Menuju konten utama

LBH Jakarta: Penanganan Kasus HAM Era Jokowi Jalan di Tempat

Indikator lain terkait penanganan kasus pelanggaran HAM juga muncul, seperti dikeluarkannya Perppu Ormas yang dinilai melanggar hak untuk berpikir, berkeyakinan, berkumpul, berpendapat, dan berorganisasi.

LBH Jakarta: Penanganan Kasus HAM Era Jokowi Jalan di Tempat
Peserta Kamisan sedang menyimak sesi Refleksi pada Aksi Kamisan 516 di depan Istana Negara, Kamis (30/11/2017). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Penanganan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai jalan di tempat. Salah satu indikator itu tampak dari masih digelarnya aksi Kamisan di depan Istana Merdeka.

Pendapat ini disampaikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta saat meluncurkan Catatan Akhir Tahun 2017, Selasa 12 Desember 2017. Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa menerangkan, ada 151 kali aksi Kamisan sejak Jokowi berkuasa sejak 2014, sementara jumlah total aksi Kamisan yang sudah digelar mencapai 517 kali. Aksi ini melibatkan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu.

Indikator lain terkait penanganan kasus pelanggaran HAM juga muncul, seperti dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Ormas yang dinilai melanggar hak untuk berpikir, berkeyakinan, berkumpul, berpendapat, dan berorganisasi.

“Dalam hak-hak sipil dan politik, terjadi berbagai pelanggaran serius,” ujar Alghiffari dalam buku Catatan Akhir Tahun 2017 yang diterima Tirto.

Selain di bidang politik, LBH menyoroti tidak efektifnya keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di wilayah kesehatan. Pemerintah juga dianggap masih menjadikan buruh sebagai korban demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.

“PP 78/2015 tentang Pengupahan diterapkan, bahkan terdapat pula Upah Padat Karya yang nominalnya jauh lebih rendah,” katanya.

Alghiffari menyebut, pemerintah juga masih menggunakan cara-cara represif seperti penggusuran paksa dan perampasan tanah masyarakat untuk melakukan pembangunan. Cara ini dianggap memunculkan masalah HAM di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

Tak hanya di tingkat pusat, indikator-indikator ini juga ditemukan di DKI Jakarta. Berdasarkan catatan LBH Jakarta, ada 30 kasus pelanggaran HAM di bidang perkotaan dan masyarakat urban yang mereka tangani sepanjang 2017.

Dari jumlah itu, 13 kasus berkaitan dengan hak atas tanah dan tempat tinggal disusul 2 kasus hak atas usaha dan ekonomi, 6 hak atas kesehatan, 2 kasus lingkungan, 5 kasus pendidikan, dan 2 kasus pelayanan publik.

“Pada akhirnya muncul pertanyaan apa definisi 'demi pembangunan' yang digaungkan? Karena pada akhirnya dalam fakta dan prosesnya mengorbankan masyarakat banyak,” ujar Kepala Divisi Advokasi LBH Jakarta Yunita.

Menurut Yunita, pembangunan seharusnya memperhatikan tiga aspek utama: ekonomi, sosial, dan lingkungan, namun dalam praktiknya, perhatian terhadap aspek sosial dan lingkungan diklaim kerap diabaikan pemerintah.

Yunita juga menyoroti pentingnya pelibatan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan sesuai nilai-nilai HAM. Menurutnya, masyarakat hingga kini masih berada di posisi pasif jika pemerintah membicarakan konsep pembangunan.

“Pada kenyataannya wacana pembangunan hanya dari pihak pemerintah. Masyarakat hanya diberitahu dan hanya menerima. Hal ini juga menjadi alasan (munculnya istilah) pembangunan yang akhirnya tidak membangun,” katanya.

Temuan LBH Jakarta tak berbeda jauh dengan catatan serupa yang dirangkum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur berkata, ada kemiripan antara temuan LBH DKI dan YLBHI dalam bidang penanganan kasus HAM.

"Ada yang sama. Kami masih menyusun," kata Isnur kepada Tirto.

Penyelesaian Non-peradilan

Saat dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi mengatakan pemerintah sebenarnya selalu mendorong penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu. Di era Jokowi, kata Mualimin, pemerintah mengubah pendekatan penyelesaian kasus dengan menggunakan cara di luar peradilan atau non-litigasi.

Mualimin mencontohkan penyelesaian Peristiwa 1965 yang sedang dicoba pemerintah. “Yang sifatnya projustisia, kan, akhirnya menemui kesulitan,” ujar Mualimin kepada Tirto.

Cara ini, kata Mualimin, seperti yang sudah dilakukan Pemerintah Kota Palu yang berani meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM pada 1965-1966 kemudian menuangkan komitmen penyelesaian ini dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang Rencana Aksi Nasional HAM Daerah (RANHAMDA) Kota Palu. Mualimin berkata akan kembali membicarakan cara penyelesaian ini dengan Komnas HAM.

"Pelanggaran HAM di masa lalu kalau diklasterisasi ada Semanggi I, Semanggi II, Tanjung Priok, Wasior, Lampung, Paniai, Peristiwa 1965/1966. Yang jadi utang pemerintah sebetulnya kasus 1965-1966, maksudnya kalau yang lain-lain kan sudah selesaikan. Ya, kalau urusan ada yang tidak puas, kan, urusan lain," katanya.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih