Menuju konten utama

LBH Jakarta: Hakim Harusnya Libatkan Nelayan di Kasus Reklamasi

LBH Jakarta menyayangkan hakim PTUN yang tidak melibatkan nelayan dalam kasus reklamasi.

LBH Jakarta: Hakim Harusnya Libatkan Nelayan di Kasus Reklamasi
Foto udara kawasan pulau reklamasi Pantai Utara Jakarta, Kamis (28/2/2019). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/aww.

tirto.id - Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan ia sangat menyayangkan sikap Mejelis Hakim PTUN pemeriksa perkara kasus reklamasi Pulau H, I, F, dan M, yang tidak pernah memanggil pihak lain, khususnya nelayan, dalam proses pemeriksaan.

Kata Arif, jika merujuk pada dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, hakim dapat memanggil pihak yang berkepentingan dalam proses pemeriksaan perkara berlangsung, mengingat kegiatan reklamasi berdampak pada penghidupan nelayan.

Ia juga mengatakan, kasus sengketa reklamasi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bersifat hukum publik, yang artinya pihak-pihak yang terdampak seharusnya diundang juga dalam pengadilan.

"Bahwa sebetulnya dalam sengketa tata usaha negara, yang mana ini diproses dalam PTUN, ini sifatnya hukum publik. Memang sengketa antara negara dengan warga negaranya. Mestinya hakim itu punya kewenangan dapat mengundang pihak-pihak yang berkepentingan, pihak-pihak yang terkait dengan kasus ini. Jelas kasus ini berdampak luas kepada para nelayan," kata Arif saat ditemui di LBH Jakarta, Jumat (2/8/2019).

Arif menilai, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ), termasuk LBH Jakarta, sudah sering mempermasalahkan kasus-kasus reklamasi yang pernah diperkarakan sebelumnya, sehingga hakim PTUN seharusnya mengundang pihak-pihak terkait yang merasakan dampaknya, khususnya para nelayan dari koalisi.

"Selama ini kawan-kawan koalisi sudah mengawasi kasus ini. Hakim pun sudah tahu karena kasus reklamasi ini sudah berulang kali. Hakim PTUN sudah menyidangkan kasus reklamasi bukan cuma satu-dua kasus, lebih dari dua kasus sudah diproses. Tapi kewenangan itu tidak dilakukan di kasus pulau H, maupun pulau-pulau lain. Itu menyedihkan. Kita pertanyakan juga di ketua PTUN, maupun hakim penyidangan," katanya.

Hal serupa juga dikatakan pengacara publik Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ), Nelson Simamora. Ia menganggap aneh jika hakim PTUN tak mengundang pihak nelayan ke dalam kasus sidang, padahal itu adalah hakim yang sama yang pernah menyidang kasus Pulau F dan I pada 2017.

"Terkait Pulau I dan F, kami pernah menggugat tahun 2017, dan kami menang di PTUN di pengadilan yang sama dan hakimnya juga sama. Jadi agak aneh, kenapa kami tidak dilibatkan, padahal reklamasi ini menjadi persoalan besar dan publik," kata Nelson.

"Di satu sisi juga jika pengadilan tak minta kami terlibat, bisa jadi gubernur yang minta. Kami pernah ketemu Gubernur pada Desember 2017. Terbuka. Semua orang tahu dan di situ Pak Anies meminta masukan dari kami. Kalau sudah tahu, kenapa kami enggak diajak?" lanjut Nelson.

Langkah PTUN Jakarta mengabulkan gugatan PT Taman Harapan Indah tentang pencabutan izin reklamasi Pulau H, ternyata berbuntut panjang.

Gugatan hukum yang dilayangkan pada 18 Februari 2019 itu dikabulkan majelis hakim PTUN pada 9 Juli 2019. Putusan itu termuat dalam laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara sipp.ptun-jakarta.go.id dengan nomor 24/G/2019/PTUN.JKT.

Tak hanya PT Taman Harapan Indah, lawan Anies bertambah lagi tiga pihak. Pertama, PT Manggala Krida Yudha sebagai pengembang Pulau M, melayangkan gugatan serupa PTUN pada tanggal 27 Februari 2019. Gugatan diajukan sembilan hari setelah PT Taman Harapan Indah.

Kasusnya masuk dengan nomor perkara 31/G/2019/PTUN.JKT. Saat ini persidangan sedang berlangsung dan sudah pada tahap pembuktian para pihak.

Di Pulau M, Anies digugat karena mengeluarkan Kepgub Nomor 1040/-1.794.2 tertanggal 6 September 2018. Kepgub ini menerangkan perihal Pencabutan Surat Gubernur Provinsi DKI Jakarta tanggal 21 September 2012 nomor 1283/-1.794.2 tentang Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau M atas nama PT Manggala Krida Yudha.

Kedua, PT Jaladri Kartika Pakci sebagai pengembang Pulau I. Mereka melayangkan gugatan pada 27 Mei 2019 ke PTUN, empat bulan setelah PT Taman Harapan Indah dan PT Manggala Krida Yudha.

Dikutip dari sipp.ptun-jakarta.go.id gugatan kasusnya tercatat dengan nomor perkara 113/G/2019/PTUN.JKT. Saat ini persidangan sedang berjalan dan sudah pada tahapan replik (tanggapan atas jawaban Tergugat) dari Penggugat.

Ketiga, PT Agung Dinamika Perkasa sebagai pengembang Pulau F. Pengembang ini adalah mitra kerja dari PT Jakarta Propertindo (BUMD milik Pemprov DKI).

Mereka mengajukan gugatan pada 26 Juli 2019, atau setelah terbitnya putusan PTUN mengabulkan gugatan PT Taman Harapan Indah pada 9 Juli. Saat ini, proses gugatan sedang masuk tahap pemeriksaan persiapan.

Kasus ini tercatat dengan nomor perkara 153/G/2019/PTUN.JKT. Anies digugat karena mengeluarkan Kepgub yang mencabut Keputusan Gubernur Nomor 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F Kepada PT Jakarta Propertindo.

Diketahui, PT Agung Dinamika Perkasa dan PT Jaladri Kartika Pakci--dua pengembang terakhir yang mengajukan gugatan--adalah anak perusahaan Agung Podomoro Land.

Baca juga artikel terkait REKLAMASI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dipna Videlia Putsanra