Menuju konten utama

LBH Jakarta: Pengusutan Kebakaran Lapas Tangerang Harus Transparan

Transparansi tersebut untuk menentukan adanya tidaknya unsur kelalaian dan/atau kesengajaan dalam peristiwa kebakaran lapas.

LBH Jakarta: Pengusutan Kebakaran Lapas Tangerang Harus Transparan
Petugas Pemadam Kebakaran berjibaku memadamkan api yang melalap satu toko bahan bangunan di Tangerang. ANTARA/Azmi Samsul Maarif

tirto.id - Blok Chandiri 2 Lapas Kelas I Tangerang dilumat jago merah, sekira pukul 01.50, 8 September 2021. Sebanyak 44 orang tewas dalam kejadian ini. Berdasarkan penyelidikan awal, penyebab kebakaran ialah korsleting.

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mendesak agar proses penyelidikan dan penyidikan kasus ini dilakukan secara transparan dan akuntabel. “Untuk menentukan tentang adanya tidaknya unsur kelalaian dan/atau kesengajaan dalam peristiwa kebakaran lapas tersebut,” kata pengacara publik LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora, Kamis (9/9/2021).

Jika ditemukan kelalaian dan/atau kesengajaan, polisi pun dapat menghukum terduga pelaku berdasarkan Pasal 359 KUHP maupun digugat berdasarkan Pasal 1366 KUHPerdata dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan/Pejabat bagi keluarga korban.

LBH Jakarta juga meminta pemerintah meninjau kembali sistem hukum narkotika nasional yang cenderung memidanakan pecandu narkotika sehingga menyebabkan kelebihan penghuni lapas. Satuan-satuan narkotika di tubuh Polri dan BNN pun harus ditinjau efektivitasnya karena perkara narkotika tak rampung.

Lapas Kelas I Tangerang berdaya tampung 600 orang, namun dihuni oleh 2.072 orang warga binaan, yang artinya kelebihan kapasitas sebesar 250 persen dari daya tampung normal.

“Blok yang terbakar juga adalah blok khusus narkotika. Kondisi tersebut bisa dibilang sebagai salah satu penyebab banyaknya korban jiwa dalam kebakaran ini,” kata Nelson. Salah satu yang menjadi penyebab lapas kelebihan penghuni adalah sistem peradilan pidana yang masih mengutamakan pidana pemenjaraan ketimbang pemidanaan non-penjara sebagaimana dijelaskan dalam UN Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures atau dikenal sebagai “Tokyo Rules”.

Dalam Tokyo Rules disebutkan bahwa tujuan dari pemidanaan non-penjara adalah menerapkan alternatif hukuman yang efektif bagi pelaku tindak pidana serta memberikan keseimbangan yang tepat antara hak individu pelaku tindak pidana, hak korban, dan kepentingan masyarakat.

Lembaga itu menilai pendekatan keadilan restoratif harus dikedepankan oleh kepolisian dan kejaksaan dalam penegakan hukum yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia. “Untuk pecandu harus direhabilitasi dan harus dilakukan pula evaluasi terhadap satuan-satuan narkotika mulai dari Polri hingga BNN karena hingga kini masalah narkotika tak kunjung selesai.

Sementara, anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyorot kelebihan kapasitas pada Lapas Tangerang. "Itu memang masalah klasik lapas kita (Indonesia)," ujar dia kepada Tirto, Rabu (8/9). Ia meminta Kementerian Hukum dan HAM mengaudit seluruh lapas di negara ini dan mesti ada perubahan sistem keamanan di setiap lapas agar insiden kebakaran tidak terulang.

Baca juga artikel terkait KEBAKARAN LAPAS atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri