikan, justru sebaliknya," kata dia.

Bhima melanjutkan, dengan upah yang layak, buruh atau pekerja jadi memiliki daya beli yang lebih baik. Kemampuan mereka untuk belanja pun meningkat dan kondisi ini bisa meningkatkan konsumsi terhadap berbagai produk. Bagi Indonesia dengan karakteristik ekonomi yang dipengaruhi oleh konsumsi masyarakat, kata Bhima, teori ini relevan.

“Upah minimum dinaikkan, ekonomi bergerak lebih tinggi. Maka pengusaha akan membuka lowongan kerja baru,” kata Bhima.

Menurutnya, kajian tersebut sangat relefan bila dikaitkan dengan profil ekonomi tanah air yang digerakkan oleh konsumsi rumah tangga.

Sederhananya, dengan upah yang layak, buruh bisa memiliki daya beli yang lebih baik yang bisa mendorong tingkat konsumsi rumah tangga. Secara nasional, kenaikan daya beli ini bisa mempercepat bergeraknya kembali perekonomian nasional.

Sebaliknya, bila pemerintah gagal menaikkan daya beli masyarakat, maka yang akan terjadi adalah lesunya penjualan barang-barang ritel yang membuat sektor Industri ritel yang sangat mengandalkan konsumsi masyarakat akan semakin tertekan dan menderita.

Bhima menegaskan, sah-sah saja pemerintah menetapkan UMP dengan besaran kenaikan yang sangat tipis. Namun ada konsekuensi yang harus ditempuh yakni meningkatkan alokasi bantuan sosial kepada masyarakat agar daya belinya terjaga.

"Kalau memang pemerintah kekeh dengan upah yang naiknya hanya 1 persen maka konsekuensinya adalah belanja sosial pada para pekerja dinaikan di atas 10 persen di tahun depan," tandas dia.

Sebelumnya, Kementerian Ketenagakerjaan memproyeksikan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2022. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri menjelaskan dari beberapa provinsi mengalami kenaikan UMP namun DKI Jakarta tetap menjadi kota paling tertinggi upah minimumnya. Adapun rata-rata kenaikan UMP di 2022 ada di angka 1,09%.

"Ada 34 provinsi, ada 4 provinsi yang nilai upah minimum 2021 lebih tinggi dari batas atas upah minimum, sehingga UMP 2022 ditetapkan sama dengan upah minimum tahun 2021," jelas dia dalam Seminar Terbuk Proses Penetapan Upah Minimum 2022 secara virtual, Senin (15/11/21).

Keputusan direspons keras oleh serikat buruh. Salah satunya Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) memprotes keputusan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang telah mengumumkan rata-rata kenaikan UMP 2022 sebesar 1,09 persen.

Presiden ASPEK Mirah Sumirat mengatakan berdasarkan PP No. 36 tahun 2021, kenaikan UMP 2022 tertinggi adalah di DKI Jakarta sebesar Rp4.453.724 dari sebelumnya di 2021 sebesar Rp4.416.186,548.

Artinya hanya naik sebesar Rp37.538. Sedangkan kenaikan terendah UMP tahun 2022 adalah di Jawa Tengah menjadi sebesar Rp1.813.011, atau hanya naik sebesar Rp14.032 dibanding UMP 2021 sebesar Rp1.798.979.

Baca juga artikel terkait UMP 2021 atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Nur Hidayah Perwitasari