Menuju konten utama
28 Maret 1830

Lebaran Terakhir Diponegoro di Tanah Jawa

Diponegoro ditangkap waktu berlebaran bersama Letnan Jenderal De Kock. Penangkapan itu menandai akhir perlawanan sang pangeran di Tanah Jawa.

Lebaran Terakhir Diponegoro di Tanah Jawa
Ilustrasi Mozaik Pangeran Diponegoro. tirto.id/Sabit

tirto.id - Militer Belanda di bawah Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang bersahabat, membiarkan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya berpuasa dengan damai di sekitar pegunungan Menoreh. Namun, ini malah membuat Diponegoro dan pengikutnya jadi lengah, sampai akhirnya Diponegoro ditangkap dengan mudah saat hari lebaran.

Ini berawal saat Diponegoro sedang tak ingin menangani persoalan serius selama menjalani puasa-puasanya di 1830—yang bertepatan dengan 1245 hijriah. Merespons hal itu, lawan sang Pangeran, yakni Letnan Jenderal de Kock setuju. “Diponegoro sudah mengatakan, dalam bulan puasa yang akan berakhir 27 Maret 1830, ia tidak mau mengadakan pembicaraan apa pun,” tulis P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (2002).

Di masa-masa keterpurukan, Diponegoro menyempatkan diri beramah-tamah dengan lawannya. “Hanya selepas bulan puasa pembicaraan yang lebih serius dapat dilakukan,” tulis Peter Carey, dalam bukunya Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (2014).

Hari pertama puasa atau 1 Ramadhan 1245 hijriah itu jatuh pada 25 Februari 1830. Masa-masa di bulan puasa, juga digunakan sang Pangeran untuk beristirahat. Sang Pangeran bahkan sempat dirawat oleh dokter militer di garnisun militer Belanda yang cukup kuat di sekitar pegunungan Menoreh karena gejala malarianya kambuh.

Pada tengah hari 8 Maret 1830--hari ke-12 Ramadhan, Diponegoro dan pasukan bertombaknya memasuki kota Magelang untuk sebentar bertemu Letnan Jenderal de Kock dan pejabat lain di kantor Residen Kedu. Menurut Carey, dia masuk bersama “para panglimanya yang masih muda-muda, serta anggota rombongan yang jumlahnya sudah membengkak menjadi 800 orang.” Dalam pertemuan itu, tulis Carey, "de Kock dan Diponegoro saling cerita bertukar lelucon dan menemukan mata saat bertemu."

Tidak ada penangkapan atau pertikaian pada hari itu, meski de Kock bisa saja melakukannya. Jika Diponegoro diringkus saat itu juga, menurut Carey, “Belanda takut mereka akan menghadapi pertempuran baru lagi jika pemimpin Perang Jawa itu ditangkap secara paksa dengan kekuatan militer.”

Letnan Jenderal de Kock merasa, Diponegoro bisa saja kabur dan terus melawan lagi lain waktu bila dibiarkan. Panglima tertinggi tentara Belanda itu juga sadar, sebagaimana dikutip Carey, “[Penangkapan macam itu] tidak terpuji, tidak ksatria, dan curang karena Diponegoro telah datang ke Magelang dengan niat baik bertemu saya.”

Lain itu, Johannes van den Bosch--gubernur jenderal yang berkuasa saat itu--juga menilai penangkapan yang tergesa-gesa tidaklah bijak. Bagaimana pun, “Diponegoro masih memiliki banyak pendukung, di mana orang menghormati dan mengelu-elukan dia,” lapor van den Bosch ke petinggi kerajaan Belanda—seperti dikutip Carey juga dalam bukunya. Itulah kenapa armada Belanda di bawah Letnan Jenderal de Kock memilih tak segera menindak.

Setelah pertemuan itu, Diponegoro dan pengikutnya berkemah di Matesih, sebuah daerah di tepi Kali Progo. Di mana perwira bernama Mayor Francois Victor Henri Antoine Ridder de Steur, yang tak lain mantu de Kock, melukis perkemahan tersebut.

Carey mencatat, Belanda nyatanya tak semurah hati itu. Residen Yogyakarta Frans Gerhardus Valck menempatkan Tumenggung Mangunkusumo dalam rombongan Diponegoro sebagai mata-mata. Dialah pemasok laporan yang membuat Letnan Jenderal de Kock jadi makin menganggap Diponegoro bahaya besar. Berdasar laporan, Diponegoro tetap berkeras agar diakui sebagai Sultan di bagian selatan Jawa.

Pada 25 Maret 1830 atau dua hari jelang lebaran, Letnan Jenderal de Kock sudah memutuskan untuk berlaku “tidak terpuji, tidak ksatria dan curang” kepada Diponegoro. Letnan Kolonel du Perron dan Mayor A.V. Michels diperintahkannya mempersiapkan pasukan di sekitar kantor Residen Kedu. Untuk mengamankan penangkapan sang Pangeran jika datang nanti. Penjagaan pun meningkat dua kali lipat.

Infografik Mozaik Diponegoro dan lebaran 1830

Infografik Mozaik Diponegoro dan lebaran 1830. tirto.id/Fuad

Lebaran 1 Syawal 1245 tahun itu jatuh pada 26 Maret 1830. Sementara menurut sumber lain, termasuk Carey, lebaran hari pertama jatuh pada 27 Maret 1830. Namun, terlepas dari tanggal mana yang akurat, itu adalah kali terakhir sang Pangeran menikmati lebaran di Tanah Jawa.

Sehari setelah lebaran, 28 Maret 1830--tepat hari ini 191 tahun silam, Diponegoro mengadakan pertemuan dengan Letnan Jenderal de Kock. Residen Valck menyambut Diponegoro dan mempertemukannya dengan de Kock. Pertemuan itu digadang-gadang jadi momentum tawar menawar terkait bagaimana mengakhiri Perang Jawa dan keinginan adanya kesultanan baru di selatan Jawa.

Menurut catatan Peter Carey, Diponegoro masuk ke tempat perundingan dengan didampingi ketiga putranya, dua punakawan, dan penasihat agama. Perwira-perwira menengah Belanda seperti Letnan Kolonel Roest, Mayor de Steur, Kaptep J.J. Roeps sang penerjemah juga ada di dalam gedung.

Komandan Artileri Letnan Kolonel Aart de Kock van Leeuwen dan komandan kaveleri Mayor Johan Jacob Perie di luar mengawasi pengikut Diponegoro sambil berbaur. Tak ada rasa curiga dari pihak Diponegoro yang terlanjur percaya pada Belanda yang membiarkan mereka bebas sebulan berpuasa tanpa perang. Lagi pula, hari itu masih suasana lebaran, yang membuat siapa saja yang merayakan tak terpikir untuk melakukan kekerasan. Namun, Diponegoro dan pengikutnya lupa bahwa Belanda adalah musuh mereka.

Letnan Jenderal De Kock merancang agar Pangeran tak perlu kembali ke Metesih dan tinggal di Keresidenan saja selama perundingan. Diponegoro bingung dengan ucapan jenderal Belanda itu.

“Saya hanya sebentar menemuimu untuk kunjungan ramah-tamah, sebagaimana adat Jawa setelah bulan puasa. Mereka yang muda pergi mendatangi rumah mereka yang lebih sepuh untuk meminta maaf atas semua kesalahan yang dilakukan tahun yang lewat. Dalam hal ini engkau, Jenderal, adalah pihak yang lebih tua,” jelas Diponegoro.

Ucapan penuh hormat ini tentu tak akan memengaruhi de Kock yang sejak awal tidak berniat membiarkan Diponegoro pergi.

“Alasan saya (ingin) menahan(mu) ialah karena karena saya ingin membuat semua persoalan di antara kita menjadi jelas hari ini,” kata de Kock.

Diponegoro makin heran dengan orang-orang Belanda yang dia datangi untuk lebaran justru bicara masalah politik yang agak berat. Dia belum siap untuk bicara masalah politiknya. Diponegoro melihat de Kock begitu ingin menangkapnya dan meyakinkan jika dia tak ingin apapun kecuali jadi kepala agama Islam di Jawa dan gelar Sultan. Namun, banyak narasi menyebut kala itu Diponegoro sedang mulai berunding dengan Belanda dan menemui jalan buntu.

Apa yang terjadi setelahnya adalah, Diponegoro ditangkap dan dipisahkan dari pengikutnya. Pada Mei-Juni tahun itu, ia diberangkatkan ke Sulawesi oleh Belanda untuk menjalani pengasingan. Hingga tahun-tahun berikutnya, puasa dan lebaran Diponegoro harus dihabiskan di Manado dan kemudian Makassar.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 27 Juni 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra & Fadrik Aziz Firdausi